Mubadalah.id – “Masih Anak Jangan Punya Anak” adalah salah satu jargon kampanye menolak pernikahan anak yang dilakukan oleh siswa-siswi di salah satu lembaga pendidikan di lingkungan saya pada perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-78.
Mencegah pernikahan anak tentu tidak cukup dengan mengeluarkan kebijakan, seperti pembatasan umur nikah atau larangan pacaran bagi anak. Namun juga perlu sinergi yang kuat antara anak, orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara.
Rendahnya Pemahaman tentang Hak Kesehatan Reproduksi
Di Nusa Tenggara Barat, angka kasus pernikahan anak masih tergolong tinggi. Di antara faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah faktor ekonomi, keluarga, lingkungan, media sosial, rendahnya pengetahuan tentang hak kesehatan reproduksi, dan interpretasi ajaran agama yang bias patriarkhi. Faktor-faktor ini saling berkelindan dan tidak terpisahkan.
Beberapa waktu lalu, ada tiga pelajar di pelosok Lombok Timur memutuskan berhenti sekolah untuk menikah. Usia mereka terbilang muda, sekitar 16 tahun. Baru lulus jenjang SMP.
Usia pasangannya hampir sama. Mirisnya, di antara mereka ada yang terpaksa menikah karena kehamilan tidak diinginkan (KTD). Mereka pun masuk dalam kategori ‘anak menikahi anak’.
Tentu saja, kedua pihak sama-sama merugi. Mereka kehilangan akses belajar, hak bermain, dan hak-hak lainnya, karena ada tanggung jawab baru sebagai suami istri.
Namun, di antara sekian kerugian itu, pihak yang paling dirugikan adalah perempuan. Sudah pernikahannya tidak tercatat, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum, pernikahan anak berpotensi mengganggu kesehatan reproduksi perempuan.
Kurangnya pemahaman tentang kesehatan reproduksi juga membuat mereka tidak berpikir panjang saat akan melakukan hubungan seksual, baik sebelum atau sesudah menikah.
Padahal di usia anak, perempuan terutama, organ reproduksinya dalam masa perkembangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks, apalagi sampai hamil dan melahirkan. Bahkan, hamil di bawah usia 19 tahun beresiko kematian, pendarahan, dan keguguran bagi mereka.
Anak Menikahi Anak; Belum Memahami Penuh Tanggung Jawab Suami Istri
Tentu saja, anak menikahi anak rentan menimbulkan problem yang berkelanjutan. Baik suami maupun istri yang masih dalam usia anak belum memahami penuh tanggung jawab masing-masing. Mereka belum memiliki bekal yang cukup untuk membentuk rumah tangga yang baik.
Seringkali pasangan seperti ini memahami tanggung jawab suami istri mengikuti budaya setempat. Jika di daerah tersebut, budaya yang berlaku patriarkhi, maka relasi pasangan anak bisa berbentuk superioritas suami dan inferioritas perempuan.
Berbagai problem rumah tangga, seperti masalah finansial, sosial, perselisihan dengan anggota keluarga, dan bahkan ketidaksiapan dalam mendidik anak, bisa mengganggu kesehatan mental masing-masing.
Kondisi ini bisa menciptakan kekerasan dalam rumah tangga, bahkan dalam kasus tertentu sampai menyebabkan pasangan meninggal dunia.
Kebebasan remaja pun terenggut karena mereka menanggung tanggung jawab sebelum waktunya. Jika berlangsung terus-menerus, tanpa ada komunikasi yang bagus, relasi yang terbentuk menjadi tidak sehat dan bisa berujung pada perpisahan, yang lagi-lagi akan merugikan perempuan.
Kampanye “Stop Pernikahan Anak” dengan Melibatkan Anak
Menghentikan pernikahan anak bukan hanya menjadi tanggung jawab orang tua. Keluarga, masyarakat, pemerintah, Negara, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, dan bahkan “anak” mempunyai kewajiban untuk bersinergi menghentikan praktek pernikahan anak.
Harus ada tindakan preventif dari semua lapisan. Pemerintah harus gencar memberikan sosialisasi dan edukasi yang berkesinambungan pada orang tua dan anak tentang bahaya pernikahan anak, baik dari sisi kesehatan, ekonomi, maupun sosial. Sehingga, akan terbentuk mindset bersama bahwa “pernikahan anak tidak boleh terjadi”.
Lembaga keagamaan juga bisa menguatkan edukasi ini dengan mempertegas bahwa Islam tidak membolehkan pernikahan anak karena lebih banyak mendatangkan kemadharatan.
Negara, selain menetapkan batas minimal usia pernikahan, juga harus gencar membatasi atau bahkan menghapus sama sekali berbagai konten pornografi yang berpotensi meningkatkan angka pernikahan di bawah umur.
Selain itu, masyarakat dan pemerintah setempat juga perlu bersinergi untuk mensterilkan tempat-tempat yang memungkinkan tindakan-tindakan yang mengarah pada pernikahan anak (tempat sepi yang rawan digunakan sebagai tempat asusila).
Lembaga pendidikan juga perlu aktif mengidentifikasi anak didiknya yang menunjukkan gejala indisipliner dan perkembangan akademis yang terganggu, dan segera mengkomunikasikannya dengan keluarga dan anak.
Terkait tindakan preventif ini, Dikbud NTB menerapkan sekolah ramah anak (SRA) yang salah satu aturannya adalah melarang siswa pacaran. Program ini mungkin bisa maksimal ketika di sekolah, tapi di luar sekolah, tidak ada jaminan. Untuk itu, penting adanya komunikasi intensif antara sekolah dan keluarga terkait perkembangan anak.
Upaya-upaya ini juga perlu melibatkan anak, selaku calon pelaku sekaligus calon korban, untuk menyuarakan dan mengedukasi teman sebaya mereka tentang bahaya pernikahan anak.
Kampanye ini bisa menggandeng forum anak, atau melibatkan mereka, para penyintas yang sudah pernah mengalami pernikahan anak untuk bisa bercerita. []