Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Fatima Mernissi tentang hadits anjing, keledai dan perempuan yang dapat membatalkan shalat.
Menurut Fatima Mernissi, hadits tersebut merada pada kitab shahih Bukhari Vol. I, hal. 99.
Hadits tersebut, kata Fatima merupakan potongan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah sebagai bantahan dari hadits di atas. Secara lengkap hadits tersebut yang artinya :
“Telah menceritakan kepada kami Amru bin Hafs berkata: telah menceritakan kepada kami bapak saya berkata: telah menceritakan kepada kami al-A’mas berkata: telah menceritakan kepada kami Ibrahim dari Aswad dari Aisyah, telah berkata al-A’mas dan telah menceritakan kepadaku Muslim dari Masruq dari Aisyah.
Diceritakan dengannya bahwa sesuatu yang membatalkan shalat adalah anjing, keledai dan perempuan.
Maka Aisyah berkata, apakah kamu menyamakan kami dengan keledai dan anjing, demi Allah. Aku telah melihat Rasulullah shalat, sementara aku berbaring di ranjang di depannya di antara Nabi dengan kiblat.
Lalu muncullah keinginanku (hajat), maka saya tidak usah duduk sebab dapat menyakiti Nabi SAW. Kemudian maka saya keluar dari sisi kedua kakinya.” (H.R. Bukhari)
Menurut Fatima Mernissi, Abu Hurairah adalah satu-satunya yang meriwayatkan hadits di atas.
Pada pembahasan hadits ini Fatima Mernissi lebih menekankan pada pengertian kiblat, menurutnya kiblat adalah suatu arah yang menuju ke arah ka’bah, tempat suci yang diambil alih oleh Islam pada tahun 8 H (630 M). Sebelumnya sebagai pusat pemujaan berhala oleh orang-orang kafir Quraisy.
Kiblat di sini memberikan sasaran spiritual maupun sasaran pragmatis (disiplin), yang dapat menghubungkan seseorang kepada pencipta semesta alam.
Ka’bah sebagai arah kiblat tidak selalu menjadi arah kiblat umat Islam, karena selama 16 bulan di Madinah, Rasulullah bersama umatnya melakukan shalat dengan kiblat ke arah Yerussalem. Walaupun kemudian kembali ke arah Ka’bah.
Perubahan Arah Kiblat
Apa gerangan dibalik perubahan arah kiblat itu?. Menurut Fatima Mernissi, ternyata ada kecemerlangan Islam berupa ekspresi nasionalisme Arab yang kuat.
Nabi memilih Yerussalem ketika beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah, untuk menghindari pertentangan dengan mereka (Kristen-Yahudi) di Madinah, yang mengkultuskan Yerussalem sebagai kiblat suci.
Dengan demikian, mereka berharap dapat menerima kedatangan Rasulullah beserta kaum muslimin. Meskipun demikian Rasulullah tetap berdo’a kepada Allah agar kiblatnya kembali ke Ka’bah, tempat suci dan kiblat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Berdasarkan hal tersebut, pandangan itu sangat kontradiktif dengan kesucian kiblat dan hakikat perempuan. Bahkan juga menyamakan perempuan dengan anjing dan keledai yang merusak hubungan seseorang dengan Ilahi.*
*Sumber : tulisan karya Anisatun Muthi’ah dalam buku Menelusuri Pemikiran Tokoh-tokoh Islam.