Mubadalah.id – Diskursus mengenai larangan atau kebolehan melakukan perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama nampaknya tidak akan pudar termakan waktu. Terbaru, Mahkamah Agung melalui SEMA 2 Tahun 2023 melarang pengadilan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
Surat edaran tersebut menuai protes dari berbagai kalangan. Salah satunya karena mereka anggap tidak sejalan dengan prinsip Hak Asasi Manusia. Komnas Perempuan misalnya menyatakan bahwa SEMA tersebut merupakan kebijakan diskriminatif dan merupakan bentuk pengingkaran dan pengabaian lembaga negara di bidang perkawinan.
SETARA institute juga turut mengkritisi kemunculan aturan dari Mahkamah Agung tersebut. Salah satu argumen yang mereka ajukan ialah kenyataan bahwa perkawinan beda agama telah lama menjadi suatu hal yang wajar di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Salah satu perkawinan beda agama antara laki-laki muslim dan perempuan kristiani yang cukup terkenal ialah perkawinan antara Adi Abidin dan Lia Marpaung yang dilaksanakan di bawah bimbingan akad K.H. Husein Muhammad. The Wahid Institute juga menyebutkan pernah membuka ruang memfasilitasi perkawinan beda agama (Nurcholish 2014).
Perkawinan Sebagai Ibadah
Indonesia menganut asas bahwa perkawinan tidak boleh kita lihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus kita lihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan. Sedangkan undang-undang menetapkan keabsahan administratif yang negara lakukan.
Meskipun perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda secara nyata pernah terakui dan hingga kini masyarakat praktikkan. Namun tidak serta merta hal tersebut membuat praktik perkawinan ini dapat kita legalkan.
Sepanjang kebijakan perkawinan di Indonesia tidak hanya memandang perkawinan dari sisi keperdataan semata. Melainkan juga memperhatikan aspek keilahian yang mana bersumber dari aturan-aturan agama, maka sulit rasanya untuk menerima perkawinan beda agama di Indonesia.
Mengacu pada dokumen Kompendium bidang hukum perkawinan yang diterbitkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), ada kesimpulan bahwa semua agama di Indonesia yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Aliran Kepercayaan pada prinsipnya tidak membolehkan perkawinan beda agama.
Secara khusus dalam konteks agama Islam, perkawinan antara seorang muslim dan non-muslim anggapannya tidak sah oleh mayoritas ulama di Indonesia. Hal ini setidaknya tercermin dari fatwa tiga organisasi Islam besar di Indonesia yaitu MUI, NU dan Muhammadiyah. Di mana ketiganya sepakat menyatakan tidak sahnya perkawinan umat Islam dengan umat yang berbeda agama.
Hukum Negara
Sejatinya dalam khazanah fikih, masyhur pendapat yang memperbolehkan perkawinan beda agama yang terbatas. Yaitu hanya perkawinan antara laki-laki muslim dengan seorang wanita ahli kitab. Pendapat ini pun secara detail berbeda-beda kriterianya di setiap madzhab.
Negara termasuk di dalamnya hakim memiliki wewenang untuk membuat hukum yang berlaku kepada seluruh warga negara. Dalam proses menghasilkan hukum tersebut, Tidak jarang, produk-produk hukum mereka buat dengan berdasar pada nilai yang hidup dan mengakomodir kebutuhan sosiologis masyarakat (living law).
Namun terkadang hukum memang kita ciptakan berbeda dengan nilai dan kebiasaan yang hidup di masyarakat. Melakukan hal ini dengan sengaja untuk mempengaruhi atau merekayasa nilai dan pola hidup masyarakat (Law as tool of social engineering). Sehingga tidak mengherankan jika pada suatu waktu, aturan yang negara tetapkan berbeda dengan kondisi sosiologis masyarakat. Karena tujuan dari peraturan tersebut tidak lain adalah untuk mengubah kondisi yang telah ada.
Meskipun perkawinan beda agama kita kenal dalam khazanah fikih Islam. Namun negara atas dasar kemaslahatan serta memperhatikan konteks yang berkembang dapat memutuskan untuk tidak menggunakan pendapat tersebut.
