Mubadalah.id – Realitas masyarakat kita masih memposisikan kemanusiaan perempuan sebagai makhluk kelas dua. Anggapannya Perempuan masih subordinasi laki-laki. Perempuan masih terbatasi ruang geraknya demi menjaga moralitas dan menjaga kehormatannya. Bahkan untuk ibadah sekalipun dianjurkan di rumah.
Perempuan kita anggap sumber fitnah atau penghambat laki-laki melaksanakan ibadah. Indikator perempuan salihah masih terfokus pada pengabdian diri dalam ranah domestik.
Sehingga jika ada perempuan yang mengaktualisasikan diri di sektor publik maka akan menjadi suatu hal yang tidak biasa. Dianggap menyalahi kodrat dan mengambil wilayah yang sudah diciptakan untuk laki-laki.
Akar Permasalahan
Pemikiran yang lebih longgar, memberikan perempuan ruang untuk bekerja di sektor publik dengan catatan tetap memaksimalkan diri pada kerja-kerja domestik di dalam rumah. Betapa beratnya tugas perempuan, dia harus terbebani dengan pekerjaan ganda (double bourden).
Setelah lelah bekerja seharian, sesampainya di rumah ia terbebani lagi dengan pekerjaan di rumah. Namun, tidak demikian halnya dengan laki-laki. Ia hanya perlu fokus pada pekerjaannya di luar rumah, kemudian kembali ke rumah untuk istirahat.
Konstruksi sosial seperti itu tidak lahir begitu saja. Melainkan dianggap sebagai kebenaran karena telah mendapat legitimasi dari dalil-dalil otoritatif, yaitu al-qur’an dan hadits.
Di antaranya dalil penciptaan manusia (Q.S an-Nisa (4):1, anjuran perempuan salat di rumah (HR Ahmad no. 27732), fitnah perempuan (H.R Bukhari no. 5152), kebolehan suami memukul istri (Q.S An-Nisa (4):34), dan lain-lain.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah benar Islam mendomestikasi perempuan? Apakah benar Islam membatasi ruang gerak perempuan? Bukankah Islam agama yang rahmatan bagi seluruh alam?
Keutuhan Martabat Kemanusiaan Perempuan
Ada banyak dalil yang menyatakan bahwasanya Allah swt tidak membedakan ataupun mengistimewakan baik laki-laki maupun perempuan. Karena keduanya merupakan manusia utuh yang sama-sama memiliki potensi untuk berbuat baik dan berbuat jahat.
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ فَلَمَّا كَانَ يَوْمًا مِنْ ذَلِكَ وَاْلجَارِيَةُ تَمْشُطُنِي فَسَمِعْتُ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ أَيُّهَا النَّاسُ فَقُلْتُ لِلْجَارِيَةِ اسْتَأْخِرِي عَنِّي قَالَتْ إِنَّمَا دَعَا الرِّجَالَ وَلَمْ يَدْعُ النِّسَاءَ فَقُلْتُ إِنّي مِنَ النَّاسِ
Artinya: “Ummu Salamah ra. istri Rasulullah saw. berkata: “Pada suatu hari, ketika rambutku sedang disisir pelayan, aku mendengar Rasulullah saw. memanggil,’Wahai manusia (kemari berkumpullah).’ Aku pun berkata pada sang pelayan, ‘Aku pun berkata pada sang pelayan, ‘Sudah dulu, biarkan aku pergi (memenuhi panggilan tersebut).’Tetapi, ia menimpali (berusaha mencegah), ‘Nabi kan memanggil para laki-laki (saja), tidak memanggil perempuan.’ Aku menjawab, ‘(Nabi memanggil manusia), dan aku adalah manusia.” (H.R Muslim no. 6114)
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ اَنِّيْ لَآ اُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى ۚ بَعْضُكُمْ مِّنْۢ بَعْضٍ ۚ
Artinya: “Maka, Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan perbuatan orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain.” (Q.S Ali-Imran (3):195).
Pandangan Musdah Mulia dan Husein Muhammad
Musdah Mulia dalam Kemuliaan Perempuan dalam Islam menyebutkan bahwa Islam sangat berorientasi pada keadilan dan kerjasama antar kedua jenis manusia tersebut. Kewajiban beribadah dan beramal baik wajib bagi keduanya. Posisi keduanya berada pada tingkatan yang sama di hadapan Tuhan ketika risalah kenabian Muhammad SAW datang.
