RUU Ketahanan Keluarga yang diajukan oleh DPR sebagai bahasan Prolegnas periode ini memang menuai kontroversi. Tenang saja Pak Bu DPR, dalam bahasan kebijakan, kontroversi ketika rancangan aturan dilemparkan ke publik adalah wujud nyata dari perhatian rakyat kepada negara, tetapi kalau responnya mayoritas menolak ya bisa disimpulkan sendiri kalau rakyat tidak membutuhkan undang-undang itu. Di dalam tulisan ini saya akan membahas kerugian RUU Ketahanan Keluarga bagi laki-laki dan perempuan. Saya fokus membahas kerugian, karena tidak melihat adanya kebermanfaatan rancangan perundangan ini.
Lelaki Makin Stress dengan Tuntutan Sosial
Pasal 25 dari RUU Ketahanan Keluarga menyatakan bahwa tugas suami sebagai kepala keluarga ialah bertanggung jawab atas keutuhan dan kesejahteraan keluarga hingga musyawarah dalam menangani masalah keluarga. Kita garis bawahi kata kesejahteraan yang identik dengan kemampuan ekonomi keluarga.
Suami dalam kacamata masyarakat Indonesia memang identik dengan mencari nafkah. Karena pencari nafkah adalah suami, maka otomatis yang menentukan arah keluarga ke depan adalah suami sehingga disebut sebagai kepala keluarga. Tuntutan sosial itu membuat para suami merasa akan semakin dianggap sukses oleh masyarakat jika pangkat pekerjaannya semakin tinggi dan ekonomi keluarga semakin baik dibuktikan dengan gaya hidup yang mencolok.
Sayangnya idealitas masyarakat sering terbentur realita. Banyak laki-laki yang merasa gagal menjalani hidup karena tidak bisa mencapai standar “kelelakian” sosial masyarakat. Chris Girard dalam penelitian yang berjudul Age, Gender, and Suicide: A Cross-National Analysis pada tahun 1993 menyatakan bahwa angka bunuh diri laki-laki paling tinggi disebabkan karena ketidakmampuan memenuhi peran-peran sosial yang secara tradisional dibebankan pada laki-laki seperti peran sebagai kepala keluarga.
RUU Ketahanan Keluarga yang mengatur suami harus menjadi kepala keluarga dan bertanggungjawab atas kesejahteraan keluarga tentu mematenkan stigma masyarakat dalam bentuk undang-undang. Bayangkan saja jika dalam bentuk undang-undang sebagai peraturan perundangan dengan skala bahasan umum saja lelaki sudah dituntut sebegitu berat, bagaimana jika undang-undang itu diturunkan lagi ke aturan di level bawah yang lebih spesifik dan teknis?
Bisa-bisa dalam Peraturan Pemerintah ditentukan setiap bulan seorang suami harus bergaji sekian juta untuk disebut sebagai kepala keluarga ideal. Kasihan lelaki, beban masyarakat dan negara semakin berat tertuju padanya. Jangan sampai ini menambah angka bunuh diri lelaki seperti yang disebutkan Chris Girard.
Ibuisme Negara Reformasi
Sebutan Ibuisme Negara oleh Julia Suryakusuma yang dulu ditujukan untuk mengkritisi kebijakan era Soeharto dengan PKK dan Dharma Wanitanya kini diwariskan bahkan setelah 22 tahun Orde Baru runtuh. Dulu PKK dan Dharma Wanita dirasa mendomestikkan perempuan, kini RUU Ketahanan Keluarga pun mengingatkan kemunduran kiprah perempuan di ranah publik.
Dalam RUU Ketahanan Keluarga menyebutkan jika salah satu kewajiban istri ialah mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, menjaga keutuhan keluarga, memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tentu usulan itu menguatkan peran perempuan sebagai “Ibu” difokuskan dalam lingkup rumah. Namun, ada beberapa hal lain yang bisa dikritisi selain kesan “merumahkan” atau domestikasi perempuan.
Pertama, beban ganda bagi perempuan. Bagi perempuan yang bekerja, selama ini urusan beberes rumah atau mengurus anak sudah mampu diatasi bersama suami mereka masing-masing., entah itu mencari jalan tengah dengan menghadirkan pihak ketiga seperti Asisten Rumah Tangga atau pembagian tugas bersama suami.
Adanya RUU Ketahanan Keluarga ini justru tidak membuat keluarga tahan, tetapi rentan karena beban ganda bagi perempuan. Perempuan yang bekerja memiliki beban pekerjaan di kantor sekaligus beban mengurus suami, anak, dan rumah tangga. Konsekuensinya bisa dibayangkan jika dulu tanpa adanya RUU Ketahanan Keluarga ada pembagian tugas misalkan menjemput anak sekolah yang diberikan kepada suami, saat ini semuanya malah menjadi tugas istri karena mengurus anak adalah kewajiban istri.
Sehingga, sibuknya perempuan pekerja bisa mencapai atau bahkan 24 jam penuh karena dihitung dari jam kantor ditambah mengurus rumah, anak, dan suami yang dilakukannya setelah pulang kantor. Tentu hal ini membuat kesetaraan relasi perempuan dan laki-laki yang awalnya sudah berusaha dibangun menjadi runtuh.
Kedua, ambigu definisi “hak”. Jika tertulis istri berkewajiban memenuhi hak suami, lantas yang memenuhi hak istri siapa? Apakah suami? Apakah hak istri hanya semata ekonomi yang tercukupi dari usulan kewajiban suami sebagai keluarga yang dituliskan di ayat sebelumnya?
Padahal adanya pembagian tugas yang seimbang untuk mengurus rumah tangga dan anak bisa disebut sebagai hak istri juga. Mengapa? Karena rumah tangga dibangun dari dua pihak: istri dan suami. Begitu pula anak yang menjadi buah cinta dua pihak: istri dan suami. Maka, keseimbangan mengurus rumah tangga dan anak adalah hak keduanya juga: istri dan suami, agar tidak ada yang condong memberatkan salah satu pihak.
Adanya RUU Ketahanan Keluarga merupakan campur tangan negara yang menjadi ancaman bagi perempuan dan laki-laki. Negara sudah membuang tenaga mengurus masalah individual relasi suami istri yang seharusnya bisa selesai “di dapur” rumah sendiri.