Mubadalah.id – Pengekangan dan pelarangan perempuan, sejatinya, berawal dari asumsi kolektif bahwa perempuan adalah sumber pesona (fitnah) yang menggoda.
Dalam bahasa agama, ini biasa disebut fitnah, atau sesuatu yang menyebabkan seseorang tergiur dan terjerumus pada hal-hal salah, dosa, dan buruk.
Dalam beberapa buku agama, masyarakat selalu dianjurkan mewaspadai fitnah yang ditimbulkan oleh perempuan ini. Ia bisa menggiurkan, menggoda, menjatuhkan seseorang, dan melalaikan dari segala kewajiban agama.
Layaknya sebagai benda, perempuan disejajarkan dengan harta dan tahta. Kita sering mendengar ujaran: “harta, tahta, wanita” mengenai tiga hal yang menjadi potensi negatif dalam kehidupan seseorang.
Sebaliknya, kita tidak pernah mendengar anjuran keagamaan untuk mewaspadai fitnah yang laki-laki timbulkan.
Tidak ada juga ujaran “harta, tahta, pria”. Padahal, mereka juga bisa melalaikan dan menggiurkan. Potensi fitnah ini secara inheren, hanya melekat pada perempuan, tidak pada laki-laki.
Kodrat pesona (fitnah) ini kemudian melahirkan berbagai asumsi, pandangan, dan norma-norma sosial yang menghalangi perempuan untuk bisa memainkan kiprah sosial yang lebih baik.
Dari asumsi kodrat ini, lahir larangan-larangan atau perintah- perintah keagamaan yang hanya bagi perempuan. Hanya karena identitas seksnya adalah perempuan.
Laki-laki juga Sumber Fitnah
Dalam kehidupan nyata, sebagaimana laki-laki terpesona oleh perempuan, juga perempuan oleh laki-laki. Realitas juga menyuguhkan pesona yang timbal balik antara laki-laki dan perempuan.
Dalam bahasa al-Qur’an, adalah kata yang juga memiliki makna timbal balik. Fitnah, secara umum, berarti ujian dan cobaan, yang dalam beberapa ungkapan al-Qur’an, hal itu bisa berada dalam relasi timbal balik antara dua pihak.
Beberapa ayat yang menegaskan hal ini adalah sebagai berikut:
“Setiap yang hidup akan mengalami kematian. Dan Kami akan menguji kamu sekalian dengan keburukan dan kebaikan Sebagai ujian (fitnah), dan kepada Kami-lah kamu sekalian akan
kembali.” (QS. al-Anbiyaa’ (21): 35).*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.