Mubadalah.Id- Artikel ini akan membahas terkait perempuan sebagai agen perdamaian dunia. Dalam beberapa tahun ini Indonesia selalu berhadapan dengan persoalan yang sama, yang terjadi secara berulang dan meluas. Pertikaian orang Madura dengan penduduk lokal, misalnya, telah terjadi berulang kali di Kalbar sejak tahun 1962 (Kompas, 20/12/ 2000; Sudjono, 2000; Alqadrie, 1999; Koeswinarno, 2004).
Peristiwa yang terjadi di Kalimantan Tengah pada bulan Februari 2001 semakin menegaskan pula betapa rumitnya persoalan etnis di Indonesia. Konflik etnis semacam ini tidak hanya terjadi di Kalimantan, tetapi juga daerah-daerah lain di Indonesia.
Konflik antara orang Aceh dengan Batak atau antara Melayu dengan non Melayu di Sumatera Utara, pertikaian di Ambon atau di Papua merupakan gambaran betapa konflik etnis di Indonesia menjadi masalah yang berkepanjangan. Pertikaian di Sulawesi Utara yang melibatkan Gorontalo atau Talaut, konflik agama di Poso, dan di Jawa sendiri yang sarat dengan isu SARA.
Serangkaian pertikaian itu merupakan gambaran yang jelas tentang pertikaian etnis yang sedang kita hadapi sekarang ini. Dengan melihat urian di atas, sebenarnya membangun perdamaian memerlukan pendekatan yang lebih multidimensional.
Salah satunya adalah bagaimana menempatkan perempuan dalam membangun model perdamaian berkelanjutan, meskipun mereka sama sekali tidak terlibat secara langsung dalam setiap aktivitas sosial laki-laki.
Menurut Denys Lombard (1990), para ibu jelas memegang peranan penting yang sangat menonjol. Dominasi laki-laki pada akhirnya hanya berhenti pada ideologi. Ketika dihadapkan dengan kenyataan maka dominasi laki-laki ini menjadi mitos. Sebaliknya, dominasi wanita adalah dominasi nyata dan praktis yang lebih memperlihatkan kuasa yang hidup (Sullivan, 1991: 76-77).
Dalam skala yang lebih luas, perempuan sebagai pemegang peranan penting bahkan utama dalam bidang politik bukanlah hal yang baru dalam sejarah kehidupan bangsa ini.
Sebagaimana telah diketahui umum, perempuan telah menjadi aktor penting dalam perjuangan kaum nasionalis dalam lingkungan publik yang menandai masuknya bangsa ini ke era modernitas (Boserup, 1970: 9-10).
Akan tetapi, peran ini telah secara serius diingkari oleh kaum Asianis laki-laki (peneliti tentang Asia). Demikian juga gelombang tulisan feminis Barat jarang memunculkan keterlibatan perempuan dalam kegiatan pergerakan politik.
Tradisi berpikir ini sangat dipengaruhi oleh tradisi berpikir dunia Barat yang tidak memasukkan ideologi gender, tidak memanipulasi wanita, tetapi juga tidak melibatkannya. Berbagai ideologi dan isme-isme –meskipun berbicara tentang laki-laki dan wanita- tetap memasukkan wacana publik sebagai peran politikus laki-laki saja. Jadi, dunia “publik” adalah dominasi laki-laki, sedangkan dunia “privat” adalah dunia wanita.
Pembagian peran privat dan publik di Barat tidak relevan jika diterapkan pada masyarakat Indonesia, karena wanita terbiasa dengan peran privat sekaligus publik. Ada kecenderungan juga bahwa lingkungan domestik dimanipulasi sedemikian rupa oleh penguasa/pemerintah sehingga meskipun sebenarnya berpengaruh besar terhadap dunia publik, ia justru disingkirkan oleh dogma-dogma yang diturunkan publik. Indonesia merupakan bangsa multietnik dan multikultur.
Implikasi dari keanekaragaman ini adalah gender harus dipahami dalam konteks budaya tertentu. Gender tidak dapat dipahami secara sederhana hanya dengan membedakan kategori seks, yaitu laki-laki atau wanita.
