• Login
  • Register
Kamis, 10 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

Kita perlu membaca ulang seluruh khazanah tradisi ini dengan kacamata baru, agar melahirkan pemahaman fikih yang lebih selaras dengan prinsip dasar Islam yaitu rahmah (kasih sayang),

Redaksi Redaksi
01/07/2025
in Hikmah, Pernak-pernik
0
Fikih

Fikih

979
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Fikih ar-riddah selama ini kerap dijadikan dasar pembenaran penindakan tegas terhadap mereka yang dianggap menyimpang dari keyakinan umat Islam. Konsep ini, dalam sejarah, lebih banyak diarahkan untuk mengatur internal umat muslim.

Sementara itu, ada pula konsepsi fikih jihad yang cenderung diarahkan kepada pihak luar, yakni komunitas non-muslim. Keduanya, baik fikih ar-riddah maupun jihad, seringkali menjadi legitimasi tindakan kekerasan yang berlindung di balik dalil keagamaan.

Dalam teks-teks klasik Islam, tidak sulit menemukan ayat maupun hadis yang menjadi sumber pembenaran tindakan represif. Baik terhadap sesama muslim maupun kepada mereka yang berada di luar komunitas. Ayat-ayat dan hadis-hadis semacam ini lalu menjadi doktrin jihad.

Jihad, yang secara literal berarti “bersungguh-sungguh” atau “upaya optimal”, sering direduksi menjadi semata-mata “perang suci” untuk menegakkan kalimah Allah, dengan memerangi siapa saja yang dianggap menentang-Nya.

Dalam praktiknya, jihad juga kita lihat sebagai manifestasi perintah amar ma’ruf nahi munkar: mendorong pada kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Sayangnya, bagi sebagian kelompok yang mengedepankan ideologi kekerasan, nahi munkar lebih ditonjolkan ketimbang amar ma’ruf. Mereka merasa berhak menggunakan kekuatan fisik untuk menghapus apa yang diyakini sebagai kemungkaran, berlandaskan hadis Nabi:

“Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemahnya iman.”

Baca Juga:

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Fikih yang Berkeadilan: Mengafirmasi Seksualitas Perempuan

Sepanjang sejarah, konsepsi jihad, amar ma’ruf, dan penegakan hukum Allah telah menjadi justifikasi tindakan kekerasan dalam tubuh masyarakat muslim.

Terlebih jika kita tegakkan atas dasar “komunalisme”, yakni klaim sepihak bahwa kebenaran mutlak hanya berada pada kelompok sendiri. Sementara kelompok lain pasti sesat.

Dari sinilah kekerasan kerap lahir, bahkan untuk alasan-alasan yang sepele. Karena memiliki legitimasi teologis, kekerasan menjadi sakral, bernilai ibadah, dan justru kita perebutkan untuk kita lakukan.

Tragisnya, tindak kekerasan ini bukan hanya terjadi antara muslim dan non-muslim. Melainkan lebih banyak lagi menyasar sesama muslim yang berbeda tafsir atau pandangan.

Fikih Relasi Sosial

Ini harusnya menjadi refleksi penting yaitu sudah saatnya kita merumuskan fikih relasi sosial yang tidak lagi bertumpu pada mu’min-kafir, kawan-lawan, atau cinta-benci. Tapi berlandaskan kesepakatan bersama untuk menjamin setiap orang memiliki hak yang sama dalam hidup, berpendapat, dan berkarya.

Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa fikih klasik telah lama merumuskan pidana murtad (hadd ar-riddah) yang dalam praktiknya kerap mengancam kebebasan beragama dan berekspresi di tengah masyarakat muslim.

Lebih jauh lagi, istilah-istilah seperti kufr, zindiq, bid’ah, dan khurafat sering menjadi cap yang menyingkirkan, bahkan menghabisi, banyak pemikir ulama besar yang justru di kemudian hari menjadi perkembangan ilmu.

Perumusan fikih yang keras semacam ini tentu tidak lahir di ruang hampa; ia lahir dalam konteks sosial politik tertentu pada zamannya.

Karena itu, kita perlu membaca ulang seluruh khazanah tradisi ini dengan kacamata baru, agar melahirkan pemahaman fikih yang lebih selaras dengan prinsip dasar Islam yaitu rahmah (kasih sayang), kebebasan, dan keadilan. []

Tags: fikihMemanusiakanMewujudkan
Redaksi

Redaksi

Terkait Posts

Seksualitas

Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas

9 Juli 2025
Tubuh Perempuan

Mengebiri Tubuh Perempuan

9 Juli 2025
Pengalaman Biologis Perempuan

Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

9 Juli 2025
Perjanjian Pernikahan

Perjanjian Pernikahan

8 Juli 2025
Kemanusiaan sebagai

Kemanusiaan sebagai Fondasi dalam Relasi Sosial Antar Manusia

8 Juli 2025
Kodrat Perempuan

Meruntuhkan Mitos Kodrat Perempuan

8 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pelecehan Seksual

    Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan
  • Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah
  • Mengebiri Tubuh Perempuan
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID