Mubadalah.id – Akhir-akhir media penuh sesak dengan pemberitaan kriminalitas. Kasus pembunuhan, kekerasan seksual, KDRT, dan lainnya. Di mana mayoritas korbannya perempuan, dan pelaku adalajh laki-laki. Femisida atau pembunuhan terhadap perempuan karena dianggap sebagai makhluk yang lemah itu memang nyata ada. Tetapi saya selalu meyakini bahwa kelemahan perempuan hanyalah mitos belaka.
Kenyataan ini saya temui ketika sedang membaca buku “Mitos Inferioritas Perempuan”, yang tertulis secara lugas oleh Evelyn Reed. Dalam buku ini, Evelyn menggambarkan tentang salah satu ciri dari kapitalisme dan Masyarakat berkelas secara umum adalah adanya ketidakadilan seksual.
Laki-laki berkuasa dalam bidang ekonomi, budaya, politik, dan kehidupan intelektual. Sementara perempuan tersubordinasi dan tertundukkan. Hanya dalam tahun-tahun terakhir, perempuan bisa keluar dari dapur dan kamar bayi untuk menentang monopoli para laki-laki. Namun secara esensial ketimpangan dan mitos kelemahan perempuan masih tetap ada.
Ketidakadilan Seksual
Sejarah telah mencatat, ketidakadilan seksual terjadi beberapa ribu tahun yang lalu. Yakni tertandai dengan kehadiran masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas sosial. Kondisi ini bertahan dalam tiga era. Zaman perbudakan, zaman feodalisme dan zaman kapitalisme.
Dengan pertimbangan ini, maka masyarakat berkelas dapat kita karakteristikkan sebagai masyarakat dengan dominasi laki-laki. Di mana dominasi ini ditegakkan dan terabadikan oleh sistem kepemilikan pribadi, negara, agama, dan bentuk keluarga yang menjadi pelayan kepentingan laki-laki.
Atas dasar situasi sejarah ini, klaim palsu tertentu mengenai superioritas sosial dari jenis kelamin laki-laki terus mereka produksi. Ini muncul sebagai aksioma laten, bahwa laki-laki secara sosial unggul karena mereka secara alami unggul. Supremasi laki-laki menurut mitos ini, tidak sebagai fenomena sosial di tahapan umum sejarah. Tetapi adalah hukum alami kehidupan. Laki-laki mereka klaim secara alami terberkahi dengan atribute fisik dan mental yang superior.
Mitos tentang kelemahan perempuan mereka propagandakan untuk mendukung klaim di atas. Hal ini juga sebagai aksioma laten, bahwa perempuan secara sosial lebih rendah, karena mereka secara alami lebih rendah dari laki-laki.
Dan apa buktinya? Para perempuan adalah ibu, yang mengalami masa menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui sebagai tugas pengasuhan anak, begitu klaim mereka. Sehingga dikutuk menjadi inferior.
Pemalsuan Sejarah
Kenyataan tersebut merupakan pemalsuan sejarah alam dan sejarah sosial. Ini dibuat untuk merendahkan perempuan. Sementara mereka memuja-muji masyarakat berkelas dan dominasi laki-laki. Artinya perjuangan seksual ini menjadi bagaian yang tak dapat kita pisahkan dari perjuangan sosial yang lebih besar lagi.
Kelemahan perempuan adalah produk dari sistem sosial yang diproduksi dan dipupuk dengan berbagai ketimpangan, diskriminasi, dan degradasi lainnya. Sedangkan sejarah sosial dengan sengaja disembunyikan di belakang mitos bahwa perempuan inferior dibanding laki-laki.
Kondisi yang demikian itu tidak alami. Namun merupakan perbuatan masyarakat kelas yang telah merampas hak-hak perempuan untuk berpartisipasi dalam fungsi Masyarakat yang lebih luas. Mereka menempatkan penekanan utama pada fungsi hewaniah perempuan. Yaitu untuk beranak pinak.
Membongkar Mitos
Perampasan ini mereka lakukan melalui dua mitos. Pertama, keibuan direpresentasikan sebagai sebuah penderitaan biologis yang timbul dari organ ibu yang perempuan miliki.
Kedua, bersamaan dengan materialisme vulgar ini, keibuan merpresentasikan sebagai sesuatu yang bersifat mistis. Yakni untuk menghibur perempuan atas status mereka sebagai manusia kelas dua. Para ibu dikuduskan, dinaugerahi lingkar cahaya, dan terberkati dengan naluri, perasaan, dan pengetahuan khusus di luar pemahaman yang dimiliki laki-laki.
Kesucian itu untuk membuat perempuan tidak menyadari ketertindasan mereka. Kesucian dan degradasi hanyalah dua sisi dari mata uang yang sama dari perampasan sosial perempuan.
Di Indonesia sendiri kita mengenal konsep “Ibuisme”. Ibuisme negara adalah sebuah paham yang menempatkan kaum perempuan sebagai pekerja domestik tanpa dibayar demi mendukung kapitalisme negara. Paham ibuisme negara memungkinkan negara mengontrol masyarakat dengan perempuan sebagai alat.
Dalam tesisnya, Julia Suryakusuma menggabungkan konsep pengiburumahtanggaan (housewifization) oleh Maria Mies dan konsep ibuisme oleh Madelon Djayadiningrat sehingga menghasilkan suatu paham berperspektif gender yang komprehensif yang ia namakan ibuisme negara untuk memahami konstruksi sosial keperempuanan pada zaman Orde Baru.
Jika konsep pengiburumahtanggaan menilik peran perempuan hanya melalui lensa ekonomi dan konsep ibuisme dan priyayisasi menilik peran perempuan dalam proses Jawanisasi, konsep ibuisme negara menggabungkan kedua perspektif tersebut. Lalu menambahkan sebuah unsur lagi: kontrol negara dengan gaya birokrasi militer ala Orde Baru.
Mari Akhiri Pelemahan Perempuan
Mitos inferioritas perempuan harus segera kita akhiri. Selain penting untuk melakukan penelusuran data sejarah terkait data dan fakta, pun terus melakukan edukasi pentingnya membangun relasi kesalingan, untuk mewujudkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan di semua ranah kehidupan.
Selain itu penting juga untuk melakukan penguatan dan pemberdayaan terhadap perempuan. Setidaknya ketika mengalami ketidakadilan berbasis gender, perempuan sebagai korban tahu apa yang harus ia lakukan. Tak ragu bersuara, dan lantang menantang lawan.
Terakhir, implementasi kebijakan yang kini masih dianggap tumpul ke bawah, harus kita kawal upaya penegakan hukumnya. Memberi sanksi tegas terhadap pelaku, apapun latar belakangnya tanpa terpengaruh oleh relasi kuasa. Kemudian memberi rasa aman serta keadilan bagi korban. Agar peristiwa serupa tak perlu terulang kembali. Mari kita akhiri pelemahan perempuan! []