Islam sering dipersepsi sebagai agama yang kurang memberikan perhatian terhadap hak-hak reproduksi perempuan. Sering dikesankan hanya memosisikan tugas-tugas reproduksi kaum perempuan sebagai kewajiban dan tidak menyinggung hak-hak yang melekat pada tugas-tugas reproduksi itu.
Perempuan dengan sejalan dengan fungsi reproduktif yang dimilikinya, mempunyai tugas mengandung anak (al-hamalah), melahirkan (alwiladah), menyusui (ar-radha’ah), mengasuhnya (tarbiyah al-athfal) dan beberapa hal lain yang berkaitan dengan tugas ini.
Dengan penjelasan di atas lalu muncul pertanyaan, apa hubungan agama, dalam hal kesehatan reproduksi. Sejumlah hasil penelitian, Prof. Musdah Mulia merekomendasikan bahwa persoalan kesehatan reproduksi tidak bisa hanya didekati melalui perspektif medis semata. Pasalnya, persoalan tersebut sangat kompleks sehingga perlu pendekatan yang juga lebih komprehensif, yaitu dengan perspektif sosial.
Setidaknya ada dua alasan mengapa perspektif sosial itu penting, dan Islam selalu mengejawantah secara sosial. Pertama, kesehatan seorang perempuan sangat terkait dengan eksistensi perempuan dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan sejauh mana mereka menyadari hak asasinya, termasuk hak reproduksi. Kedua, kesehatan perempuan tidak hanya sebatas kesehatan fisik, melainkan juga kesehatan mental serta sosial. Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa ada kaitan erat antara Islam dengan kesehatan dan hak reproduksi.
Banyak laki-laki dan bahkan perempuan yang beranggapan bahwa kenikmatan seksual tidak penting bagi seorang istri. Istri hanya menjalankan kewajiban. Fakta tersebut adalah fakta umum. Hubungan seksual bagi istri adalah kewajiban semata, mereka tidak atau belum menganggap hubungan seksual bagi istri adalah sebuah hak. Bisa jadi istri takut menolak jika suami mengajak berhubungan seksual karena suaminya pasti marah dan baginya hal ini akan mengganggu keharmonisan keluarga.
Kebanyakan ulama fiqih berpendapat bahwa pelayanan seksual harus selalu dipenuhi oleh istri, kapan dan di mana saja suami menginginkannya. Dengan kata lain, ketika suami menghendaki relasi seksual (hubungan intim) maka isteri tidak boleh menolaknya.
Penolakan atas hal ini dapat dipandang sebagai pembangkangan, yang dalam istilah al-Qur’an disebut nusyuz. Pandangan ini mendapatkan legitimasi dari hadis Nabi saw. dengan kategori sahih: “Jika suami mengajak isterinya ke ranjang, lalu dia menolak, dan karena penolakan itu suami marah, maka si isteri mendapat kutukan para malaikat sampai pagi.”
Pemahaman literal atas teks Hadist di atas bisa menimbulkan efek psikologis bagi perempuan. Hubungan seksual atas dasar tekanan sangatlah tidak sehat. Ruang budaya di sekitar kita tampaknya telah terhegomoni oleh pandangan keagamaan di atas.
Pada sisi lain, al-Qur’an menentukan perlunya relasi suami istri didasarkan atas mawaddah wa rahmah, cinta dan kasih sayang. Dalam bahasa al-Qur’an disebut juga sebagai mu’asyaroh bi alma’ruf, hubungan yang baik.
Dengan landasan ini sistem kehidupan yang dijalani suami akan melalui proses-proses yang sehat, termasuk dalam hubungan seks (persetubuhan). Apalagi pemaksaan hubungan seksual dapat menimbulkan kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Contoh lainnya adalah, pola pengasuhan anak yang hanya dibebankan kepada perempuan membuat perempuan tidak jarang menjadi pihak yang tereksploitasi. Ia mengurus rumah tangga serta merawat semua kebutuhan anak.
Budaya patriarki cenderung menempatkan perempuan dalam wilayah domestik. Sedangkan laki-laki cenderung fokus di wilayah publik untuk mencari uang guna memenuhi kebutuhan keluarga. Sehingga tidak jarang apabila fokusnya hanya mencari uang untuk nafkah dan mengabaikan mengasuh anak. Tidak adil apabila mengasuh anak hanya salah satu pihak saja. Perempuan sebagai ibu dan laki-laki sebagai ayah sama pentingnya dalam mengasuh anak.
Hal tersebut juga akan berpengaruh kepada anak. Bisa jadi ia menjadi psikosomatik dan kehilangan citra seorang ayah, bahkan intensitas kedekatannya tidak seperti dengan ibu. Penelitian di Amerika menyebutkan bahwa, anak-anak yang memiliki hubungan yang berkualitas dengan orang tuanya, ketika dewasa akan memiliki mental yang lebih sehat.
Sehingga hubungan yang berkualitas bisa meminimalisir resiko mengalami gangguan mental dari pada anak yang hubungan dengan orang tuanya kurang baik. Penelitian yang sama juga menyebutkan bahwa hubungan anak dengan ayah erat kaitannya dengan tingkat kedewasaan emosional anak. Terbukti dengan temuan bahwa hubungan anak-ayah yang baik cenderung membuat anak tidak bersikap reaktif terhadap stresor apapun pada saat dewasa.
Perempuan dan laki-laki adalah setara sebagai manusia, walaupun memang secara biologis keduanya berbeda. Akan tetapi, hal itu tidak serta merta membuat laki-laki lebih unggul dan kemudian perempuan tidak lebih unggul.
Pemahaman yang demikian ini yang seharusnya sudah kita terapkan dalam ruang-ruang diskusi keluarga yang hangat dan demokratis. Tentang pengasuhan anak, tentang bagaimana pendidikan di rumah, di sekolah, kesehatan mental anak, termasuk dalam hal spiritual anak seharusnya menjadi topik-topik yang banyak digali dan diusahakan bersama baik ayah maupun ibu. Karena perilaku anak sebenarnya merupakan cerminan pola asuh yang diberikan oleh orang tuanya. []