Mubadalah.id – Sering kita temukan anggapan yang menyatakan bahwa kewajiban pengasuhan anak lebih merupakan kewajiban seorang ibu. Sementara kewajiban mendidik anak adalah kewajiban ayah. Hal ini berarti ayah telah dinomorduakan dalam hal kewajiban pengasuhan anak.
Begitupun ibu telah dinomorduakan dalam hal kewajiban pendidikan anak. Padahal (seperti yang telah tersebut dalam Hadis), ayah dan ibu, keduanya ikut atau akan dimintai tanggung jawab jika seorang anak menjadi Yahudi atau Majusi.
Penegasan Istilah
Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan dan pengasuhan anak merupakan tanggung jawab bersama antara ayah dan ibu. Dengan melakukan kewajiban dan kerjasama yang sepadan dan adil antara ayah dan ibu dalam pengasuhan, maka akan mengurangi adanya subordinasi atau penomorduaan.
Pada konteks di mana ayah dan ibu masih terikat hubungan suami istri (baca: tidak bercerai), hadanah lebih tepat kita istilahkan dengan sebutan “kewajiban asuh anak”. Karena pendidikan dan pengasuhan anak pada dasarnya memang merupakan kewajiban kedua orang tua (Q.S. Al-Baqarah (2): 233).
Pasal 45 UU Perkawinan juga mengatur bahwa: “(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Baru ketika kedua orang tua bercerai dan terjadi sengketa pengasuhan anak (yang belum mencapai usia tamyiz), maka kemudian muncul istilah hak asuh anak.
Dalam kejadian ketika kedua orang tua bercerai, akan sangat baik jika sengketa hak asuh anak bisa terselesaikan lewat mekanisme musyawarah. Ayah dan ibu berdiskusi tentang siapa yang lebih maslahat dalam mengasuh anak.
Tetapi jika tidak kita temukan kata sepakat, sengketa hak asuh anak dapat terselesaikan lewat jalur pengadilan. Majelis hakim akan memutuskan, melalui pertimbanganya, siapa yang lebih berhak mendapat hak asuh anak, ayah atau ibu.
Prioritas Pengasuhan Anak
Pada kejadian ketika ayah dan ibu bercerai, maka pemegang hak asuh anak tidak terpengaruhi oleh siapa yang mengajukan perceraian. Yang lebih berhak mengasuh anak dalam fikih penentuannya oleh usia dan jenis kelamin anak. Selain itu tergantung bagaimana kondisi atau keadaan orang tua. Atau dalam bahasa yang lebih singkat, tergantung pada kemashlahatan dan kepentingan terbaik bagi anak.
Pengasuhan anak perempuan dalam Mazhab Syafi’i misalnya, anak perempuan bayi harus berada di bawah pengawasan ibunya sampai dia mencapai masa puberitas atau baligh (yang tidak didefinisikan). Sementara Mazhab Hanbali mengatakan bahwa seorang anak perempuan bersama ibunya sampai usia tujuh tahun. Lalu setelah itu bisa memilih antara kedua orang tuanya.
Mazhab Maliki mengatakan bahwa seorang ibu umumnya memiliki hak asuh atas putrinya sampai usia dia boleh menikah. Haid anak perempuan, yang kita katakan datang pada usia sembilan atau sepuluh tahun, sebagai tanda bahwa anak boleh meninggalkan ibunya dan pergi bersama ayahnya jika dia mau. Seperti halnya orang tua, kebanyakan kondisi pengasuh diperbolehkan. Namun semua sepakat bahwa pengasuh anak haruslah seorang muslim.
Metode Mubadalah dalam Memaknai Hadis
Masalahnya adalah bagaimana jika ayah dan ibu bercerai, sementara anak belum berusia tamyiz. Sedangkan ibu menikah lagi dengan suami baru. Apakah ibu yang bercerai lalu menikah lagi tetap kita prioritaskan dalam mendapatkan hak asuh anak?
Kejadian semacam ini marak terjadi di masyarakat, termasuk di zaman Nabi. Misalnya terdapat Hadis pengasuhan anak berikut ini
أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً ، وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً، وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً، وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي، وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي) رواه أحمد (6707) وأبو داود (2276)، وحسنه الألباني في صحيح أبي داود ، وصححه ابن كثير في “إرشاد الفقيه” (2/250) .