Husein Muhammad dalam Islam Agama Ramah Perempuan menjelaskan bahwa misi utama kenabian adalah menegakkan monoteisme atau ketauhidan. Ajaran tauhid tersebut merupakan ajaran yang menegasikan semua bentuk politeisme atau kemusyrikan baik dalam dimensi ritualistik maupun individualistik.
Pengagungan terhadap suatu golongan dan penindasan terhadap terhadap golongan lainnya adalah bentuk perwujudan kemusyrikan berbasis individual. Sehingga, dengan misi ketauhidan tersebut, Islam mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan perempuan. Menjadikannya manusia yang utuh dan setara dengan jenis kelamin lainnya.
Dalil dan Pemaknaannya yang Berkeadilan
Meskipun sudah jelas dalil-dalil otoritatif dari al-qur’an dan hadits yang menyatakan martabat kemanusiaan yang setara. Akan tetapi masih banyak yang menginterpretasi beberapa dalil nash sebagai bukti inferioritas perempuan atas laki-laki. Di antaranya yaitu dalil tentang qiwamah dalam Q.S an-Nisa (4):34 dan Q.S al-Baqarah (2): 228
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ
Artinya: “Laki-laki (suami) adalah qawwamun (pemimpin/penanggung jawab) atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya.” (Q.S an-Nisa (4):34)
Mayoritas ulama klasik seperti Imam Ath-Thabari, az-Zamakhsyarri, Fakharudin ar-Razi, dan Ibnu Katsir memaknai ayat di atas sebagai bukti superioritas mutlak laki-laki atas perempuan.
Pandangan Faqihuddin Abdul Kodir
Faqihuddin Abdul Kodir dalam Qira’ah Mubadalah menjelaskan bahwa kepemimpinan atau tanggung jawab laki-laki atas perempuan mensyaratkan dua hal. Yaitu kemampuan dan nafkah. Bukan tentang kepemimpinan yang superior dan mutlak.
Sehingga, tidak serta merta karena terlahir sebagai laki-laki kemudian berhak memimpin. Melainkan harus beserta 2 hal di atas sebagai penunjang rasa aman dan tentram bagi perempuan.
Sedangkan Asghar Ali Engineer dalam The Qur’an, Women, and Modern Society dan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menyatakan bahwa bentuk kalimat yang digunakan dalam ayat tersebut adalah bentuk lampau. Sehingga ayat tersebut sesungguhnya tengah menggambarkan realitas sosial pada zaman jahiliyah. Bukan merupakan dalil normatif yang berupa perintah.
Q.S al-Baqarah (2): 228
وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ ذٰلِكَ اِنْ اَرَادُوْٓا اِصْلَاحًا ۗوَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ
Artinya: “Suami-suami mereka lebih berhak untuk kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan atas mereka.”
Jika dipahami secara tekstual, penggalan ayat tersebut seolah-olah menyebutkan bahwa laki-laki (suami) memiliki derajat lebih tinggi dari perempuan (istri).
Faqihuddin Abdul Kodir dalam Qira’ah Mubadalah menyebutkan bahwa ayat tersebut jika dipahami dengan bantuan ayat-ayat sebelumnya, ayat tersebut sedang menjelaskan tentang talak raj’i.
Ketentuan dalam talak raj’I ini memberikan keleluasaan terhadap suami untuk kembali dengan istri yang telah ditalak. Karena ikatan pernikahan mereka belum sepenuhnya putus. Masih ada masa iddah sebagai waktu menunggu jika suami istri tersebut ingin rekonsiliasi kembali.
Tidak Ada Unsur Dominasi
Penggalan teks وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ adalah bermakna bahwa suami lebih berhak dan memiliki derajat lebih tinggi untuk ruju’ kepada istrinya daripada laki-laki lain yang ingin mendekati istrinya. Sehingga, tidak ada unsur dominasi maupun hegemoni dari suami terhadap istri. Melainkan keunggulan yang dimiliki suami atas laki-laki lainnya.
Dengan demikian, pemaknaan seperti di atas terhadap kedua dalil tersebut akan sejalan dengan mayoritas dalil prinsipil tentang kemitraan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan (Q.S at-Taubah (9):71, Q.S al-Ahzab (33):35).
Selain itu ada pula aksioma Islam tentang kemuliaan manusia yang hanya dilihat berdasarkan ketakwaan (Q.S al-Hujurat (49):13). Bukan berdasarkan rupa, fisik, dan jenis kelamin (Shahih Muslim, no. 6708). Wallahu a’lam. []