Mubadalah.id – Saat terlahir ke dunia, kita akan mulai menggunakan indra untuk mengidentifikasi benda-benda. Cara mengidentifikasi paling awal adalah menggunakan indra mata. Mata erat kaitannya dengan citra visual. Dan untuk membedakan jenis benda-benda melalui persepsi indra penglihatan, kita akan menggunakan sebuah tanda, yaitu salah satunya warna. Langit berwarna biru. Tumbuhan berwarna hijau. Tanah berwarna cokelat. Matahari berwarna kuning.
Karena sudah terbiasa melihat langit dan samudra berwarna biru, maka di alam bawah sadar, kita akan mengasosiasikan warna biru sebagai warna terang yang memiliki kekuatan, keluasan, dan wujud percaya diri, seperti sifat langit yang tinggi dan samudera yang luas dan dalam.
Warna biru adalah warna samudera. Biru muda untuk laut dangkal, sedang biru tua untuk laut dalam. Maka saat kita memilih pakaian berwarna biru, kita akan teringat pada langit dan samudera. Lebih jauh, dalam psikologi warna, seseorang yang menggunakan pakaian biru akan merepresentasikan dirinya memiliki warna yang sejalan dengan lautan. Berharap memiliki sifat tersebut atau memberi kesan memiliki sifat tersebut.
Warna Sebagai Simbol dan Penanda
Menjadikan warna sebagai identitas adalah hal yang alamiah, kita sadari ataupun tidak. Kita terbiasa bersentuhan dengan warna dan menggunakannya setiap hari. Meskipun kepribadian seseorang tidak sepenuhnya bisa kita nilai dan justifikasi melalui warna kesukaannya, namun pemilihan warna ada hubungannya dengan kecenderungan watak pribadi seseorang dalam memilih warna kehidupannya.
Warna merah identik dengan api. Api menjadi simbol semangat dan gairah karena sifatnya yang berkobar dan membakar. Namun di sisi lain, api memiliki sifat memberikan kehangatan. Pemilihan warna merah sering dipakai oleh mereka yang ingin terlihat berani, bersemangat, penuh gairah dan berkobar. Selain api, warna merah juga lekat dengan darah. Darah adalah simbol kehidupan. Seseorang yang mengucurkan darah adalah mereka yang mau mengorbankan nyawa demi sesuatu. Merupakan representasi sikap berani mati.
Warna putih sering diidentikkan dengan warna kesucian. Warna hijau diartikan sebagai warna kesuburan dan kemakmuran sebagaimana warna pohon-pohon dan tumbuhan yang memberi berkah hasil alam. Warna gold (keemasan) seringkali disebut sebagai warna kekayaan dan kejayaan. sebagaimana sifat emas sebagai logam mulia yang berharga mahal. Warna hitam adalah warna yang merepresentasikan kekuatan, menunjukkan keteguhan hati dan ketabahan. Oleh sebab itulah, warna hitam sering digunakan sebagai warna berkabung di berbagai negara.
Warna adalah hal yang sangat penting. Ia adalah simbol yang merepresentasikan sesuatu, memiliki makna-makna dan tujuan, termasuk bendera. Bendera tiap negara memiliki warna yang berbeda-beda. Setiap negara memilih warna benderanya masing-masing menyesuaikan dengan filosofi dan sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya sebuah negara. Filosofi itu terrepresentasikan melalui warna, logo dan simbol dalam bendera.
Warna dan Kepribadian Bangsa Indonesia
Indonesia memilih warna merah putih. Merah adalah warna darah yang artinya berani. Negara Indonesia berdiri di atas bumi yang penuh kucuran darah para pahlawan yang gagah berani. Putih berarti suci, murni, dan merupakan warna tulang. Simbol dari niat suci dan murni para pahlawan dan segenap rakyat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kedamaian. Merah darahku, putih tulangku.
Selain itu, dalam Wikipedia, pemilihan warna merah putih juga berasal dari penghayatan terhadap mitologi Austronesia tentang Mother Earth dan Father Sky yaitu warna tanah dan langit. Merah (ibu bumi) adalah warna tanah, sedang putih (bapak langit) adalah warna langit. Bumi tempat kita berpijak dan langit yang kita junjung. Tanah tumpah darah.
Panji-panji merah putih juga digunakan sebagai panji beberapa kerajaan di Nusantara seperti Majapahit dan Kerajaan Kediri. Para pejuang Aceh dan perang Sisingamangaraja IX juga menggunakan bendera perang merah-putih, termasuk Pangeran Diponegoro di tanah Jawa.
Kaum terpelajar Indonesia tahun 1928 mengibarkan bendera merah putih sebagai bentuk protes terhadap penjajahan Belanda. Merah putih merupakan bentuk perjuangan, pengorbanan, semangat berani mati, protes, dan warna kebanggaan berbangsa dan bernegara.
Dua warna yang dipilih secara resmi oleh para founding fathers Indonesia sebagai bendera negara itu menjadi satu panji yang menaungi spirit unity in diversity, Bhinneka Tunggal Ika. Apapun warna kulitnya, jenis rambutnya (lurus atau ikal), suku, agama, ras dan golongannya, semua bersatu di bawah bendera merah putih.
Begitulah kepribadian bangsa Indonesia yang direpresentasikan melalui warna bendera merah putih. Menjadi pribadi yang toleran, penuh permakluman dan punya visi-misi kesalingan yang tinggi adalah cita-cita yang para pahlawan bangsa ini perjuangkan. Sudah menjadi kewajiban bagi kita semua untuk meneruskan perjuangan tersebut.
