Mubadalah.id – Gus Dur, nama yang akan dikenang rakyat Indonesia berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, dan untuk rentang waktu yang panjang.
Boleh jadi, Gus Dur akan menjadi legenda dalam sejarah bangsa Indonesia, bangsa Muslim terbesar di dunia.
Beberapa orang meramalkan Gus Dur untuk satu atau dua abad kemudian akan berubah menjadi pribadi yang dimitoskan. Kuburannya akan dikunjungi banyak orang setiap hari, seperti para Wali Sanga.
Mungkin, hal itu oleh sebagian orang yang kami anggap sebagai pandangan yang berlebihan bagi manusia yang hidup hari ini.
Tetapi, masa depan yang panjang adalah kemungkinan-kemungkinan yang tak terpikirkan. Manusia tak pernah tahu hari esok. Hanya Tuhan yang mengetahuinya.
Ketika pikiran-pikiran Gus Dur aku tulis sebagai babad, sejarah hidupnya aku dongengkan kepada anak-anak, dan pesan-pesannya terpahat di mana-mana, serta ketika puisi-puisinya bersenandung di surau-surau, ia sangat mungkin menjadi Sang Legenda.
Ramalan itu bukan tanpa alasan. Tanda-tandanya telah tampak di mana-mana. Lihatlah hari ketika Gus Dur wafat.
Puji-pujian dan kekaguman-kekaguman kepadanya mengalir begitu deras dari berbagai sudut, pojok, pusat lingkaran dan pinggir sosial yang tak terjamah oleh tangan kekuasaan.
Mereka yang di pasar-pasar, di sawah-sawah, dan di kebun-kebun membicarakannya, dan merasa ada hilang dari Gus Dur, meski tak mengenalnya dari dekat.
Bunga warna-warni yang wangi dan tertata rapi menyebar dan berhamburan ke dan di setiap jalan yang ia lalui, menumpuk bagai di taman bunga, lalu sebagian dari padanya menebar di atas tanah, pusara, tempat istirahatnya yang terakhir dan abadi.
Sangatlah terasa dan terlihat dengan kasat mata, betapa besar pujian dan kekaguman yang orang-orang sampaikan ketika Gus Dur berpulang, tak terbayangkan dan melampaui kematian orang besar siapa pun di negeri ini.
Kepergiaan Gus Dur
Ribuan orang di berbagai kota dan desa menangis tersedu-sedu pada hari saat Gus Dur meninggalkannya dan hari-hari sesudahnya.
Mereka berduka sambil komat-kamit memanjatkan doa ampunan dan rahmat baginya.
Lihatlah, ribuan para peziarah, perempuan dan laki-laki, tua, muda dan anak-anak, dari berbagai desa dan kota, datang ke tempat peristirahatan terakhirnya di Tebuireng.
Latar pesantren dan masjid di sana tak lagi menampungnya. Sekitar 40.000 orang hadir di sana.
Masjid-masjid di seluruh pelosok negeri segera menyelenggarakan shalat ghaib, membaca ayat-ayat suci al-Qur’an, QS. Yaasiin, dan tahlil.
Mereka berdoa agar Tuhan memaafkan kesalahan dan dosa Gus Dur, serta memohon agar ia mendapatkan tempat di pangkuan-Nya dalam dekapan kasih yang menghangatkan dan mengalirkan kedamaian.
Pahala bacaan-bacaan suci itu kami hadiahkan atau mohonkan kepada Tuhan untuknya. Tuhan Maha Mendengar, Maha Kasih, dan Maha Mengabulkan permohonan hamba-hamba-Nya.
Doa Keberagaman
Gereja-gereja mendentangkan loncengnya untuk menyelenggarakan ritual dan doa khusus bagi Gus Dur. Boleh jadi, mereka juga membaca Kitab Suci Injil (Bible).
Lalu kuil-kuil, sinagog-sinagog, vihara-vihara, pure-pure, klenteng-klenteng, dan tempat-tempat penyembahan kepada Tuhan yang lain, apa pun namanya, juga menyelenggarakan ritual, mantra, dan doa untuknya. Kata mereka, Gus Dur adalah orang suci, Sang Santo.
Ketika kaum Kristiani, umat Budha, umat Hindu, jamaah Ahmadiyah, atau berbagai aliran kepercayaan lainnya mengenal tentang Gus Dur, mereka mungkin akan mengatakan,
“Apa yang Gus Dur katakan dan jalani, itulah yang Yesus firmankan, Moses ajarkan. Lalu Sang Budha tuturkan, Baghawad Gita sabdakan, tertulis dalam Tripitaka, dan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad ceramahkan.”
“Melalui Gus Dur, kata-kata Yesus, Moses, Budha Gautama, Gita, dan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad hidup kembali.” []