Mubadalah.id – “Peran Tokoh Lintas Iman dalam Kerja-kerja Keadilan Gender dan Kemanusiaan,” menjadi topik Halaqah Paralel I KUPI II, Panel 8, pada 25 November 2022, di P.P. Hasyim Asy’ari Jepara. Diskursus lintas iman menjadi satu keniscayaan pada KUPI kali ini, mengingat KUPI II mengangkat tema “Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan.”
Artinya, kerja-kerja ulama perempuan, dalam hal ini jaringan KUPI, tidak hanya sebatas pada dimensi kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan Islam, namun juga kesetaraan antar-umat beragama (dimensi Muslim dan Non-muslim). Sebab, peradaban yang benar-benar berkeadilan meniscayakan kesetaraan antar-umat.
Kesetaraan Antar-umat Beragama
Firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surah al-Mumtahanah Ayat 8, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Dalam tulisannya “Kesalingan sebagai Cahaya Penerang Relasi Antarumat Beragama: Sebuah Pengantar,” K.H. Ahmad Ishomuddin mengomentasi ayat di atas, “…urgensi keadilan yang menjadi tujuan diutusnya para rasul, bukan saja adil terhadap kaum kerabat, melainkan juga tidak memperlakukan musuh (baca: non-Muslim) dengan kebencian….”
Jadi, dalam Islam, non-Muslim sekalipun tetap berhak mendapatkan keadilan. Hal ini menjadi satu landasan pandangan bahwa Islam mengedepankan kesetaraan antar-umat beragama dalam kehidupan.
Kemajemukan, perbedaan agama manusia, merupakan satu realitas kehidupan yang tidak dapat kita pungkiri. Sebagaimana K.H. Ahmad Ishomuddin menjelaskan, “Berbeda suku bangsanya, bahasanya, warna kulitnya, agama dan keyakinan yang dianutnya. Itu semua adalah sunnatullah.
Meskipun demikian, pada prinsipnya, manusia adalah satu keluarga yang harus saling menjaga persaudaraan dengan mengutamakan terwujudnya kasih sayang dan melindungi dari semua mara bahaya…. Dilihat dari sisi kemanusiaannya, manusia itu semuanya sama, sehingga diskriminasi karena kemajemukan simbol dan identitas yang disandangnya tidaklah boleh terjadi.”
Dari segi kemanusiaan atau sosial kemasyarakatan, kita semua, umat agama apapun, pada dasarnya adalah setara. Tidak ada umat yang lebih dari umat yang lain. Sehingga, tirani mayoritanisme merupakan laku beragama yang harus kita hindari dalam realitas sosial masyarakat Nusantara yang sangat majemuk. Dan, kesetaraan antar-umat beragama menjadi satu jalan mewujudkan peradaban yang berkeadilan.
Sebagaimana Elga J. Sarapung, Direktur Interfidei (Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia) sebagai pembicara dalam Halaqah Paralel, menjelaskan bahwa kerja lintas iman (baca: kesetaraan antar-umat beragama) bukan hanya menjembatani perbedaan, namun juga bagaimana perbedaan menjadi kekuatan besar. Kekuatan yang kita butuhkan dalam mewujudkan peradaban yang berkeadilan.
Ulama Perempuan dan Kerja Lintas Iman
Ketidak-setaraan antar-umat beragama, atau laku tirani mayoritanisme, hanya akan membuahkan peradaban yang jauh dari keadilan. Selain itu, tirani mayoritanisme juga sangat berpotensi pada lahirnya perpecahan, bahkan peperangan.
Satu keadaan yang amat jauh dari pengertian “Islam” secara bahasa yang berarti perdamaian, dan juga sangat mengingkari misi Nabi Muhammad SAW, yang sebagaimana dalam Surah al-Anbiya’ Ayat 107 adalah, menebarkan kasih untuk semesta alam.
Faqihuddin Abdul Kodir dalam Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama menjelaskan, “Ketika ada seseorang yang bertanya, ‘Apakah misi utama kerasulan? ‘Nabi menjawab, ‘Menyambung persaudaraan, membuat aman dan damai perjalanan, memelihara kehidupan, dan memberantas kemusyirikan.’ (Musnad Ahmad, hadits nomor 17290).
Pernyataan Nabi Muhammad Saw. dalam Musnad Ahmad ini cukup benderang, bahwa misi kerasulan adalah menguatkan relasi persaudaraan. Lalu mewujudkan segala upaya perdamaian, dan membangun kehidupan. Tentu saja di samping ketauhidan kepada Allah Swt.”
Oleh karena itu, kerja-kerja lintas iman untuk mewujudkan kesetaraan antar-umat beragama, sesungguhnya merupakan suport untuk misi Nabi Muhammad SAW. Dan, tentu hal itu menjadi upaya ulama perempuan, dalam hal ini KUPI, dalam mewujudkan misi Nabi yang mencitakan peradaban berkeadilan yang damai.
KUPI II dan Perjumpaan Perempuan Lintas Iman
Sebagaimana penjelasan Nia Sjarifuddin, Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika sebagai pembicara Halaqah Paralel, bahwa setiap agama, apapun, terdapat kelemahan dalam mengikut-sertakan perempuan. Artinya, diskursus kesetaraan gender sejatinya bukan hanya fenomena milik umat Islam, melainkan juga melingkupi setiap umat beragama.
Sejalan dengan itu, Listia Suprobo, pegiat pendidikan dan kebhinekaan sebagai pembicara Halaqah Paralel, menjelaskan kalau, dalam kerja-kerja lintas iman, kita juga perlu mengetahui kebutuhan non-Muslim. Di mana dalam hal ini dapat kita pahami, berhubungan dengan realitas pengalaman perempuan lintas iman.
Sesungguhnya, pada dimensi inilah kerja-kerja lintas iman KUPI sangat penting. Sebagai ruang jejaring ulama perempuan di Indonesia, KUPI dapat menjembatani diskursus kesetaraan gender lintas iman. Satu perhatian dan kerja yang mungkin belum banyak kita lakukan.
Oleh karena itu, konsen pembelaan perempuan KUPI sepatutnya tidak hanya sebatas pada perempuan Islam. Melainkan juga bagaimana mewujudkan keadilan bagi perempuan umat agama lain. Dan, jejaring KUPI sesungguhnya punya kekuatan untuk itu. Semisal salah satu jaringan KUPI, yaitu Gusdurian, memiliki kekuatan besar dalam gerak lintas iman.
Gusdurian sendiri sudah banyak bergerak dalam dimensi lintas iman. Sebagaimana Jay Ahmad, Koordinator Seknas Gusdurian sebagai pembicara Halaqah Paralel. Ia menjelaskan bahwa jika dalam pelaksanaan acara Gusdurian terdapat dua SOP wajib, yaitu lintas iman dan kehadiran perempuan.
Ruang-ruang jaringan KUPI II semacam itu sangat berpotensi menjadi ruang yang menjembatani perjumpaan pengalaman perempuan lintas iman. Sehingga, kita bisa mengetahui kebutuhan perempuan umat agama lain dari perspektif pengalaman mereka sendiri. Dan dapat memulai kerja kesetaraan gender lintas iman. Dengan demikian juga KUPI II tidak hanya berjalan sendiri, melainkan bersinergi dengan umat lainnya, dalam mewujudkan peradaban yang berkeadilan. []