Usman (1998) menemukan pola kesetaraan dalam masyarakat Jawa, yang condong menempatkan pola kedudukan setiap anggota keluarga (suami atau istri) dalam posisi yang kurang lebih seimbang. Gejala yang disebut gejala matrifokalitas ini pada masyarakat Jawa terlihat dengan adanya pandangan kesetaraan antara laki-laki dan wanita dalam sistem peran sosial secara umum.
Kedudukan serta peran seorang ibu dianggap penting dalam masyarakat Jawa karena kaum ibu tidak hanya mengasuh dan mendidik anak serta mendam-pingi suami, tetapi juga diperkenankan untuk keluar rumah melakukan kegiatan ekonomi (Geertz. 1983).
Sebagaimana Koentjaraningrat, Geertz juga mengungkapkan bahwa dominasi wanita Jawa terjadi dalam urusan domestik. Akan tetapi, bagi Geertz, efek dominasi wanita tersebut dapat meluas ke dalam masyarakat menjadi “jaringan dominasi wanita”.
Wanita menghubungkan kekuasaannya dengan wanita lain atau dengan orang lain yang berhubungan dengannya sehingga jaringan itu begitu kuat dan dominasi wanita meluas hingga suatu bentuk kekuasaan yang nyata.
Dalam konteks ini, Rogers menambahkan bahwa dominasi laki-laki pada akhirnya hanya berhenti pada ideologi, yang ketika dihadapkan dengan kenyataan maka hal ini menjadi mitos, sedangkan dominasi wanita adalah dominasi nyata praktis yang lebih memperlihatkan kuasa yang hidup.
Lombart (1990) juga mengungkapkan bahwa para ibu di Indonesia, yakni kaum wanita, jelas memegang peranan penting yang sangat menonjol, bahkan kedudukannya jauh lebih tinggi daripada wanita pada masyarakat Asia lainnya.
Kekuasaan mereka, sekalipun dari belakang layar, tetap ampuh dan bersumber pokok pada kelompok perkumpulan mereka (Lombart, 1990: 92-95).
Jika Geertz dan Koentjaraningrat mengklaim bahwa posisi perempuan dalam wilayah domestik sangat kuat dan secara ekonomi memberikan kontribusi berharga, maka White dan Hastuti menyatakan bahwa kekuatan tersembunyi perempuan pada alam domestik secara struktural telah tersubordinasi akibat terdesaknya mereka ke dalam pembuatan keputusan tentang ideologi sama dengan dunia praktis yang oleh laki-laki dijadikan dominasi publik (Sullivan, 1991: 78).
Namun demikian, dalam situasi semacam ini, wanita dapat mencari celah untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan, dengan cara yang justru memanfaatkan feminitasnya.
Meskipun secara struktur formal mereka tidak berpengaruh, secara informal pengaruh tersebut sangat besar. Dengan melihat asumsiasumsi tersebut, maka diperlukan dua hal dalam membangun model pemberdayaan perempuan di daerah konflik.
Pertama, perlakuan untuk menghapus trauma akibat konflik, dengan menyadarkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki perempuan, baik di sektor publik maupun domestik. Kedua, mengamati penggunaan kekuatan yang dimiliki sebagai sebuah strategi kekuasaan perempuan dalam meminimalisir konflik.
Ketiga, diperlukan sebuah model untuk mensosialisasikan strategi kuasa perempuan sebagai mediator konflik. Sehingga melalui ketiga hal tersebut diharapkan dapat dibangun model peran perempuan di bidang resolusi konflik sosial yang selama satu dekade terakhir muncul di Indonesia.
Dan hal ini sudah sejalan dengan apa yang dimaksud dengan mubadalah dimana dalam prinsip Islam mengenai kesalingan antara laki-laki dan perempuan dalam melaksanakan peran-peran gender mereka di ranah domestik dan publik, berdasar pada kesederajatan antara mereka, keadilan serta kemaslahatan bagi keduanya, sehingga yang satu tidak menghegemoni atas yang lain, dan atau menjadi korban kezaliman dari yang lain. Tetapi relasi yang saling menopang, saling bekerjasama, dan saling membantu satu sama lain.
Demikian penjelasan terkait perempuan sebagai agen perdamaian dunia. Semoga perempuan sebagai agen perdamaian dunia bermanfaat. []