Mubadalah.id – Al-Qur’an sebagai sumber ajaran otoritatif umat Islam, memiliki beberapa karakteristik dan ciri khas yang kitab suci manapun tidak miliki di dunia ini. Kajian mengenai karakteristik Al-Qur’an di antaranya terdapat dalam mukaddimah kitab tafsir tematik Taysīr al-lathīf al-mannān fī khulāshati tafsīri al-Qur’ān karya Syaikh ‘Abdurrahman bin al-Nashir al-Sa’di atau yang terkenal Imam al-Sa’di.
Dalam kitab tersebut, ada penjelasan bahwa al-Qur’an memiliki beberapa karakteristik yang perlu kita pahami oleh segenap pengkaji al-Qur’an maupun tafsirnya (al-Sa’di, 2001, 5-8). Berikut ikhtisar penjelasan Imam al-Sa’di mengenai karakteristik al-Qur’an ;
Pertama, Al-Qur’an merupakan al-huda atau petunjuk / hidayah. Hidayah yang telah al-Qur’an jelaskan dapat membimbing manusia pada kemanfaatan hidup di dunia dan akhirat. Memperoleh hidayah tidaklah instan, artinya manusia dituntut luwes, dinamis dan berperan aktif dalam mempelajari berbagai disiplin ilmu. Utamanya yang berkaitan dengan ilmu al-Qur’an dan tafsirnya.
Syarat Memperoleh Hidayah
Oleh karenanya, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam memperoleh hidayah yaitu beriman, bertaqwa, berpikir, merenung dan cenderung pada yang hak. Karenanya, manusia yang tidak menjalankan syarat-syarat tersebut, pada dasarnya ia adalah pihak yang tendensius dan oposisi sehingga tidak ada bagian hidayah untuknya.
Kedua, al-Qur’an merupakan rahmah yaitu rahmat. Imam al-Sa’di menjelaskan makna rahmat;
رَحْمَة هِيَ الْخَيْرُ الدِّيْنِيِّ وَ الدُّنْيَوِيِّ وَ الاُخْرَوِيِّ الْمُتَرَتَّبِ عَلَى اهْتِدَاءِ بِالْقُرْآنِ
“Rahmat adalah kebaikan agama, dunia dan ukhrawi yang telah tersistematis berdasarkan petunjuk al-Qur’an”.
Tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang tidak mengandung kebaikan. Mulai dari membacanya secara lancar atau tertatih hingga secara perlahan mengamalkan isi ajarannya merupakan lumbung kebaikan dan pahala yang berlimpah.
Ketiga, al-Qur’an merupakan al-nūr yaitu cahaya. Kandungan al-Qur’an berupa ilmu yang bermanfaat melalui rangkaian kalimat yang sempurna mampu mengeluarkan seseorang hamba dari kegelapan (kebodohan, kekafiran, kemaksiatan, kesengsaraan) kepada cahaya ilmu, iman, bimbingan dan ketaatan. Dengan demikian cahaya maksud cahaya ini adalah ilmu yang bermanfaat bagi orang-orang yang sungguh-sungguh mau mempelajarinya.
Keempat, al-Qur’an merupakan syifā’un limā fi al-shudūr yaitu sebagai penyembuh hati. Di antara penyakit hati adalah kebodohan, keraguan, kebingungan, syahwat dan kesesatan. Allah SWT telah menjelaskan bahwa penyakit tersebut dapat memberikan pengaruh yang membahayakan jiwa manusia. Karenanya, segala penyakit dapat kita sembuhkan dengan cara menyimak berbagai pelajaran, nasihat, peringatan berikut reward dan punishment-nya.
Makna Ayat
Kelima, al-Qur’an memiliki kandungan makna ayat yang muhkamāt dan mutasyābihāt. Terdapat perbedaan ulama dalam menyikapi hal ini. Ada yang menganggap bahwa semua ayat itu bersifat muhkamāt. Namun ada pula yang menganggap keseluruhannya mutasyābihāt. berdasarkan sisi kebaikannya.
Sementara ada pula yang menganggap bahwa sebagiannya adalah muhkamāt dan sebagiannya lagi adalah mutasyābihāt. Imam al-Sa’di mendefinisikan ayat yang mutasyābihāt sebagai berikut;
فَالْمُتَشَابِهَاتُ هِيَ الَّتِيْ يَقَعُ الْاِشْكَالُ فِيْ دِلَالَتِهَا لِسَبَبٍ مِنَ الاَسْبَابِ اللَّفْظِيَّةِ وَ الْعِبَارَاتِ الْمُرَكَّبَةِ
“Maka adapun ayat-ayat mutasyābihāt adalah ayat yang sulit dipahami dilalahnya karena suatu sebab baik sebab yang bersifat lafaz maupun susunan ungkapan kalimat”.
Oleh karenanya, menurut Imam al-Sa’di, ayat yang mutasyābihāt hendaknya tetap kita kembalikan dan kita ipandang sebagai ayat yang muhkamāt. Hal ini maksudnya agar segala keraguan dan kesulitan dalam memahami penjelasan dan petunjuk al-Qur’an dapat kita tepis.
Keenam, segala kandungan al-Qur’an memberikan petunjuk kepada shilāh wa al-ishlāh yaitu kebaikan dan perbaikan. Segala aspek kehidupan manusia, pada dasarnya bertujuan untuk kemashlahatan hidupnya baik di dunia maupun akhirat.
Membumikan Karakteristik Al-Qur’an
Berbagai karakteristik yang saya tunjukkan di atas menjadi pandangan dasar para pengkaji Al-Qur’an dalam memahaminya. Jika terjadi pemahaman yang ambigu terhadap Al-Qur’an maupun hal-hal yang mengitarinya, maka kembalikan lagi kepada karakteristiknya.
Untuk mengembalikan dan memurnikan berbagai karakteristik Al-Qur’an, tentu si pengkaji harus melepaskan diri dari berbagai kepentingan, subjektifitas dan berusaha bersikap objektif. Selain itu, seperangkat metodologi yang sistematis juga kita butuhkan.
Al-Qur’an yang telah turun belasan abad lalu dapat kita pahami kembali dengan metode penafsiran tertentu. Tujuannya kita peroleh pemahaman yang kompehensif. Dalam perkembangannya telah tumbuh dan berkembang berbagai metode dalam memahami atau menafsirkan Al-Qur’an. Seperti metode tafsir tahlili (analitik), ijmali (global), muqaran (perbandingan) dan maudhu’i (tematik).
Namun dalam perkembangannya pada saat ini, muncul metode baru dalam menafsirkan Al-Qur’an yaitu metode tafsir al-maqashidi yang dikembangkan oleh Abdul Mustaqim dan metode tafsir ma’na cum maghza yang dikembangkan oleh Sahiron Syamsuddin.
Dengan memahami berbagai karekteristik penjelasan Imam al-Sa’di, seyogyanya para pengkaji atau reader memiliki pandangan dasar sebagai pijakan dalam menyelami maksud al-Qur’an. Secara hati-hati, obyektif, dan penggunaan metode tertentu, para pengkaji tidak serampangan dalam menafsirkan ayat. Sehingga berbagai karakteristik Al-Qur’an tetap terjaga. []