Mubadalah.id – Pernah tidak kita melihat ada perempuan kuat yang mampu mengangkat beban berpuluh kilo? Tentu pernah, kan. Contohnya di media sosial, viral gadis remaja yang bekerja sebagai buruh. Pekerjaannya adalah memindahkan semen yang tentu tidaklah ringan. Kerjaan yang belum tentu semua laki-laki seusianya kuat melakukan itu. Tapi, dia mampu. Ya, mungkin karena sudah biasa.
Dari kisah gadis remaja itu, saya malah jadi ingin mempertanyakan pandangan yang sudah umum dalam masyarakat kita, bahwa laki-laki lebih kuat tenaga fisiknya ketimbang perempuan. Memangnya, apa iya secara fisik laki-laki selalu lebih kuat tenaganya dari perempuan?
Konstruksi patriarki mempakemkan laki-laki sebagai sosok yang kuat, dan perempuan sebagai yang lemah. Pakem patriarki ini sering keliru, dan jelas keliru. Sebab, meski tidak secara umum, dalam realitasnya, banyak perempuan yang kuat secara fisik. Pun, meski pada umumnya kebanyakan laki-laki itu kuat, tapi sebenarnya ada banyak juga laki-laki yang tidak kuat-kuat amat.
Selain cerita gadis remaja yang menjadi buruh semen. Saya punya pengalaman melihat secara langsung, betapa perempuan juga kuat secara fisik. Di mana, pada tahun 2020, saya pernah bekerja sebagai buruh lepas pemetik cengkeh di satu perusahaan.
Saat itu, saya melihat banyak ibu-ibu yang juga menjadi buruh lepas. Kerja ini tidak hanya butuh keberanian memanjat pohon cengkeh yang amat tinggi. Namun, juga butuh kekuatan fisik. Tangga untuk memanjat pohon itu tidaklah ringan.
Belum lagi cengkeh yang kami petik, yang beratnya sampai puluhan kilo, itu harus kami pikul naik gunung menuju camp dengan jarak yang cukup jauh. Jelas harus kuat secara fisik untuk melakukan kerja ini. Dan, ibu-ibu yang menjadi buruh lepas mereka mampu melakukannya.
Perempuan Selalu Lebih Lemah?
Banyak bukti kalau ada perempuan yang tenaga fisiknya kuat. Dan, laki-laki tidak semua ekstra kuat secara fisik. Bapak-bapak yang hanya terbiasa kerja kantoran di ruangan ber-ac, misalnya, belum tentu mereka mampu bekerja menjadi buruh cengkeh seperti para ibu-ibu yang saya ceritakan.
Begitu juga laki-laki remaja yang waktunya hanya habis buat main game, dan tidak pernah melakukan aktivitas yang mengasah kekuatan fisiknya, belum tentu mereka bisa bekerja sebagai buruh semen kayak gadis remaja yang viral di media sosial itu.
Saya jadi ingat satu kutipan dalam buku The Second Sex, karya Simone de Beuvoir, bahwa “one is not born genius: one becomes a genius (seseorang tidak dilahirkan genius: seseorang menjadi genius).”
Dalam hal ini, kenapa kebanyakan laki-laki itu kuat secara fisik? Karena sejak kecil aktivitasnya membentuknya menjadi kuat. Namun, ada juga loh laki-laki yang mengangkat gelon air saja tidak mampu. Kenapa? Karena fisiknya tidak tertempa untuk terbiasa melakukan kerja fisik yang berat. Dia tumbuh tidak dengan aktivitas yang mengasah kekuatan fisiknya.
Prinsip becoming (penjadian) ini juga berlaku kepada perempuan. Gadis remaja dan ibu-ibu yang menjadi buruh, mereka kuat untuk kerja itu. Jangankan hanya untuk mengangkat gelon air, beban berpuluh kilo pun bisa mereka angkat. Itu karena ragam aktivitas yang mereka lakukan menjadikan mereka kuat secara fisik.
Jadi meski secara perawakan perempuan memiliki tubuh feminin, namun secara tenaga bukan tidak mungkin dirinya memiliki kekuatan maskulin. Itu semua bergantung pada aktivitas yang mewarnai proses penjadian diri. Perempuan bisa jadi lebih kuat, dan bukan tidak mungkin ada laki-laki yang tidak kuat secara fisik.
Citra Diri Maskulin Milik Siapa?
Meski dalam realitasnya, ada perempuan yang kuat dan laki-laki yang lemah. Namun, dalam masyarakat patriarki, laki-laki lah pemilik tunggal citra diri maskulin yang kuat. Dan, citra diri perempuan yang feminin secara umum akan selalu terpandang lebih lemah.
