Mubadalah.id – Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II kian menguatkan otoritas keulamaan berbasis kesetaraan gender dan keadilan. Forum yang menghasilkan banyak gagasan kemaslahatan itu terlaksana pada 23-26 November 2022 di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri, Jepara, Jawa Tengah.
Serangkaian agenda dan diskusi selama empat hari itu lantas kita saripatikan menjadi sebuah ikrar. Maklumat yang mereka beri tajuk “Ikrar Joglo Bangsri Jepara tentang Jaringan Muda KUPI” itu tertuang dalam teks berikut;
Kami jaringan muda KUPI adalah bagian dari ulama perempuan Indonesia yang memiliki potensi keulamaan, berkomitmen untuk menjalankan misi tauhid.
Kami jaringan muda KUPI berkomitmen untuk menjalankan risalah Nabi Muhammad SAW secara konsisten dalam membangun peradaban sesuai perkembangan zaman. Tanpa melupakan warisan pandangan dan tradisi baik dari para ulama terdahulu.
Kami jaringan muda KUPI berkomitmen untuk memperkuat jejaring dan mengawal advokasi bagi mereka yang terpinggirkan sebagai bagian dari solusi bagi bangsa dan semesta.
Untuk itu, otoritas keulamaan perempuan wajib terus kami rawat dan kembangkan agar menjadi kekuatan transformatif di ruang khidmahnya masing-masing.
Kami jaringan muda KUPI siap untuk bergerak, berkarya, dan berkolaborasi demi mewujudkan cita-cita universal Islam dengan memanfaatkan berbagai ruang, termasuk ruang-ruang digital.
Jaringan muda KUPI berkomitmen untuk mendorong dan mempercepat kebijakan terkait isu-isu krusial kemanusian dan kesemestaan dalam mempromosikan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kami jaringan muda KUPI menolak segala cara pandang beragama dan berbangsa yang ekstrem dalam memaksa kelompok yang berbeda sehingga mengakibatkan tergoncangnya harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tradisi Syarah
Dunia pesantren lekat dengan kekayaan khazanah kutub al turats alias kitab kuning. Buku-buku tersebut memuat penjelasan berbagai
disiplin ilmu keislaman dari mulai tafsir, hadis, tauhid, tata bahasa dan sastra Arab, akhlak, tasawuf, pedoman doa dan kisah para nabi, ushul fikih, hingga fikih.
Dari kepadatan redaksi dan runtutan sumber penulisan, kitab kuning pun lantas dibedakan dalam bentuk matan, syarah, dan hasyiyah. Secara literer, syarah berarti penjelasan. Lafaz ini memiliki sinonim dengan tafsir dalam keilmuan islam yang berkenaan dengan penerjemahan Al-Qur’an.
Secara lebih gamblang, syarah adalah kitab yang ditulis sebagai komentar atau penjelasan dari kitab yang ditulis ulama lain atau sebelumnya. Dalam kitab syarah, semua kata atau frasa yang terdapat pada kitab matan diberi penjabaran, baik menyangkut aspek bahasa maupun makna.
Kitab syarah ditulis dengan beragam gaya. Ada yang sederhana, semisal Sulam al-Munajah, syarah dari Safinah al-Shalah. Tetapi ada juga yang kompleks, luas, dan tebal, sebut saja seperti kitab al-Majmu’, syarah dari kitab al-Muhazzab.
Ciri paling tampak, kitab syarah yang ulama lain tulis. Contohnya kitab al-Ghayah wa at-Taqrîb karya Abu Syuja’ yang disyarahi bnu Qasim al-Ghuzzi menjadi Fath al-Qarib.
Dengan niat tabarukan atau mengharap keberkahan dari tradisi intelektual ulama para terdahulu inilah. Maka penulis bermaksud untuk memakai kebiasaan luhur yang sama untuk mengurai kembali kepadatan dalam Ikrar Joglo Bangsri Jepara tentang Jaringan KUPI Muda.
Kalimat Kunci
Syarah ini sudah pasti tidak akan selengkap metode penerapan tradisi sebenarnya. Di dalam syarah ini, hanya akan saya angkat sejumlah kata kunci-kata kunci yang saya nilai penting dalam redaksi ikrar tersebut. Di antaranya:
Potensi keulamaan dan risalah kenabian
Jaringan KUPI muda menahbiskan diri sebagai orang-orang yang memiliki potensi keulamaan. Mereka bergerak atas pengetahuannya, bukan terarus ketidaktahuannya atas isu-isu yang sedang mereka perjuangkan.
Ulama merupakan bentuk jamak dari kata tunggal “alim”. Secara bahasa, ulama berarti orang-orang yang berilmu. Kata tersebut tercantum QS. Fatir ayat 27-28;
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit, lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan, di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya da nada (pula) yang hitam pekat. Dan, demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya, yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya, Allah Mahaperkasa lagi Mahapengampun.”
