Mubadalah.id – Gender sebagai konsep yang menyoroti persoalan-persoalan kemanusiaan kaitannya dengan masalah keadilan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan, merupakan isu yang masih baru di Indonesia.
Istilah gender sebagai konsep kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan baru banyak dibicarakan pada awal tahun 1980-an bersamaan dengan munculnya lembaga-lembaga advokasi atas perempuan.
Meski begitu, wacana feminisme muncul dan dikenal di Indonesia kurang lebih sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Zaman kaum perempuan bergerak di Indonesia dibuka oleh pikiran RA Kartini sampai terbangunnya organisasiorganisasi perempuan sejak tahun 1912.
Baroroh Baried dalam buku Islam dan Modernisasi Wanita menyebutkan bahwa sebelum Kartini sebetulnya sudah ada kesadaran individual perempuan Indonesia tentang betapa pentingnya emansipasi perempuan, atau pembelaan terhadap perempuan.
Bukti yang Baried tunjukan adalah peran Siti Aisyah W. Tanriolle, seorang Ratu Ternate pada tahun 1856, khusunya dalam dunia pendidikan.
Meski bersifat praktis, usahanya untuk mendirikan sekolah sangat jelas menunjukkan kesadaran sang Ratu untuk mengangkat derajat kaum perempuan. Sekolah, baginya, tidak hanya untuk kaum laki-laki saja, melainkan juga bagi kaum perempuan.
Munculnya Gerakan Perempuan
Sejak saat itu wacana (dan gerakan) perempuan mewarnai bangsa Indonesia. Dalam bentuk gerakan perempuan di sepanjang tahun 1950-an sampai pertengahan 1960-an.
Misalnya muncul berbagai tuntutan persamaan dalam hukum dan politik antara laki-laki dan perempuan dengan model organisasi yang berkait atau di bawah partai politik, dan ada pula yang mengklaim sebagai organisasi otonom.
Melalui bentuk penyadaran, tulisan di media cetak, kesenian, dan demonstrasi, sampai pengajuan usul inisiatif di parlemen.
Sedangkan dalam pemikiran Islam di Indonesia, wacana feminisme, sebagai wacana alternatif yang muncul bersamaan dengan wacana demokrasi, tidak begitu mendapat tempat yang cukup proporsional.
Hal ini terbukti dengan banyaknya para pemikir dan intelektual Islam di Indonesia yang tidak memunculkan gagasan feminisme dalam perspektif agama Islam.
Sebagai contoh, Nurcholis Madjid dalam beberapa tulisannya tidak secara spesifik menjelaskan tentang feminisme.
Tetapi lebih pada mengusung gagasan pembaruan Islam. Sama dengan Cak Nur, adalah intelektual-intelektual pembaruan Islam yang lain di Indonesia.
Hal ini sangat berbeda dengan fenomena intelektual Islam di Timur Tengah (Arab) seperti Hassan Hanafi, Mohammad Imarah, dan Mohammed Arkoun.
Kemudian, Abdullah an-Na’m, Nashr Hamid Abu-Zaid, Muhammad Syahrur, Ahmad Khayyarat, dan masih banyak lagi.
Bagi mereka, persoalan perempuan dalam Islam sama pentingnya dengan persoalan peradaban Islam secara umum.*
*Sumber: tulisan karya M. Nuruzzaman dalam buku Kiai Husein Membela Perempuan.