Terlebih, boleh tidaknya perkawinan antara seorang muslim dengan seorang yang tidak beragama Islam tergolong sebagai ikhtilaf. Oleh karenanya, negara berhak untuk memilih pendapat yang akan diberlakukan sesuai kaidah hukmul al-hakimi ilzamun wa yarfa’u al-khilaf.
Menjamin Hak Anak
Meski dianggap sebagai perkawinan yang tidak sah sehingga tidak dapat mereka catatkan. Namun adalah suatu kenyataan bahwa banyak praktik perkawinan beda agama oleh masyarakat muslim di Indonesia.
Kiranya hal ini merupakan keniscayaan mengingat kitab-kitab fikih klasik yang membolehkan perkawinan beda agama dipelajari dan menjadi refrensi di banyak lembaga pendidikan islam formal maupun kajian-kajian non-formal. Sehingga memungkinkan terdapat laki-laki muslim yang merasa boleh menikah dengan perempuan ahli kitab. Selain itu ada pula tokoh-tokoh muslim di Indonesia yang bersedia menikahkan kedua mempelai dalam perkawinan tersebut.
Salah satu akibat dari hubungan tersebut ialah lahirnya seorang anak yang berpotensi akan kita anggap sebagai anak luar kawin. Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin bahkan meminta Mahkamah Agung menjelaskan status anak yang lahir dari perkawinan beda agama paska penerbitan SEMA 2 Tahun 2023.
Untuk menjaga hak anak tersebut, sebaiknya perkawinan beda agama-dengan kriteria tertentu-dapat kita anggap sah sepanjang demi kepentingan anak.
Tentunya tidak seluruh perkawinan beda agama yang kita anggap sah. Melainkan hanya yang dilakukan sesuai dengan ketentuan fikih Islam yang membolehkan perkawinan tersebut. Sehingga anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita muslim dengan laki-laki non-muslim pada prinsipnya tidak memiliki kesempatan untuk kita nasabkan kepada ayahnya. Karena perkawinan tersebut tidak tergolong sebagai perkawinan yang boleh dalam fikih Islam.
Anggapan sahnya perkawinan tersebut tidak lantas membuatnya dapat tercatatkan. Melainkan secara hukum hanya berdampak kepada anak dan tidak berlaku kepada kedua mempelai. Kedua orang tua anak tidak kita anggap sebagai suami istri, namun hanya kita anggap sebagai orang tua anak yang berkewajiban memelihara dan terhubung nasabnya dengan anak.
Penetapan Nasab Anak yang Lahir dari Perkawinan Beda Agama
Jadi, bukan perkawinannya yang kita tetapkan sebagai perkawinan yang sah. Melainkan anak yang lahir dari perkawinan tersebutlah yang kita tetapkan sebagai anak sah. Solusi ini kiranya tidak keluar dari konsepsi perkawinan yang berketuhanan dan tidak pula jatuh pada perkawinan sipil semata. Karena nyatanya perkawinan beda agama secara terbatas terakui dalam fikih Islam.
Konsepsi serupa pernah Mahkamah Agung terapkan dalam menjamin asal-usul anak yang lahir dalam poligami liar. Meski perkawinan poligami liar tersebut tidak dapat mereka sahkan. Namun demi kepentingan anak maka dapat dimohonkan penilaian atas asal-usul anak tersebut.
Meski dapat kita mohonkan penetapan atas asal-usul anak, namun perkawinan poligami di antara kedua orang tuanya tidak dapat disahkan karena mereka lakukan tanpa seizin pengadilan (Vide SEMA 3 Tahun 2018). Sehingga di antara kedua orang tuanya tidak berlaku kewajiban nafkah, waris maupun harta bersama (Vide SEMA 2 Tahun 2019).
Kiranya konsep yang serupa dapat kita sesuaikan dalam konteks perkawinan beda agama antara lelaki muslim dengan perempuan ahli kitab yang pelaksanaannya sesuai fikih Islam sepanjang demi kepentingan terbaik bagi anak. []