• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Mubadalah: Menguatkan Perempuan tanpa Meninggalkan Laki-laki

Usfiyatul Marfu’ah Usfiyatul Marfu’ah
17/12/2019
in Publik
0
Ilustrasi: Pixabay

Ilustrasi: Pixabay

182
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Keberangkatan saya ke Cirebon mendapatkan banyak pertanyaan titipan dari seorang teman laki-laki, yang dalam beberapa diskusinya mengenai gender ia merasa terancam kelelakiannya. Menurutnya, belajar gender untuk melepaskan perempuan dari ketertindasan tapi sayangnya malah dengan ketertindasan baru, kepada laki-laki.

“Coba dong, bicara gender pakai bahasa laki-laki,” katanya.

“Saya berpemikiran terbuka soal gender, praktiknya juga. Saya izinkan istri ikut kegiatan di organisasi yang ia ikuti, bahkan saya rela ikut juga untuk menjaga anak saat dia di forum.”

“Tapi dalam beberapa hal kok rasanya kurang sreg aja sama para pandangan aktifisnya tentang laki-laki,” katanya.

Sepanjang perjalanan kereta Poncol-Cirebon tidak henti-hentinya saya memikirkan kalimat teman tersebut. Apa maksudnya? Bagaimana bisa dalam kajian gender harus menggunakan bahasa laki-laki? Memangnya bahasa memiliki jenis kelamin? Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja terulang.

Baca Juga:

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

“Pulang dari Cirebon kamu harus sudah punya jawaban dari pertanyaanku,” bunyi pesan singkat dari WhatsApp.

Hari pertama mengikuti acara, ketemu dengan bapak dan ibu feminis. Buya Hussein Muhammad, penerima gelar doctor honoris causa soal tafsir gender dari UIN Walisongo, dan Prof. Musdah Mulia yang tulisan dan gagasannya mengenai isu perempuan sangat berani. Yang disampaikan kedua tokoh ini berupa konsep besar dalam memperbincangkan laki-laki dan perempuan. Otak kecil saya belum bisa mencerna menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi.

Hari kedua, plenary session, Saya mengambil kelas media dan gender mainstreaming, bagaimana media menulis tentang perempuan dan isu-isu perempuan. Di forum ini saya menemukan jawaban bahwa agar perempuan dan pengalaman-pengalaman perempuan (yang khas) tidak tenggelam serta dilupakan sejarah harus ada upaya menuliskannya, oleh perempuan sendiri sebagai pemilik pengalaman, dengan cara berjejaring dan saling mendukung di antara sesama perempuan.

Nah, di hari ketiga, saat kelas KGI (Keadilan Gender Islam, bukan keadilan gender dan Islam ataupun keadilan gender dalam Islam) yang diampu Bu Nur Rofi’ah, dan kelas Mubadalah yang diampu Bapak Mubadalah sendiri, Pak Faqihuddin Abdul Kadir, seakan mengantongi banyak kata kunci kata kunci untuk membuka satu persatu kunci jawaban.

Di antaranya; pertama, belajar keadilan gender tidak dengan menggunakan dalil untuk mendiskriminasi perempuan, begitupula tidak untuk membenarkan pertentangan dengan laki-laki.

Kedua, tidak ada yang salah dengan Arab dan orang Arab. Mempelajari gender dengan melihat sejarah Islam menjadikan budaya patriarki orang Arab sebagai persoalan.

Ketiga, mubadalah merupakan kesalingan, dengan menggunakan perspektif keadilan.

Keempat, mubadalah tidak digunakan untuk mengkritik, baik pemahaman patriarkal masyarakat apalagi posisi laki-laki. Mubadalah mengajak manusia perempuan dan laki-laki untuk memaknai kemanusiaan.

Jadi, jika ada yang memandang keluar rumah tidak baik untuk perempuan, mubadalah berusaha mengajak memaknai tujuan dari suatu pandangan melalui pertanyaan-pertanyaan kritis. Mengapa perempuan tidak boleh keluar? Apa betul jika perempuan tidak keluar akan terlindungi? Bagaimana jika ia punya kebutuhan di luar rumah, siapa yang akan memenuhi kebutuhannya?

Apakah semua perempuan mempunyai laki-laki untuk melindunginya? Apakah laki-laki benar-benar bisa melindungi perempuan 24 jam? Apakah kebaikan untuk perempuan itu hanya bisa dilakukan melalui cara itu saja? Apakah kebaikan tidak keluar rumah itu untuk laki-laki juga?

Dengan begitu, kelima, sebagai cara pandang mubadalah sangat soft dan ramah pada laki-laki maupun perempuan. Tidak ada seorangpun laki-laki yang terabaikan pendapatnya dalam mubadalah, begitupun tidak ada satupun perempuan yang terlemahkan dalam mubadalah.[]

Usfiyatul Marfu’ah

Usfiyatul Marfu’ah

Terkait Posts

Gaji Pejabat

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

1 Juli 2025
Pacaran

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

30 Juni 2025
Pisangan Ciputat

Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

30 Juni 2025
Kesetaraan Disabilitas

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

30 Juni 2025
Feminisme di Indonesia

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

28 Juni 2025
Wahabi Lingkungan

Wahabi Lingkungan, Kontroversi yang Mengubah Wajah Perlindungan Alam di Indonesia?

28 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID