Novel Dua Barista yang ditulis apik Ning Nyai Najhaty Sharma, usai saya baca sekitar akhir tahun 2019. Sejak itu memang sudah ada niatan ingin mengulasnya. Namun karena novel sudah banyak yang antri meminjam, maka rencana menuliskannya saya tunda, dan kini baru bisa diselesaikan.
Banyak hal yang membuat saya tertarik dengan novel ini. Ketika pertama kali penulis novel menghubungi saya meminta agar berkenan mengulasnya, jawabannya saya saat itu hanya satu, belum ada perspektif perempuan dalam novel ini, dan relasi kuasa yang begitu kuat sehingga istri kedua dilemahkan secara sistem.
Secara garis besar, novel ini berkisah tentang perempuan muda bernama Mazarina, yang terikat perkawinan karena perjodohan keluarga. Latar belakang kehidupan para tokoh dalam cerita berada di lingkungan pesantren. Namun karena Mazarina mandul, sementara sang suami Ahvash adalah anak tunggal pewaris tahta dan trah pesantren, maka atas desakan orang tua, atau mertua Mazarina, ia menikah lagi.
Sebagai perempuan yang beriman dan mencintai suaminya, Mazarina bahkan rela memilihkan sendiri calon istri bagi Ahvash. Pilihan pun jatuh pada Meysaroh, seorang santriwati yang sudah lama ikut keluarga Kiai, mengabdikan diri sambil ikut mengaji. Karena cekatan dan tekun, belakangan perempuan pilihan Mazarina ini pun, ikut membantu usaha Mazarina menjadi pelayan di butik busana muslim, yang tak jauh dari pesantren.
Percikan api cemburu mulai terasa ketika Meysaroh dinyatakan hamil lalu melahirkan bayi laki-laki, sesuai dengan harapan keluarga besar pesantren. Mazarina yang merana, menyimpan lara dan duka dengan tangis senyap malam-malam sunyi, tanpa suami. Karena rasa sepi itu, sempat terlintas dalam benak Mazarina untuk mengakhiri biduk rumah tangganya.
Sementara di sisi lain, Meysaroh yang berangkat dari keluarga sederhana dan biasa, bukan dari kalangan pesantren, dianggap tidak sederajat. Meski Ahvash sudah berupaya bersikap adil dan mengormati keluarga Meysaroh di kampung halamannya. Namun sikap tak bersahabat yang ditunjukkan kakak Meysaroh menjadi titik point, ada relasi tak setara dalam hubungan mereka.
Pada akhirnya memang Ahvash harus memilih antara Mazarina dan Meysaroh. Atas dasar kepentingan pesantren, dan sikap menghormati guru, karena orang tua Mazarina merupakan guru Ahvas ketika mondok dulu, maka Ahvash pun dibuat tak berdaya menghadapi polemik poligami yang tak pernah mati ini. Ia harus berkelana mengunjungi para kiai, yang memilih laku poligami, bagaimana menempatkan sikap adil dalam memperlakukan istri. Jawabannya, tentu ada dalam novel Dua Barista.
Iya, tema poligami memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Tengok saja film yang masuk jajaran box office seperti Ayat-Ayat Cinta dan Surga yang Tak dirindukan. Belum lagi tayangan sinema, drama, FTV yang begitu banyak bertebaran di TV swasta nasional maupun lokal. Hingga pada akhirnya tanpa sadar tontonan itu akan menjadi tuntunan hidup masyarakat.
Mengapa demikian? sebab semakin banyak konten yang membahas tentang poligami, maka seolah akan dianggap wajar dan sah-sah saja terjadi. Artinya, suami yang mengambil langkah untuk poligami apapun alasannya, akan dianggap biasa, bukan aib apalagi dosa.
Terlepas dari pro dan kontra poligami, novel ini telah menyuguhkan fakta tentang poligami tanpa menyudutkan pilihan itu, karena akan kembali pada pilihan yang telah diambil dengan berbagai pertimbangan yang matang. Jika akhirnya Ahvash hanya memilih satu istri, yang artinya adalah monogami, maka mau tak mau ada hati perempuan lain yang telah terluka.
Ketentuan hukum yang ada tentang poligami, sebagaimana dikatakan Prof. Musdah Mulia dalam Buku Muslimah Reformis, jelas menunjukkan posisi inferior dan subordinat perempuan di hadapan laki-laki. Hal ini sungguh bertentangan dengan esensi Islam yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan kemaslahatan.
Meski begitu, ada sisi lain yang menyenangkan dari novel ini, yakni pemilihan judul Dua Barista, yang dimaknai filosofis sebagai “menjadi barista untuk istri berarti meleburkan budaya patriarki”, artinya saling melayani untuk memuaskan pasangan tanpa tekanan dan paksaan. (hal. 492). Ditelisik dari sudut manapun, saya melihat nilai mubadalah yang terselip manis di antara kisah cinta Gus Ahvash dan Ning Mazarina. Meski sangat disayangkan ketika harus mengorbankan hati Meysaroh.
Sebagai penutup, saya mengutip kalimat favorit dalam novel Dua Barista ini, yang merupakan monolog dari Mazarina di bab pertama. “Seberapa suka kau pada kopi?. Aku memiliki cara berbeda dalam menerjemahkan kopi setelah aku menikah dengannya. Ia menemanimu menjelajahi hati pasangan layaknya sebuah kastil, mengeja aksara yang dipahat pada temboknya, takjub dengan bola-bola kristal yang menjuntai dibalik tatapannya. Bangga memandang kubah-kubah harapan yang menjulang.”
Ya, sebagai penikmat kopi, penulis novel Dua Barista telah berhasil memukau saya untuk terus membaca dari halaman pertama hingga terakhir, dan menikmati setiap lekuk kata, pilihan diksi, tata bahasa, rima, kosa kata dan kisah cinta yang dramatis. Dalam waktu satu hari satu malam, novel ini tuntas saya baca. []