Mubadalah.id – Alasan mendesak yang didukung dengan alat bukti yang cukup merupakan salah satu syarat bagi orang tua untuk dapat mengajukan permohonan dispensasi perkawinan kepada pengadilan. Aturan dalam Pasal 7 Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tersebut menjadi dasar yuridis seseorang dapat melakukan perkawinan bagi yang belum berusia 19 tahun.
Perkawinan anak merupakan praktik yang jamak kita temukan dan karena sejumlah efek negatif yang timbul dari perbuatan tersebut. Maka dipilihlah pembatasan melalui instrument hukum permohonan dispensasi perkawinan. Tidak terlarangnya praktik ini secara mutlak menunjukkan adanya kondisi-kondisi tertentu yang membutuhkan pengecualian. Di mana untuk itu membutuhkan penetapan oleh pengadilan.
Perma No 5 Tahun 2019 yang Mahkamah Agung terbitkan merupakan pedoman lebih lanjut dari ketentuan pasal 7 Undang-Undang Perkawinan. Peraturan ini memberikan pedoman yang lebih rinci bagi hakim dalam memeriksa perkara dispensasi perkawinan. Kewajiban mendengarkan keterangan anak, orang tua anak, calon pasangan anak, serta orang tua calon pasangan anak yang tidak diatur dalam undang-undang perkawinan yang lama. Kini menjadi kewajiban yang jika tidak hakim lakukan dapat berujung pada tidak dapat diterimanya permohonan dispensasi perkawinan.
Namun demikian, pengadilan sendiri seringkali berhadapan dengan posisi sulit di mana kedua anak bersedia untuk menikah. Dan di antara keduanya juga telah terjadi hubungan seksual yang berakibat pada kehamilan. Penolakan terhadap permohonan dispensasi seperti ini tentu dapat berujung pada lahirnya ribuan anak tanpa ayah. Faktanya, mengandalkan lembaga peradilan sebagai media mencegah perkawinan anak tidaklah proporsional. Mengingat lebih dari 90 persen perkawinan anak terjadi tanpa ada penetapan dari pengadilan (Sumner 2020).
Mempengaruhi Legal Behavior
Suburnya praktik perkawinan anak tidak lepas dari absennya intervensi lain atas praktik ini. Sebagai suatu perilaku hukum, pilihan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan perkawinan anak akan terpengaruhi oleh setidaknya tiga faktor (Friedman 1987). Pertama, faktor adanya sanksi dan penghargaan atas praktik tersebut. Absennya sanksi menghilangkan rasa takut anak dan orang tua untuk melakukan perkawinan anak.
Undang-Undang Perlindungan Anak mengancam hukuman pidana atas tindakan cabul terhadap anak yang sering menjadi sebab terjadinya perkawinan anak. Ketentuan dalam Undang-Undang yang sama juga mewajibkan orang tua untuk mencegah terjadinya perkawinan anak. Namun, sanksi-sanksi tersebut sangat jarang kita terapkan kepada para pelaku perkawinan anak. Hal ini tidak lepas dari faktor kedua yang mempengaruhi perilaku hukum seseorang yaitu pengaruh sosial, pengaruh teman sebaya atau lingkungan.
Faktanya masyarakat kita masih menerima dan menormalisasi praktik perkawinan anak. Meski diatur sebagai perbuatan pidana, praktik pacaran yang kerap berujung pada hubungan seksual antar remaja kian biasa dan mudah kita temukan. Bahkan, remaja yang tidak memiliki pacar tidak jarang dianggap tidak gaul dan mendapat stigma dengan sebutan jomblo.
Komnas perempuan mengakui, bahwa mudahnya akses informasi yang menstimulasi hubungan seksual melalui gawai oleh anak menjadi salah satu faktor yang menyuburkan praktik perkawinan anak (Komnas Perempuan 2022). Negara melarang praktik perkawinan anak, namun lingkungan menyuguhkan tontonan serta menciptakan kondisi yang menstimulasi anak untuk melakukan perkawinan.
