Mubadalah.id – Buku yang berjudul mengerikan. Kesan pertama kali melihat sampul buku dengan judul yang ngeri, rasanya ragu untuk membacanya. Namun, berkat seorang teman dekat yang menyodorkan, akhirnya mau juga untuk membacanya.
Virly A.K penulis buku ini adalah sosok perempuan yang telah mengalami menjadi “divorce” atau perempuan yang telah memiliki pengalaman bercerai. Ia cerai dalam usia yang cukup muda yakni 25 tahun. Buku ini banyak menceritakan tentang berbagai hal yang terjadi mengenai peristiwa perceraian yang ia alami.
Bagi saya, ia menulis dengan sangat jujur, mengalir dan emosional. Pada titik tertentu, saya banyak sekali bertemu dengan sisi baru mengenai “peristiwa perceraian”.
Pengetahuan baru dan penting untuk terus kita pahami dari buku ini ialah tentang penyebutan terhadap perempuan yang telah melakukan perceraian. Seringkali kita memanggilnya “janda”. Namun, penulis sebagai pemilik pengalaman perempuan tersebut tidak nyaman dipanggil “janda” lebih senang menyebut diri sebagai “divorce”.
Hal semacam ini juga tampaknya perlu kita perhatikan sebagai upaya menjaga kenyamanan sesama. Nah, sebaliknya, jangan-jangan teman-teman laki-laki juga ada yang kurang nyaman kita panggil dengan “Duda”? ini tentu menjadi PR kita bersama.
Pandangan Buruk tentang Perceraian
Seperti pandangan pada umumnya, saya memiliki pandangan bahwa perceraian adalah sesuatu yang buruk atau memiliki nilai negatif. Hal itu bergeser pasca saya bertemu dan membaca buku Life as Divorce, perceraian menjadi sesuatu yang tidak perlu mendapatkan penilaian apapun. Peristiwa tersebut adalah sesuatu yang kompleks dan tidak bisa secara sederhana kita sematkan dengan satu nilai tertentu.
Penggalan kalimat yang tersemat dalam buku tersebut “perceraian adalah emergency exit yang Tuhan sediakan ketika kita enggak sanggup lagi berada dalam hubungan pernikahan. Alih-alih keluar melalui list yang sesak dan ada kemungkinan macet di tegah jalan. Tangga darurat adalah sebuah pilihan.”
Penggalan yang lain “semua daftar kerugian bercerai itu kalah oleh satu hal: mendapatkan lagi hidup saya.”
Dua kalimat tersebut cukup menjelaskan bahwa setiap keputusan pengalaman perempuan dengan kesadaran yang cukup akan mengantarkan kebahagiaan. Hal ini yang mendasari saya sekarang enggan untuk menilai perceraian dengan satu pandangan saja.
Peristiwa tersebut adalah sesuatu yang kompleks dan sangat berkaitan dengan banyak hal. Pengalaman perempuan sang penulis buku membawa penjelasan yang lebih kompleks dan lebih gamblang mengenai imajinasi kehidupan dalam pernikahan.
Kehidupan Pernikahan yang Kompleks
Kompleksitas kehidupan pernikahan termasuk pilihan terakhir yang kita sebut dengan emergency exit, mengantarkan sang penulis mengajak pembaca untuk memahami “apa kiranya yang perlu kita lakukan sebelum melakukan pernikahan.” Banyak sekali topik yang bisa kita bicarakan sebelum menikah. Topik-topik tersebut selanjutnya juga sang penulis paparkan dengan sistematis dalam satu bab tertentu.
Berbagai topik yang dibicarakan itu menjadi penting untuk kita lakukan. Sebab pada intinya tujuan dari pertanyaan itu adalah “kita berhak mendapatkan pasangan yang selalu bisa seimbang”. Artinya, kita bisa mengimbangi dia, pun sebaliknya. Skill untuk memperbincangkan hal semacam ini memang tidak mudah, namun kita bisa melakukannya secara bertahap seiring pendalaman satu sama lain.
Tulisan ini akan saya tutup dengan kalimat dari Lya Fahmi, penulis yang tidak jauh dalam isu yang sama dengan Virly, ia mengatakan bahwa “perceraian itu memiliki tingkatan atau bobot yang sama dengan pernikahan.” Artinya, perceraian itu sangat bisa mendapat nilai positif dan sangat bisa pula mendapat nilai negatif. Sebab, baik pernikahan maupun perceraian sama-sama bisa menjadi sumber kebahagiaan dan sumber kesedihan. []