“Tjarita Maoeng Jeung Pamadjikan Toekang Tani” adalah salah satu judul cerita dari buku yang ditulis Lasminingrat tahun 1887. Dari judulnya kita seolah sudah bisa menebak arah cerita yaitu kisah seekor harimau dan istri pak Tani. Pemilihan judul yang dipilih Lasminingrat tentu tak dapat kita abaikan begitu saja, istri petani, seorang perempuan menjadi tokoh utama sekaligus lawan berat bagi harimau.
Tak ada sedikitpun ditampilkan sosok perempuan lemah seperti yang selama ini dicitrakan dalam kultur masyarakat kita. Lasmi membuat tokoh perempuan, istri petani itu menjadi sosok pemberani, tangguh, dan cerdik. Menghadapi harimau agar tak menjadi santapannya tentu harus mengerahkan segala daya upaya. Harimau bukanlah lawan yang seimbang untuk diajak beradu fisik.
Istri pak Tani tersebut lantas memutar otak ketika suaminya datang dari ladang sambil mengadu dan bingung akan janjinya menyediakan daging empuk dan lezat untuk harimau. Perempuan itu pun berkata dengan marahnya “kenapa? apakah Akang sudah gila, masa sapi mau dikasihkan ke harimau? Darimana kita bisa membeli susu untuk anak-anak, dan darimana kita dapat mentega untuk bahan menggoreng?kenapa akang tidak mencari akal lain…”. (Tjarita Maoeng Jeung Pamadjikan Tukang Tani- hal 148”).
Mendengar penuturan suaminya, ia bukannya takut, baginya tak ada alasan untuk menyerahkan sapinya begitu saja pada harimau. Nalurinya sebagai perempuan bergerak lebih cepat ketimbang resiko yang akan ia hadapi. Gizi untuk anak-anaknya jauh lebih ia perhatikan daripada sekedar keinginan harimau.
Buku yang dibuat abad 19 tersebut menjadi semacam saksi tentang relasi suami istri yang harus saling mengisi. Sifat takut dimiliki oleh manusia tidak terlepas dia laki-laki atau perempuan. Kehidupan dalam berumah tangga yang ditampilkan dalam cerita ini menampilkan rumah tangga bukanlah suatu kompetisi antar pasangan melainkan saling mendukung satu sama lain.
Sayangnya, hal tersebut masih pro kontra dalam masyarakat kita hari ini yang sudah kadung dikandung dan dibesarkan dalam sistem patriarki ini.
Dengan penuh percaya diri, istri petani menyamar menjadi laki-laki, ia dengan cekatan menunggang kuda, memacu kudanya ke ladang menemui harimau. Hatinya berdebar, terselip sedikit rasa takut tetapi tekadnya untuk menyelamatkan hewan yang ia pelihara membuat ia tak surut untuk melangkah.
Ia berani mengambil resiko kehilangan semua, nyawanya, kerbau dan sapinya. Perlawanannya belum memastikan ia akan menjadi sang juara. Tetapi baginya, kalah dan menang bukanlah perkara, setidaknya ia pernah mencoba melawan.
Tak surut karena ancaman, tak takut karena gertakan, ia hanya punya satu tekad, mempertahankan kerbau dan sapinya untuk kebutuhan rumah tangganya dan anaknya. Nalurinya sebagai perempuan tak mengizinkan anaknya dan keluarganya kekurangan asupan gizi.
Ia, perempuan yang percaya jika ingin mendapatkan sesuatu harus bekerja keras bukan hanya meminta. Tak rela ia, Kerbau dan Sapi yang membantunya mencari kehidupan yang ia dapat dengan jerih payah harus diserahkan secara cuma-cuma pada harimau. Tanpa Kerbau, suaminya akan kesulitan menggarap sawahnya. Tenaga kerbau masih sangat ia butuhkan. Begitu juga dengan Sapi yang susunya selalu ia perah setiap hari. Ia buat susu dan mentega.
Suaminya, tak habis takjub dengan kecerdikan istrinya, ia bahkan merasa sedikit malu karena tak mengenal perempuan yang telah dinikahinya bertahun-tahun itu. Istri petani hatinya masih bergemuruh bahagia, Kerbau dan sapi miliknya aman.
Kecerdasannya tak meminta kesepakatan masyarakat, seperti halnya stigma cerdas yang dilekatkan masyarakat hanya pada laki-laki. Siasatnya harus diacungi jempol. Sirna sudah ungkapan bahwa hanya laki-laki yang berhak mempunyai akal, nyatanya istri pak Tani membuktikan bahwa perempuan tak hanya kaya nurani tetapi kaya akal.
***
Cerita Harimau dan Istri Pak Tani merupakan saduran dari dongeng Eropa. Lasminingrat menambahkan banyak sekali warna lokal. Jika selama ini, potret perempuan selalu diibaratkan sebagai pelengkap dalam kehidupan rumah tangga, mempunyai fisik lemah, mengharuskan ia hanya sebatas menunggui rumah, sedikit akal seolah-olah perempuan tak mampu berpikir. Maka, di tahun 1887, cerita yang ditulis Lasminingrat dengan tokoh perempuan yang gagah berani adalah sebuah lompatan.
Dengan cerita ini Lasmi menunjukkan sosok perempuan perkasa. Lasmi menambah konsep perkasa dengan sudut pandang yang luas. Perkasa bagi Lasmi bukan hanya dengan mengangkat pedang bertempur di medan perang. Tetapi, melalui cerita sederhananya, Lasmi mengangkat isu feminisme.
Perempuan dihadirkan bukan hanya sebagai pelengkap dalam rumah tangga, perempuan pun bertindak sebagai pengambil keputusan. Tak hanya menempati ranah domestik tetapi berani mengangkat cerita bahwa perempuan pun layak mendapat tempat di ranah publik.
Isu feminisme hingga hari ini masih menjadi pekerjaan rumah yang besar untuk setiap perempuan. Dapat dibayangkan bagaimana satu setengah abad yang lalu, kondisinya bisa jadi lebih parah dari hari ini. Melalui tulisan, Lasmi mengeluarkan pemikirannya.
Pemikiran yang tak mungkin ia lontarkan secara lisan. Media tulisan menjadi media penolong, karena sifat tulisan fiksi tidak menghakimi. Ada niat dan upaya tersembunyi Lasmi saat itu untuk memberikan sedikit gambaran pada masyarakat pribumi terlebih wanita tentang kesiapan dan kesigapan menjadi perempuan.
Naskah yang ditulis Lasmi sangat kaya, bukan hanya berisi dongeng yang hanya bisa dinikmati anak-anak semata, tetapi memberikan motivasi dan inspirasi untuk menjadi perempuan yang mandiri. Hampir satu setengah abad yang lalu, ia telah memberikan bekal pada anak-anak dan perempuan di Sunda agar menjadi pribadi-pribadi yang dapat mengatasi zaman.[]