“Dari Abdullah Ibnu Amar bahwa ada seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, susuku yang memberinya minum, dan pangkuanku yang melindunginya. Namun ayahnya yang menceraikanku ingin merebutnya dariku. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum nikah.” Riwayat Ahmad dan Abu Dawud.”
Hadis di atas jika kita golongkan maka termasuk dalam klasifikasi nash yang bersifat juz’iyyat (implentatif dan operasional). Jika kita mengikuti salah satu langkah metode mubadalah dalam memaknai teks. Maka Hadis di atas mesti kita tarik pada nilai yang bersifat qawa’id, dan bahkan mabadi (nilai universal).
Artinya dalam hal pengasuhan anak yang lebih penting untuk kita perhatikan, dan kita pertimbangkan adalah kemaslahatan dan kepentingan terbaik bagi anak.
Selain itu, secara eksplisit khitab atau audience dalam Hadis pengasuhan anak di atas adalah perempuan. Tetapi secara implisit kita juga bisa ikut melibatkan laki-laki di dalamnya. Artinya laki-laki (ayah yang menikah lagi) juga termasuk dalam audience Hadis tersebut. Seorang ayah yang menikah lagi, dengan demikian sebaiknya juga tidak kita berikan hak asuh.
Pertimbangan Utama
Ibnu Hazm menyatakan bahwa seorang ibu yang menikah lagi tidak menjadi pertimbangan utama dalam pengasuhan anak. Pandangan Ibn Hazm dikuatkan oleh beberapa kejadian di masa Nabi. Misalnya Anas bin Malik yang masih tetap diasuh oleh ibunya, padahal ibunya telah menikah kembali dengan orang lain, yaitu Abu Talhah.
Anaknya Ummu Salmah juga masih tetap berada dalam tanggungannya (diasuh olehnya), meski Ummu Salmah menikah dengan Nabi Muhammad Saw.
Begitupun anak perempuan sahabat Hamzah yang masih diasuh oleh bibinya sesuai ketetapan Nabi Muhammad Saw., padahal bibinya telah menikah kembali. Pandangan Ibnu Hazm tersebut setidaknya menunjukan bahwa menikah lagi bukanlah merupakan pertimbangan utama dalam kelayakan pengasuhan anak.
Makna Hadis tersebut tentu juga tidak semata menunjukan bahwa perempuan (ibu) lebih berhak mendapat hak asuh anak dibanding laki-laki (ayah). Artinya, jatuhnya hak asuh anak tidak memandang pada jenis kelamin seseorang, tetapi lebih kepada sifat-sifat yang menyertainya. Jika seorang ibu lebih penyayang, lebih telaten dan lebih sabar dalam mengasuh anak maka dia lebih berhak mendapat hak asuh anak.
Begitupun seorang ayah jika dalam realitasnya memiliki sifat yang lebih penyayang, lebih telaten dan lebih sabar dalam mengasuh anak, maka ayah lebih berhak mendapatkan hak asuh anak. Dalam hal konflik mengenai siapa yang lebih berhak mengasuh seorang anak.
Kemampuan Asuh Anak Menjadi Pertimbangan
Pada dasarnya jenis kelamin tidaklah menjadi pertimbangan. Yang menjadi pertimbangan utama adalah kemampuan asuh anak. Siapa yang lebih mampu mengasuh anak. Kemudian kita simpulkan, di mana ada kemaslahan bagi anak, maka hak asuh ada di sana.
Tetapi meskipun yang lebih penting untuk kita perhatikan, dan kita pertimbangkan dalam perebutan hak asuh anak adalah kemaslahatan dan kepentingan terbaik bagi anak. Bukan berarti orangtua yang menikah lagi tidak menjadi bahan pertimbangan. Orangtua yang menikah lagi tetap menjadi bahan pertimbangan, meski bukan pertimbangan utama.
Seorang ibu yang menikah lagi, sebaiknya memang tidak kita berikan hak asuh. Begitupun seorang ayah yang menikah lagi. Hal ini karena seorang anak yang diasuh oleh orangtua yang menikah lagi akan berinteraksi dengan ayah tiri atau ibu tirinya. Dan meski tidak semua ibu atau ayah tiri bersifat jahat, mayoritas mengatakan bahwa menjadi anak tiri bukanlah merupakan hal yang mudah untuk dijalani oleh seorang anak,. []