Di awal tahun 2020 ini, pemberitaan di televisi nasional tak henti menyiarkan berita-berita aktual terkait banjir yang terjadi di JABODETABEK. Menarik bagi penulis ketika membaca tweet dari Rais Syuriah PCI NU Australia-New Zealand, Nadirsyah Hosen, yang bertuliskan:
“Pilih pemimpin yg kerjanya benar.
Ketika banjir datang, air tidak memilih apa agamamu.
Bagiku, agamaku. Bagimu, agamamu.
Bagi kita, banjir semua.
Sudah bisa dipahami sekarang?
Tidak berniat menafsirkan, namun penulis menemukan makna kesetaraan dalam pernyataan ini. Setara yang dimaksud ialah ketentuan untuk mendapatkan kesulitan dan kemudahan itu tidak dapat dimiliki hanya untuk kelompok atau individu tertentu saja, melainkan semua individu tanpa memandang latar belakangnya (red. Agama).
Bahkan ketika banjir datang, banyak anjing peliharaan yang terjebak dan tidak dapat mengevakuasi diri, petugas DAMKAR dengan sigap membantu anjing tersebut menyelamatkan nyawanya tanpa melihat status si Anjing (bagi yang bermazhab Syafi’i). Toh jikalau najis ada cara mensucikannya, tapi ada yang jauh lebih penting dari itu, yakni nyawa.
Dalam hal ini petugas DAMKAR telah melaksanakan satu dari lima maqashid syariah, yakni hifd al-nafs (menjaga jiwa) dari makhluk-Nya, yakni jiwa sang Anjing. Jadi berbuat kebaikan dan amal salih tetap bisa dilakukan dalam segala kondisi dan tuntutan kehidupan.
Kembali pada tweet Gus Nadir, sesuai sebab turunnya ayat, surah Al-Kafirun ini turun untuk menolak atas kompromi kafir Quraisy terhadap Rasulullah Saw. untuk saling menyembah sesembahan mereka. Penting untuk digarisbawahi, yang ditekankan dalam surah ini adalah larangan mencampur adukkan ajaran agama, bukan larangan untuk berinteraksi sosial dengan baik terhadap mereka yang berbeda agama. Sebagaimana tafsir surah ini dalam wasiat Tarekat Abah Sepuh (Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad):
“Adapun soal keagamaan, itu terserah agamanya masing-masing, mengingat surat Al-Kafirun ayat 6, “Agamamu untuk kamu, agamaku untuk aku.” Maksudnya, janganlah terjadi perselisihan, wajiblah kita hidup rukun dan damai, saling harga-menghargai, tetapi jangan sekali-kali ikut campur.”
Makna implisit dalam tafsiran ayat tersebut justru ‘diwajibkan’ untuk hidup rukun dan damai, serta saling harga-menghargai antar sesama, karena masalah agama dan keyakinan adalah hak pribadi masing-masing individu yang tidak bisa diganggu gugat.
Untuk makna kafir sendiri tidak perlu diperdebatkan, penulis memaknai kafir sebagai suatu kata benda atau kata sifat yang tidak elok jika disandingkan kepada satu golongan tertentu saja, karena setiap individu memiliki peluang untuk menjadi kafir, sebagaimana ayahanda ketika mengutip QS Al-Tawbah ayat 125:
وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَىٰ رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ
“Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.”
Dan juga hadis Qudsi:
….اذا ذكرتني شكرتني واذا نسيتني كفرتني.
“…Apabila kamu sekalian mengingat-Ku, berarti kamu sekalian sedang bersyukur kepada-Ku. Sebaliknya apabila kamu sekalian lupa (hatinya) kepada-Ku, maka kalian sedang kufur kepada-Ku.”
Masalah kemaslahatan manusia adalah masalah yang pokok, sudah menjadi tugas sesama untuk saling membantu, terlebih ketika saat banjir melanda seperti sekarang. Bantuan bisa berupa donasi, tenaga, waktu, maupun doa. Karena sudah menjadi hukum alam, kebaikan akan dibalas juga dengan kebaikan. Bantuan sekecil apa pun yang kita lakukan akan menjadi penolong di suatu saat, sebagaimana QS. Luqman ayat 16:
يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ
“(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”
Semoga banjir ini menjadi berkah, yang mengalaminya ditambah kesabarannya, dimurahkan rezekinya, diampuni segala khilafnya, dilebihkan kesehatannya, serta dapat menjadi wasilah untuk selalu dekat pada-Nya.
Ringkasnya, untuk saling memberikan kebahagiaan tidak harus dalam keadaan bahagia saja, dalam keadaan sulit pun kita bisa saling membahagiakan. Memberikan kebahagiaan tidak harus memandang agama, karena bahagia sendiri tidak beragama dan menjadi hak milik bersama. Semua kata sifat dan kata kerja tidak terikat oleh suatu agama, semuanya milik Tuhan Yang Esa. Oleh karena itu, tetaplah berbuat kebajikan dimana pun dan pada siapa pun. Wallah A’lam bi al-Shawwaab.