Tantangan dengan Ragam Warna
Saat ini, kita tidak menghadapi peperangan menggunakan senjata melawan penjajah, namun berperang mengalahkan ego dalam diri, untuk tidak saling membenci, bermusuhan dan menyakiti satu sama lain. Senjata yang kita pakai saat ini bukanlah bambu runcing, pedang, maupun senjata api.
Namun ilmu dan pendidikan. Dengan ilmu pengetahuan serta pendidikan karakter dan akhlak, setiap individu akan lebih siap dalam berperang melawan ego dan hawa nafsu dalam diri. Sehingga dalam menghadapi segala bentuk isu SARA, berita viral yang provokatif, dan tantangan lain dalam menghadapi era disrupsi teknologi, kita lebih siap.
Warna menjadi penanda untuk mengidentifikasi banyak hal. Kita bisa mengidentifikasi kebangsaan seseorang berdasarkan warna kulit, rambut dan lensa mata. Melalui warna kulitnya, kita bisa memprediksi apakah seseorang berasal dari Eropa, Amerika, atau Asia. Dari utara atau selatan. Dari timur atau barat. Warna sangat penting bukan? Warna bisa menimbulkan efek positif dan negatif. Sejarah indonesia juga tak lepas dari polemik ‘warna’. Partai politik memilih warnanya masing-masing untuk merepresentasikan visi misi.
Selain perbedaan ini memberi berkah, juga memberikan banyak tantangan. Perbedaan warna kulit, suku, dan ras, seringkali memicu konflik yang serius. Sudah berapa banyak peperangan yang disebabkan perbedaan warna kulit? Dikotomi warna dalam status sosial juga selalu kita temui. Sebutan orang abangan, orang putih, darah biru, hingga ilmu hitam. Fungsi lain dari warna adalah untuk melabel, menunjukkan identitas, dan untuk meneguhkan eksistensi.
Mananamkan Nilai Persatuan Melalui Seragam Sekolah
Menjadikan segala hal seragam adalah hal yang mustahil. Karena hukum alam menyatakan bahwa kita tercipta berbeda-beda. Meski saat bersekolah setiap anak memakai seragam merah putih, biru putih, abu putih, itu tidak bisa menghapuskan watak asli, kepribadian, warna rambut dan warna kulit yang mereka miliki. Namun memakai seragam adalah wujud, bahwa pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi di sebuah negara, bermaksud mengajarkan nilai-nilai persatuan melalui baju yang seragam.
Kaya atau miskin, kulit hitam, cokelat, atau putih, memakai seragam yang sama. Agar tertanam di benak setiap orang sejak kanak-kanak bahwa kita semua disatukan di bawah semangat persatuan negara Indonesia. Memakai pakaian seragam di sekolah tidak berarti negara hendak menciptakan individu yang seragam dan kehilangan kedirian.
Ketika anak-anak telah mencapai usia dewasa awal yaitu saat memasuki bangku kuliah, mereka akan menanggalkan seragam dan beralih ke pakaian bebas dan sopan sesuai selera masing-masing. Mengapa demikian?
Usia 18 tahun adalah usia dewasa muda, individu sudah melampaui batas baligh. Nalar pikirannya sudah mulai matang, posisinya di mata hukum pun sudah diakui menjadi individu dewasa. Ia bisa mengambil keputusan dan bertanggungjawab untuk diri sendiri.
Jadi meski ia bebas menggunakan pakaian warna-warni, individu dewasa bisa menganalisis dan memahami segala realitas dengan cara berpikir lebih maju. Sehingga seragam tak lagi ia perlukan. Mereka dapat memahami semangat persatuan melalui ‘pemahaman’, bukan lagi ‘pengkondisian’.
Warna dan Pendidikan Karakter
Anak-anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama ada dalam tahap perkembangan awal, usia rentan, dan berada dalam tahap pembentukan jati diri. Jadi, memang mereka membutuhkan bantuan orang dewasa untuk menapaki tahap-tahap perkembangan. Termasuk untuk memahami makna persatuan, mereka membutuhkan bimbingan dan arahan.
Masa kanak-kanak adalah masa imitiasi atau meniru. Jika nilai persatuan telah mereka tiru dan sudah melekat di dasar nurani anak. Maka saat di lepas ke dunia yang lebih luas, yaitu perguruan tinggi dan realitas masyarakat, tak ada kekhawatiran lagi.
Yang menjadi pekerjaan rumah adalah, bagaimana cara para pelaku pendidikan menjalankan aturan “penyeragaman” tersebut dengan penuh kebijaksanaan. Membentuk kedisiplinan, kerapian dan ketertiban memang sangat penting.
Namun jangan sampai mengesampingkan nilai kemanusiaan dan target pembelajaran para siswa. Sehingga tidak ada siswa yang merasa bahwa aturan sekolah adalah penjara dan sumber pengekangan. Karena para pelaku pendidik (baik orang tua maupun guru) kadang lebih fokus pada pada seragam dan atribut fisik lain daripada materi pelajaran.
“Menyeragamkan pakaian” bukan untuk menciptakan manusia robot yang seragam dan pasif, namun sebagai sarana agar mereka menyadari nilai-nilai persatuan. Tentu kebijakan menggunakan seragam ini harus kita dukung dengan kualitas dan mutu pendidikan dan pengajaran yang kita berikan. Karena yang lebih utama adalah membentuk karakternya, bukan fokus pada casingnya. []