Mubadalah.id – Jika merujuk metode mubadalah tentang kepemimpinan politik dalam Islam, maka metode mubadalah berpegang pada prinsip meritokrasi, bukan pada jenis kelamin, baik laki-laki atau perempuan.
Pada konteks ini, teks Hadis Abi Bakrah r.a. tentang ketidaksuksesan pemimpin perempuan bersifat informatif dan kasuistik, bukan normatif, apalagi universal.
Sesungguhnya teks Hadis ini berbicara mengenai kepemimpinan seseorang yang dalam usia tidak matang, belum memiliki kapasitas yang cukup, dan tidak memiliki dukungan politik yang memadai.
Tentu saja kepemimpinan seperti ini akan hancur, binasa, dan tidak akan membawa pada kesuksesan, baik pemimpinnya laki-laki maupun perempuan.
Sebaliknya, kepemimpinan yang dipegang orang yang memiliki integritas, kapasitas, dan dukungan politik yang cukup, bisa menjadi modal bagi kesuksesan orangorang yang dipimpinnya.
Orientasi kepemimpinan dalam Islam, sebagaimana kaidah fikih tegaskan, adalah mewujudkan kemaslahatan seluruh rakyat yang ia pimpin (al-siyasah ala al-ra’iyyah manuth bi al-mashlahah). Siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan, yang memiliki kapasitas untuk kemaslahatan berhak untuk menjadi pemimpin.
Larangan yang berbasis jenis kelamin tidak seharusnya kita munculkan atas nama hukum Islam, atau Hadis Nabi Muhammad Saw.
Semua klaim ini sebaiknya tidak perlu lagi kita perhatikan sebagai narasi keislaman. Sekalipun ada akarnya dalam tradisi, dengan mempertimbangkan pandangan para ulama di atas.
Apalagi secara faktual, banyak sekali pemimpin perempuan yang jauh lebih sukses dalam memimpin daerah, bangsa, atau organisasi dan perusahaan.
Politik sebagai arena perwujudan amar makruf dan nahi mungkar sebagaimana QS. al-Taubah (9): 71 tegaskna. Bahwa ruang bagi laki-laki dan perempuan harus bermitra, dengan prinsip relasi yang tesiprokal, bukan hegemonik dan dominatif. Melainkan kesalingan dan kerja sama. []