Sedangkan dalam hadis, Rasulullah SAW menyebut ulama sebagai pewaris para nabi. Ada banyak predikat yang ulama sandang, di antaranya siraj al-ummah (lampu masyarakat), manar al-bilad (mercusuar negara), qiwan al-ummah (pilar umat), dan manabi’al-hikam (sumber-sumber kebijaksanaan).
Membangun peradaban sesuai perkembangan zaman
Jaringan ulama KUPI Muda memiliki tanggung jawab untuk terus membangun peradaban sesuai perkembangan zaman. Ia tidak kolot dan saklek, kemajuan umat mesti berlandaskan pada fleksibilitas pada kebudayaan, perubahan tuntutan hidup, maupun perkembangan teknologi.
Masyarakat pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU) menetapkan kerja-kerja peradaban ini melalui prinsip al-muhafadhah ‘alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (memelihara yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik). Selain bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman, idiom tersebut juga mengantarkan para pelakunya untuk bisa bersikap tawasuth (moderat) dalam menghadapi segenap persoalan yang terjadi di masyarakat.
Advokasi bagi mereka yang terpinggirkan
Islam bukanlah sebuah tradisi monolitik yang mewajibkankan kepatuhan buta terhadap satu versi interpretasi. Terlebih pada pemahaman keagamaan yang mempromosikan kekerasan dan mereduksi praktiknya menjadi sekadar formalitas belaka.
Berlawanan dengan asumsi itu, ajaran Islam sebenarnya terdiri dari ragam paradigma yang tak terpisahkan dari konteks pembentukannya. Namun, secara pemahaman lebih utuh dan menyeluruh, ajaran Islam justru mendorong pada perjuangan pembebasan, terutama bagi masyarakat marjinal dan terpinggirkan.
Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din mengelaborasi pandangannya tentang keadilan yang bersifat sosial. Imam al-Ghazali memprioritaskan diskursusnya untuk menelaah tindakan-tindakan yang berdampak sosial tinggi atau muta’addi. Dalam hal ini, tindakan-tindakan yang berdampak positif secara luas kita katakan jauh lebih utama ketimbang tindakan-tindakan yang berdampak positif bagi individu.
Konsepsi keadilan al-Ghazali menitikberatkan pada perwujudan kesejahteraan sosial sebagai bentuk tertinggi dari keadilan dalam Islam. Dengan demikian, ekspresi keimanan dan keislaman terkait erat dengan tercapainya pembebasan bagi semua orang.
Bergerak, berkarya, berkolaborasi
Ajaran Islam mengenalkan prinsip taawun alias semangat saling tolong-menolong untuk mencapai sebuah kebaikan.
Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman untuk saling bekerja sama dalam kebaikan. Hal itu tertuang dalam QS. Al-Maidah: 2, yang artinya;
“Tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Kemanusiaan, kesemestaan, dan menolak ekstremisme
Islam juga mengajarkan tentang sistem persaudaraan yang kuat berdasarkan rasa kemanusiaan. Islam tidak menyarankan jalinan persaudaraan itu hanya terhenti pada kesamaan suku, agama, maupun negara.
Ajaran tentang humanisme ini tergambar dengan jelas melalui pesan-pesan Nabi SAW. Di antaranya; “Wahai manusia, ingatlah, sesungguhnya Tuhanmu adalah satu, dan nenek moyangmu juga satu. Tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa lain. Tidak ada kelebihan bangsa lain terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah terhadap orang yang berkulit hitam, tidak ada kelebihan orang yang berkulit hitam terhadap yang berkulit merah, kecuali dengan taqwanya..” (HR. Ahmad, al-Baihaqi, dan al-Haitsami).
Konsep kemanusiaan dalam Islam begitu luhur. Semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada perbedaan antara yang satu dengan lainnya, kecuali dalam iman dan talwanya.
“Wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari seorang pria dan seorang wanita dan kami menjadikan kamu berbagai bangsa dan suku, agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantaramu di sisi Allah ialah orang yang saling bertaqwa”. (QS. Al-Hujarat:13).
Dalam ayat lainnya, Allah SWT berfirman; “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Oleh karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”. (QS. Al-Hujarat:10).
Al-Qur’an Menentang Kekerasan
Di sisi lain, Al-Qur’an sangat tegas menentang kekerasan. Untuk tujuan apapun dan atas nama apa dan siapa pun. Termasuk untuk kepentingan Islam itu sendiri. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah:256, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).”
Ajaran Islam bertujuan untuk menghidupkan orang dan mengangkat martabat kemanusiaan. Dengan jelas dan tegas, Allah juga melarang melakukan tindakan pembunuhan kepada orang yang tak berdosa.
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara lalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (QS. Al-Isra:13).
Islam melarang umatnya untuk berlaku ekstrem, terlebih berbasis kekerasan. Atas dasar-dasar itulah, KUPI Muda merasa perlu untuk terus menerus mendakwahkan Islam sebagai ajaran yang menuntut peran keulamaan, memajukan peradaban, membela yang lemah dan terpinggirkan, bekerja sama dalam menuju kebaikan, serta beriorientasi pada kemanusiaan. Wallahu a’lam. []