Mubadalah.id – Seorang istri yang melepaskan ikatan pernikahannya yang cenderung buruk dan menyakitkan, sama sekali tidak berdosa. Pun ketika sang suami adalah orang yang baik, sementara sang istri merasa tidak mampu untuk mengimbangi hidup bersama karena merasa dirinya akan menjadi buruk dan menyakiti, dalam kondisi ini sang istri (perempuan) juga boleh mengajukan cerai.
Hal serupa pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw Kisah seorang perempuan bernama Habibah bint Sahl r.a.
Dia adalah istri seorang sahabat terpandang, tokoh panutan, dan orator ulung di Madinah, Tsabit bin Qays bin Syammas al-Anshari al-Khazraji r.a. Habibah tiba-tiba datang ke rumah Rasulullah Saw.
Saat Nabi Saw. membuka pintu rumah, ada seorang perempuan. “Siapa ini?” Kata Nabi Saw.
“Habibah bint Sahl,” jawab sang perempuan. “Ada keperluan apakah gerangan?” tanya Nabi Saw.
“Aku istri Tsabit bin Qays r.a., Ya Rasul, aku tidak sanggup lagi menjadi istri dia. Sekalipun akhlak dia baik dan ibadah dia juga bagus, tetapi aku tidak sanggup serumah dengannya,” jawab perempuan.
“Maumu apa?” tanya Nabi Saw.
“Aku tidak menyalahkannya, tetapi aku sendiri yang ingin bercerai darinya, karena tidak sanggup hidup bersama. Khawatir mnalah aku berperangai buruk kepadanya,” jawab Habibah.
Lalu Nabi Saw. memanggil suaminya, Tsabit bin Qays r.a., dan menyarankannya untuk menceraikan istrinya tersebut.
Perceraian terjadi dengan tebusan sebidang tanah yang awalnya diterima Habibah sebagai mahar, yang dikembalikan kepada Tsabit.
Inilah kisah cerai tebus pertama dalam Islam, yang dalam fikih kita sebut sebagai khuluk. Kisah lengkap ini dari berbagai versi Hadis yang Imam Ibn Hajar catat dalam Fath al-Bari.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik.