Mubadalah.id – Dalam mengoperasikan paradigma KUPI, dengan sembilan nilai dasar: ketauhidan, kerahmatan, kemaslahatan, kesetaraan, kesalingan, keadilan, kebangsaan, kemanusiaan dan kesemestaan itu, Musyawarah Keagamaan KUPI menggunakan kerangka dari khazanah klasik yang disebut maqashid asy-syari’ah.
Dengan kerangka Ini, keputusan hasil Musyawarah Keagamaan tidak bertumpu pada suatu teks secara atomik. Melainkan dalam kerangka utuh dan holistik dari ajaran dan hukum Islam.
Teks-teks sumber dikumpulkan dalam sebuah tema besar yang menggambarkan kerangka maqashid asy-syari’ah tersebut. Sehingga satu sama lain terkait di satu sisi, dan sekaligus mencerminkan visi rahmatan lil ‘alamin dan misi akhlak karimah dari Islam itu sendiri di sisi yang lain.
Kata maqashid adalah bentuk jamak dari kata maqshad (dalam bahasa Arab), yang berarti tujuan. Ia juga menunjuk pada makna-makna dari kata hadaf (tujuan), ghardh (sasaran), mathlub (yang diinginkan), dan ghayah (tujuan akhir).
Ia bisa berarti ends (Inggris), telos (Yunani), finalite (Prancis), atau zweck (Jerman). Secara bahasa, maqashid asy-syari’ah berarti tujuan-tujuan dari syari’ah Islam.
Sekalipun sebagai konsep dan kerangka baru muncul di akhir perkembangan hukum Islam. Namun substansi pembahasannya sudah bisa kita temukan dalam kaidah-kaidah mengenai qiyas (analogi hukum), ‘illah (logika hukum), istihsan (pencarian kebaikan), dan mashlahah (kemaslahatan).
Tokoh Ulama Klasik
Sepanjang sejarah peradaban Islam, tokoh-tokoh ulama klasik yang berjasa dalam perumusan konsep maqashid asy-syari’ah adalah Abu Abdullah at-Tirmidzi al-Hakim (w. 320 H/932 M), dan Abu Zayd al-Balakhi (w. 322 H/933 M).
Sebagai warisan klasik, maqashid asy-syari’ah telah mengerucut pada konsep al-kulliyat al-khams (prinsip yang lima) sebagai kerangka dalam memahami dan memutuskan hukum Islam.
Lima prinsip yang mereka maksud adalah perlindungan jiwa (hifzh an-nafs), dan akal (hifzh al-‘aql). Kemudian harta (hifzh al-mal), keluarga (hifzh an-nasl) atau kehormatan (hifzh al-‘irdh), dan agama (hifzh ad-din).
Maqashid asy-syari’ah dengan lima prinsip ini, bagi asy-Syathibi, telah menjadi dasar hukum yang jelas dan pasti (qath’iy), sebagai bagian dari pokok agama (ushul ad-din), kaidah hukum (qawa’id syar’iyyah), dan prinsip beragama (kulliyat al-millah).
Bagi ulama kontemporer, kelima prinsip ini tidak hanya berguna sebagai kerangka untuk menjaga dan melindungi hak-hak dasar manusia. Melainkan juga untuk mengembangkannya agar terwujud secara baik dan sempurna. []