Faktor ketiga yang mempengaruhi praktik perkawinan anak adalah kesadaran diri anak dan orang tua. Selama perkawinan anak masih dianggap sebagai suatu hal yang benar oleh anak dan orang tua, maka praktik ini kian sulit untuk kita hilangkan sepenuhnya. Seperti praktik poligami yang meski telah terbatasi pelaksanaannya melalui izin pengadilan, nyatanya masih jamak kita temukan poligami yang masyarakat lakukan tanpa izin pengadilan sebelumnya.
Hal ini terjadi karena berpegang pada nilai bahwa izin pengadilan tidak mereka perlukan dalam pelaksanaan poligami. Selama nilai-nilai yang hidup dan masyarakat yakini membenarkan praktik perkawinan anak, maka selama itu pula praktik perkawinan anak akan terus subur dan tak terbendung.
Intervensi Langsung
Sosialisasi atas dampak buruk perkawinan anak secara massif, reinterpretasi dalil-dalil agama serta nilai-nilai adat yang memperbolehkan perkawinan anak, serta pengentasan kemiskinan kiranya merupakan solusi utama yang perlu untuk terus kita lakukan. Meski hasilnya baru dapat kita rasakan beberapa tahun kemudian.
Dalam menghadapi kasus permohonan dispensasi perkawinan di depan pengadilan, solusi-solusi tersebut kiranya tidak selalu tepat untuk kita andalkan. Intervensi langsung terhadap anak dan orang tua kita butuhkan untuk memperbesar potensi tidak terlaksananya perkawinan anak. Atau setidak-tidaknya menekan dampak buruk dari perkawinan anak.
Salah satu intervensi langsung dan berkelanjutan terhadap anak dan orang tua anak dalam perkara dispensasi perkawinan dapat kita lakukan melalui Pekerja sosial. Aturan dalam Perma memungkinkan keterlibatan lembaga-lembaga lain untuk memberikan rekomendasi serta pendampingan terhadap anak. Tidak terkecuali pendampingan oleh pekerja sosial.
Jika Hakim hanya berwenang mengupayakan pencegahan perkawinan anak di dalam ruang sidang, maka pekerja sosial memiliki ruang yang lebih leluasa untuk mengintervensi anak dan orang tua. Pendampingan anak oleh pekerja sosial sendiri adalah hal yang lumrah pada perkara pidana anak. Sayangnya, aturan pendampingan oleh pekerja sosial dalam perkara dispensasi perkawinan hanya bersifat opsional (Vide Pasal 15 Perma 5 Tahun 2019).
Pelibatan Pekerja Sosial
Keterlibatan pekerja sosial sangatlah penting baik dalam maupun setelah proses pemeriksaan. Selain melakukan pendekatan kepada anak dan keluarga untuk mencegah perkawinan anak, pekerja sosial dapat mencegah terjadinya perkawinan anak secara sirri. Selain itu untuk memastikan dipatuhinya penetapan pengadilan yang menolak permohonan dispensasi kawin.
Dalam hal putusan pengadilan mengabulkan permohonan dispensasi kawin, pekerja sosial juga dapat secara berkala mengontrol kondisi perkawinan anak untuk mencegah tidak terpenuhinya hak-hak anak. Pekerja sosial juga dapat berkoordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan jika terdapat indikasi adanya kejahatan terhadap anak dalam perkawinan.
Posisi strategis pekerja sosial merupakan salah satu solusi yang dapat kita harapkan secara efektif. Yakni untuk memberikan hasil dengan cepat dalam pencegahan perkawinan anak. Oleh karenanya, negara melalui peraturan pemerintah atau peraturan menteri dapat segera mengatur kewajiban setiap permohonan dispensasi perkawinan untuk pekerja sosial dampingi, sekaligus menyediakan infrastruktur yang mereka butuhkan demi terlaksananya pendampingan anak. []