Mubadalah.id – Persoalan sampah tak akan pernah selesai untuk kita bicarakan, selama manusia hidup sampah akan tetap kita hasilkan. Namun bagaimana caranya agar kita bijak melakukan pengelolaan sampah yang kita hasilkan setiap harinya. Membuang sampah pada tempatnya seolah tidak cukup, karena tempat pembuangan akhir atau TPA tentu memiliki batas kapasitas. Seperti halnya TPA Bantargebang yang kini tumpukan sampahnya sudah seperti gedung 16 lantai.
Belum lagi ketika terjadi bencana, sampah di pengungsian menjadi persoalan tersendiri. Selain sampah sisa makanan, sampah plastik dan kemasan lainnya dari dapur umum atau dari bantuan yang datang menyisakan persoalan tersendiri. Bertambah sampah pakaian bekas yang sering banyak kita temukan di lokasi pengungsian. Tempat pengungsian seolah menjadi tempat untuk membuang baju bekas yang sudah tidak terpakai lagi.
Pada Sabtu (28/1) Nusahima atau Nusantara Hijau Mandiri lembaga yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan yang fokus pada isu penanggulangan bencana, pelestarian lingkungan dan perubahan iklim menyelenggarakan webinar dengan tema pengelolaan sampah. Direktur Nusahima Ibu Yayah Ruchyati menyampaikan tujuan diselenggarakan webinar ini untuk membentuk kesepahaman bersama terkait bagaimana pengelolaan sampah di pengungsian.
Karena pengungsi yang tinggal di pengungsian juga membutuhkan tempat yang nyaman meski dengan fasilitas terbatas. Narasumber pada webinar tersebut Ibu Fitria Ariyani yang aktif sebagai pendamping Green Islamic Boarding School juga ketua Yayasan Rumah Edukasi Lingkungan. Dalam paparannya narasumber mengambil studi kasus bencana gempa Cianjur.
Dampak Sampah di Pengungsian
Tumpukan sampah di lokasi bencana tentu saja memiliki dampak langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung yang mereka rasakan aroma dari sampah itu sendiri yang akan mengganggu kenyamanan para pengungsi dan tentu saja akan menjadi sarang penyakit. Dampak tidak langsung akan mengakibatkan rusaknya sanitasi, polusi udara akibat pembakaran sampah, air tanah tercemar, pendangkalan tanah jika sampah itu terbawa hujan dan masuk ke sungai tentu air sungai akan tersumbat dan dapat menimbulkan bencana baru seperti banjir.
Pentingnya upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan masuk ke dalam setiap tahap siklus bencana. Bagaimana agar isu lingkungan harus masuk mulai dari pra bencana. Pada tahap ini penting untuk terus melakukan sosialisasi, edukasi dan mitigasi agar dapat membentuk relawan bersih sampah. Terkadang ketika bencana datang, jarang yang memikirkan tentang sampah. Sarana dan prasarana yang tentu saja minim di pengungsian di tambah adanya tumpukan sampah akan semakin mengganggu kenyamanan para pengungsi di tempat pengungsian.
Jenis-jenis sampah yang ada di pengungsian selain sampah sisa makanan juga banyak sampah pakaian. Lokasi bencana kerap menjadi tempat untuk membuang baju. Alih-alih donasi baju layak pakai, banyak di antara donatur yang memberikan baju tak layak pakai di pengungsian dan menjadi permasalahan tersendiri. Akhirnya pakaian tak layak menjadi tumpukan sampah.
Perlu adanya edukasi kepada para donatur, jika akan memberikan donasi pakaian setidaknya terlebih dahulu mereka sortir. Karena pengungsi juga manusia yang membutuhkan pakaian yang layak. Perlu kebijaksanaan dari para donatur. Bahwa tempat pengungsian bukan tempat untuk membuang pakaian bekas.
Pengelolaan Sampah Masuk dalam Materi Mitigasi Bencana
Itulah pentingnya persoalan lingkungan harus ada dalam setiap siklus bencana. Meskipun di area pengungsian memiliki fasilitas yang terbatas, tetap kita harus melakukan edukasi kepada para relawan maupun pengungsi tentang pemilahan sampah, ajak para pengungsi dan relawan untuk melakukan pemilahan sampah. Sediakan fasilitas tempat sampah terpilah supaya sampah yang memiliki nilai ekonomis dapat dijual sebagai program livelihood para pengungsi. Buat lubang biopori di sekitar dapur umum, agar sisa-sisa makanan atau potongan sayuran dapat langsung dimasukkan ke dalam lubang biopori.
Untuk pakaian tidak layak, dapat dimanfaatkan dibuat menjadi keset misalnya. Relawan dapat menjalin kerjasama dengan para pengrajin keset untuk memberikan pelatihan pada pengungsi orang dewasa. Banyak relawan yang datang ke lokasi bencana hanya fokus melakukan trauma healing untuk menghibur anak-anak. Padahal orang dewasa juga tentu saja membutuhkan aktivitas yang dapat menghibur mereka di kala mereka masih mengalami trauma pasca mengalami kejadian bencana.
Hal tersebut bukan tidak mungkin untuk dilakukan, karena telah ada praktiknya seperti yang disampaikan oleh peserta dari BPBD Kabupaten Lumajang. Ketika terjadi bencana Semeru, ada relawan mandiri yang fokus pada lingkungan dan mereka mengajari pengungsi terutama ibu-ibu membuat kerajinan dengan memanfaatkan pakaian tidak layak yang menumpuk di pengungsian.
Dari webinar tersebut dapat kita simpulkan bahwa perlu penanganan pengelolaan sampah secara komprehensif. Perlu adanya koordinasi dan kolaborasi dari berbagai pihak. Baik dengan pemerintah, swasta dan berbagai Lembaga kemanusiaan. Karena persoalan lingkungan dan tumpukkan sampah bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan bentuk relawan lingkungan. Yakni untuk memberikan edukasi dan mendampingi pengungsi untuk melakukan pemilahan sampah di pengungsian dan memberikan pelatihan tentang pemanfaatan sampah di pengungsian. []