Memikirkan kasus ini, saya malah jadi ingat dengan tulisannya Lies Marcoes yang berjudul Seperti Memakai Kacamata yang Salah: Membaca Perempuan dalam Gerakan Radikal. Dalam buku itu, Marcoes menjelaskan bagaimana ideologi gender esensialis maskulin mencitrakan terorisme hanya mungkin laki-laki lakukan.
Sebab, ideologi ini memandang laki-laki sebagai si pemilik kejantanan (keberanian) tunggal. Sehingga, terorisme secara esensial terpandang sebagai watak bawaan laki-laki yang maskulin, bukan perempuan yang feminin.
Kasus ini kurang lebih serupa (bukan dalam aktivitas ekstrimismenya namun pada diskursus citra diri maskulinnya). Bias dari pandangan ideologi gender esensialis maskulin, yang memandang laki-laki sebagai pemilik mutlak kejantanan baik fisik maupun sosial, akan selalu mencitrakan yang kuat itu laki-laki. Sedangkan perempuan, watak bawaannya feminin, maka dia akan selalu menjadi pihak yang lemah (bahkan dipaksa untuk lemah).
Maka melalui ideologi maskulin ini, menguatlah pakem patriarki bahwa laki-laki lah yang pantas menjadi pelindung, penafkah, dan pemimpin. Sementara perempuan, dia pihak yang selalu lemah, karenanya perlu untuk selalu laki-laki lindungi, nafkahi, dan pimpin.
Padahal dalam realitasnya, banyak perempuan mandiri yang mampu melindungi dirinya, menghidupi dirinya, dan juga memimpin dirinya. Para perempuan yang menjadi buruh, misalnya, mereka tidak lemah. Mereka mampu eksis mencari penghidupan untuk diri mereka bahkan keluarga.
Namun dalam masyarakat patriarki, citra diri perempuan akan selalu lemah, dan citra kuat mutlak milik laki-laki. Apakah laki-laki perlu berbangga akan hal ini? Tidak. Bias dari kekeliruan konstruksi patriarki ini tidak hanya merugikan perempuan yang selalu dipaksa menjadi pihak lemah.
Namun, juga menyerang kejiwaan laki-laki yang selalu dituntut untuk kuat. Kenapa? Karena dalam realitasnya laki-laki harus mengakui bahwa kita tidak sekuat itu. Banyak kekurangan laki-laki yang mengharuskannya membutuhkan bantuan perempuan.
Antara Citra Diri Feminin dan Maskulinisasi
Kalaupun ada pengakuan akan kekuatan fisik perempuan, dalam masyarakat patriarki, mereka akan terpandang sebagai perempuan yang telah mengalami proses maskulinisasi. Artinya, mereka seakan menjadi perempuan yang kehilangan “keidealannya” sebab tidak lagi berwajah feminin.
Hal senada Margaret Walters gambarkan dalam bukunya berjudul Feminisme, perihal para pasukan perempuan. Dalam masa perlawanan kediktatoran Presiden Porfirio Diaz, antara 1910-1918, di Meksiko, tentara perempuan (soldera) mendapat tugas yang berwajah feminin, seperti mendirikan kemah, mencari makan, memasak, dan merawat yang terluka.
Jadi, bukan tugas memegang senjata yang berwajah maskulin. Namun, ada juga tentara perempuan yang ikut mengangkat senjata. Para perempuan yang mengangkat senjata mendapat label sebagai perempuan yang telah menjadi maskulin, sehingga bukan lagi seorang “tentara wanita (perempuan)” tetapi “tentara” saja.
Hal ini masih tidak lepas dari bias paradigma gender maskulin, yang mencitrakan laki-laki sebagai pemilik mutlak kejantanan. Sehingga, perempuan yang berwatak feminin seakan mustahil menjadi kuat secara fisik. Kalaupun ada perempuan yang kuat, masyarakat patriarki memandang mereka sebagai perempuan yang telah mengalami maskulinisasi.
Oleh karena itu, ketika ada perempuan yang kekar tubuhnya, kuat tenaga fisiknya, dan berani mentalnya, di mana ke semua itu menjadi ciri maskulin, maka mereka sering terpandang tidak lagi perempuan ideal yang memiliki watak feminin. Dari sini muncul labelisasi seperti “perempuan tomboi”, yang pada dasarnya ingin melabeli perempuan sebagai rada laki-laki.
Kenapa sampai muncul pelabelan seperti itu?
Masyarakat patriarki melekatkan label laki-laki kepada perempuan yang kuat, bukan untuk pengakuan atas kekuatan perempuan. Melainkan, untuk menegaskan kalau laki-laki adalah pemilik tunggal maskulinitas (kekuatan). Sebuah penyangkalan akan realitas kekuatan yang mungkin perempuan miliki. []