Mubadalah.id – Sejak tahun 2000, Orang Rimba telah banyak memutuskan untuk berpindah agama kepada Islam dan Kristen. Dalam aturan adat masyarakat rimba, laki-laki mereka benarkan untuk berpindah agama. Namun, sebaliknya perempuan sangat mereka larang untuk berganti agama. Hal ini merupakan konsekuensi dari kehidupan mereka yang berada di dalam hutan rimba dan bergabung ke dalam komunitas masyarakat adat.
Perempuan muslim rimba adalah orang yang beragama Islam di lingkungan masyarakat adat Orang Rimba. Mereka hidup di tengah hutan rimba dengan sistem kehidupan mengikuti aturan adat yang masyarakat rimba pegang kokoh sejak nenek moyang mereka. Menganut kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Bersamaan itu pula mereka meyakini adanya para dewa yang mengatur sistem kehidupan manusia dan alam.
Perbedaan dan ketimpangan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan dalam masyarakat rimba merupakan aturan turun temurun dari nenek moyang mereka. Di satu sisi perempuan mereka kerdilkan, dan di sisi lain perempuan mereka muliakan. Perempuan rimba memperoleh aturan khusus dalam hukum adat mereka, perempuan dilarang berkomunikasi dengan orang-orang pendatang atau luar. Bahkan dalam komunitas mereka sendiri, perempuan yang sudah menikah atau belum tidak boleh berinteraksi dengan laki-laki lain tanpa izin dari suami.
Peraturan ini tidak bisa kita lihat dari kaca mata kuda, yang menganggap bahwa aturan adat orang rimba telah melanggar hak asasi manusia, kebebasan perempuan, dan menilai bahwa hukum dalam masyarakat adat tidak serta merta menjadi sebuah masalah dalam perspektif orang luar. Oleh karena itu, perlu mendekati secara alamiah, tanpa membawa nilai, norma, atau pandangan luar untuk menilai kehidupan dan sistem aturan dalam masyarakat adat rimba.
Perempuan Rimba sebagai Simbol Adat
Perempuan mereka muliakan sebagai pemegang teguh adat, konsekuensinya mereka tidak dibenarkan untuk berhubungan dengan orang lain, termasuk melakukan foto. Jika ada yang melakukan pemotretan terhadap perempuan rimba, maka ia akan dihukum dengan denda sebagaimana aturan dalam hukum adat mereka. Hal ini dinilai melecehkan perempuan rimba dan mengajarkan kepada mereka untuk bergaul bagi perkembangan teknologi yang ada.
Apa itu berarti hukum adat Orang Rimba mendiskriminasi perempuan? Tentu harus juga kita lihat dalam kehidupan masyarakat adat yang kompleks. Banyak kasus interaksi dengan kebudayaan baru, telah menodai atau mereduksi makna adat, aturan, dan budaya mereka sendiri. Ketika perempuan sebagai simbol adat telah berubah, maka adat tidak dapat menjadi kesepakatan yang ditaati bersama. Itulah akibatnya, banyak masyarakat adat berupaya menghindari interaksi dengan kebudayaan luar, baru atau asing.
Namun, perempuan rimba dalam kondisi yang berbeda mendapatkan kedudukan sakral dalam aktivitas adat mereka. Perempuan rimba yang telah memenuhi syarat akan menjadi seorang “peminang”, ia bertugas berinteraksi dengan para dewa dengan tujuan-tujuan tertentu. Meminta hujan, menanam padi, hingga pelaksanaan perayaan perkawinan. Peminanglah yang berkomunikasi dengan dewa untuk mengetahui dikabulkan atau tidaknya sebuah hajat tersebut.
Artinya sakralitas perempuan rimba tidak hanya persoalan simbolik, tapi soal hal-hal mendasar dalam kepercayaan masyarakat rimba. Hampir setiap aktivitas masyarakat rimba berhubungan dengan perempuan sebagai peminang. Orang yang sakral tentu menghindari berbagai perubahan dalam hal agama, budaya, sistem kehidupan masyarakat rimba yang dalam pandangan orang luar sangat berbeda daripada kehidupan mereka, bahkan tidak jarang menyesatkan.
Pelarangan lainnya ialah berpindah agama. Perempuan rimba mereka larang untuk berpindah agama. Tentu bukan sebuah persoalan yang menilai bahwa perempuan diambil hak kebebasannya. Namun, lebih dari itu, perpindahan agama perempuan terkait dengan kelangsungan dan keberlanjutan adat Orang Rimba. Perempuan sebagai simbol adat, ia menjadi pengikat antar masyarakat adat, penghidup aturan-aturan adat, dan pemegang teguh hukum adat.
Kehidupan Perempuan Rimba dan Keberlanjutan Lingkungan
Perempuan rimba sebagai pemegang teguh adat menjadi tumpuan terhadap keberlanjutan lingkungan. Sebagai penjaga adat ia tidak hanya berperan menjadi pekerja di wilayah domestik semata yang diiringi dengan larangan untuk berinteraksi sosial dengan masyarakat rimba maupun pendatang. Ini yang menampilkan keunikan tersendiri di tengah diskriminasi terhadap perempuan, hukum rimba memposisikan perempuan tidak hanya sebagai pekerja rumah tangga, tapi penentu terhadap keberlanjutan lingkungan.
Hal ini paling tidak dapat kita lihat dari berbagai aktivitas rumah tangga yang menuntut pengetahuan dan kepatuhan terhadap aturan adat. Seperti dalam hal mandi, mencuci pakaian, dan buang kotoran manusia sekalipun tidak dapat terhindari dari aturan adat masyarakat rimba.
Mencuci pakaian dan mandi di sungai tidak mereka benarkan menggunakan sabun mandi atau sabun cuci. Hal demikian akan merusak dan mempengaruhi air yang berada di sungai dan menjadi satu-satunya sumber air bagi mereka. Selain karena kebersihan air sungai, masyarakat rimba pun mempercayai bahwa ada Dewa air yang menjaga sungai mereka. Maka jika mereka menggunakan sabun itu artinya telah merusak air sungai dan mengakibatkan dewa marah.
Persoalan kelanjutan lingkungan, berbagai praktik kehidupan mereka selalu mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan atau hutan. Penyebab hal ini adalah kepercayaan dan sistem kehidupan mereka, bahwa hutan adalah dunia mereka, sumber kehidupan mereka. Jika terjadi pencemaran terhadap hutan dan lingkungan, itu artinya merusak dan menghilangkan sumber pencarian dan kelangsungan hidup mereka.
Dalam konteks ini sejatinya perempuan rimba tidak dapat kita nyatakan sebagai korban diskriminasi an sich. Karena ada peran fundamental, strategis, dan sakral terhadap kelangsungan hidup masyarakat rimba. Dan semua ini tentu dapat menjadi pertimbangan masyarakat luar untuk menjustifikasi secara sederhana terhadap sistem kehidupan dan kepercayaan orang rimba. []