Mubadalah.id – Bagi anda pembaca tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara, mungkin pernah menemukan gagasan ‘prinsip kekeluargaan’ dalam konsep pendidikannya. Dalam buku kumpulan tulisan ‘Pendidikan yang Memerdekakan’, ada bagian yang menyebut bahwa prinsip kekeluargaan itu terinspirasi dari model pendidikan pesantren tradisional di daerah Prambanan. Apa kaitannya dengan Film The Santri?
Saya pun masih merasakan suasana itu di pesantren Krapyak Yogjakarta. Pada reuni 2017 kami bernostalgia dengan keluarga Ndalem, bagaimana di masa dulu panggilan-panggilan kepada keluarga Kyai pun dengan panggilan kekeluargaan. Kami menyebut ‘Mbah Yai Dalhar Munawwir’, menyebut ‘ Gus Uzi, Gus Fahmi’, itu sekarang-sekarang ini setelah kami tidak di pondok. Dulu kami menyebut beliau ‘Bapak’ saja dan kepada putra-putri beliau ‘mas dan mba’ saja.
Dari perspektif pendidikan, rupanya praktik dari prinsip kekeluargaan menjadi realisasi hidden curriculum terkait nilai-nilai. Suasana kekeluargaan itu menciptakan kultur yang mudah memaafkan, mudah menerima perbedaan, berbagi, empati dan saling menghargai apa pun situasinya, karena semua dianggap keluarga.
Hal-hal dalam kultur menyangkut hidden curriculum ini tidak bisa direduksi dalam teori-teori. Penanan nilai-nilai itu tidak memadai kalau hanya dengan teori dan ceramah, tapi membutuhkan laku dan kultur yang mendukung.
Prinsip kekeluargaan mewujudkan suasana saling percaya, selalu ada waktu untuk penyadaran. Mudah kita temukan kisah-kisah santri yang mencuri cabe, sepotong tempe atau kerupuk, disikapi hanya mendapat candaan, bukan dihukum. Yang bersangkutan (diyakini suatu saat) dengan sendirinya akan meminta maaf.
Lha bagaimana lagi, santri yang sampai berbuat bagitu hampir pasti karena memang butuh makan. Para santri pun demikian, bila dapat kiriman biasanya akan dibagi rata, ditawarkan pada siapa pun memastikan tidak ada teman yang sendirian kelaparan. Tidak selalu menomorsatukan pendekatan fikh formal yang digunakan, tapi kasih sayang. Ini salah satu ekspresi prinsip kekeluargaan.
Ekspresi lain dari dari prinsip kekeluargaan adalah adanya optimisme berupa kepercayaan, bahwa pada dasarnya semua orang memiliki potensi kesadaran moral. Maka laki-laki dan perempuan bisa saling berkomunikasi, bisa berkegiatan bersama dalam aktifitas pendidikan, organisasi santri, kegiatan sosial, ekonomi dll.
Kalau kemudian ada yang saling taksir antar laki-laki dan perempuan, lertama-tama dianggap sebagai sesuatu yang manusiawi sepanjang tidak melanggar aturan pondok. Kalau sampai ketahuan keluar berdua-dua ya tetep ada mekanisme takzir, kalau tidak bisa diselesaikan pengurus pondok ya pak Kyai panggil orang tua santri untuk meresmikan hubungan.
Tampaknya dalam film ini ada upaya memperlihatkan penghargaan sebagian lembaga pendidikan seperti ini pada sisi-sisi kemanusiaan dalam soal hubungan laki-laki perempuan, karena toh pada akhirnya santri akan pulang ke masyarakat, ke dunia luas dan akan bergaul dengan banyak orang, sehingga penting untuk menekankan sikap realistis dan tidak berfikir hitam putih tentang dunia.
Jangankan antarsantri, guru yang masih lajang juga kadang bisa ungkapan perasaan di depan kelas disambut ger-geran para santri, Kalau beruntung bisa menyunting kalau tidak ya santri yang dimaksud sudah tahu perasaan gurunya itu.
Suasana kekeluargaan yang memungkinkan komunikasi jadi rileks, sekali lagi di situ realitas kemanusiaan tidak harus dipandang secara hitam putih. Kultur pendidikan yang dibangun menumbuhkan kesadaran tentang ‘tahu batas’, bukan suasana mudah curiga bahwa ‘pasti akan terjadi kemaksiatan atau zina’.
Dalam pemahaman saya film The Santri itu mau mengangkat aspek humanis dalam pesantren. Kita tahulah konteks sang sutradara asli Blitar yang tinggal di Amerika tentu risih dengan kebijakan presiden Donald Trump yang curiga banget dengan warga muslim apalagi imigran yang baru datang. Bisa dipahami bila ia ingin mengangkat sisi-sisi Islam di Indonesia melalui lembaga pendidikannya, yang sangat mungkin berbeda dari yang dipikirkan banyak orang terutama di Amerika.
Sebuah sekuel yang bagi banyak orang tidak biasa adalah ketika ada adegan santri mengirim tumpeng ke gereja, menurut saya itu simbolisasi dari bagaimana sebagian pesantren NU mengajarkan toleransi. Dulu di Madrasah Diniyah, dalam pelajaran ahlak, ada santri bertanya kepada pak Ihsan (pak Ihsan pengajar khath/kaligrafi arab, kebetulan pengampunya bapak Hendri Sutopo berhalangan, sehingga beliau yang menggantikan).
Santri ini bertanya bertanya, mengapa ada banyak warga Kristiani di sekitar pondok, mengapa pesantren besar tidak mengislamankan mereka? Pak Ihsan menjawab dengan santai saja, “Nabi Muhammad saja tidak bisa mengislamkan paman beliau. Hidayah itu urusan Allah (sambil mengutip ayat al Quran). Karena misi Islam adalah untuk memuliakan ahlak manusia bukan mengislamkan orang yang sudah beragama”, demikian jawaban pendek pak Ihsan, sehingga saya mengingatnya sampai sekarang.
Dalam hati saya waktu itu, lha kami di Nurussalam biasa beli sarapan di tempat ‘simbah’ (kami tidak pernah tahu nama pedagang yang menggoreng langsung makanan di dapurnya) dan kami juga menjahit seragam di keluarga yang memasang salib di rumahnya, seperti di rumah ‘simbah’. Biasa saja.
Ada banyak pesantren NU yang tidak hanya mengajarkan toleransi tapi bahkan bekerja sama untuk banyak urusan sosial, lingkungan hidup, kebencanan, jadi sekuel ini pun sebenarnya hal biasa. Mengapa mesti ada tagar boikot ya?
Tapi sebagaimana umat Islam sangat heterogen, pesantrennya juga demikian. Saya pernah berkunjung ke pesantren Hidayatullah di Balikpapan, sangat-sangat beda suasannya. Pesantren keluarga FPI mungkin juga beda, atau pensantren-pesantren jaringan lembaga pendidikan PKS tentu berbeda.
Kalau pesantren anda kebetulan berbeda atau tidak pernah mengalami apa yang diceritakan dalam film ini, anda jadi tahu bahwa ada banyak ragam pesantren, termasuk ada sebagian pesantren NU seperti ini. Mungkin baik dicatat soal prinsip kekeluargaan dan hidden curriculum yang saya ceritakan tadi, (yang mungkin juga saat ini agak melemah di tengah arus perubahan serba sertifikasi)
Terakhir, saya tidak berkomentar tentang kualitas filmnya ya (karena bukan komentator film dan tidak punya ilmu tentang perfilman).
Tapi saya mengapresiasi bahwa film ini bisa memperlihatkan aspek yang barangkali tidak dilihat publik Amerika misalnya dan sekaligus memperlihatkan keragaman sistem pesantren di Indonesia.
Nah quote hari ini dari saya terkait prinsip kekeluargaan dalam pendidikan adalah:
“Membangun saling percaya dalam proses pendidikan pada dasarnya adalah jalan menumbuhkan konsep diri peserta didik agar mampu memperkuat kesadaran moral dan potensi kemanusiaan mereka. Memberi kepercayaan itu menguatkan”.[]