Mubadalah.id – Siti Fatimah binti Maimun masih menjadi nama mubalighah yang kurang didengar keberadaannya. Dalam beberapa literatur yang membahas sejarah Islam di nusantara khususnya pulau Jawa, memang tidak terlepas dari peran Walisongo. Namun sedikit yang membahas bahwa ada sebuah makam panjang bertuliskan bahasa Arab menggunakan khat kufi dengan nama Fatimah binti Maimun Hibatallah yang merupakan keponakan dari Sunan Gresik dan turut memiliki andil dalam penyebaran ajaran agama Islam di wilayah tersebut.
Makam Siti Fatimah binti Maimun tersebut berada di Dusun Leran, desa Pesucen, kecamatan Manyar atau sekitar 7 km sebelah utara dari kota Gresik. Konon nama dusun Leran merupakan makna bahwa daerah tersebut menjadi tempat leren atau pelerenan (singgah) Siti Fatimah.
Di dekat makam tersebut terdapat sebuah masjid yang didirikan oleh Sunan Gresik atau Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi ketika pertama kali mensyiarkan agama Islam di tanah Jawa melalui jalur perdagangan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya sisa-sisa kehidupan bandar yang menandakan kota Gresik dulunya adalah sebuah kota bandar besar.
Makam Siti Fatimah binti Maimun Hibatallah berbeda dengan makam wali pada umumnya. Cungkup pada makam tersebut berbentuk seperti candi Hindu-Budha. Konon katanya, yang membuat cungkup tersebut adalah seorang raja Budha yang berniat mempersunting Siti Fatimah. Namun pada saat itu desa Leran mengalami masa pagebluk, sebuah wabah penyakit yang mengakibatkan sebagian warga meninggal termasuk Fatimah dan dua belas pengikutnya.
Di dalam cangkup tersebut juga terdapat empat makam dayangnya yang memuat nama Putri Seruni, Putri Kucing, Putri Kamboja dan Putri Keling. Dekat dari makam tersebut juga terdapat 8 makam panjang yang berukuran 9 meter dan 2 makam berukuran 6 meter. Makam tersebut bertuliskan nama Sayid Ja’far, Sayid Harim, Sayid Syarif. Ketiga makam tersebut diyakini sebagai paman dari Siti Fatimah. Kemudian ada Sayid Jalal, Sayid Jamal, Sayid Jamaluddin, Raden Achmad dan Raden Syarif.
Siapakah Siti Fatimah Binti Maimun?
Siti Fatimah binti Maimun Hibatallah (selanjutnya akan ditulis Siti Fatimah) adalah putri dari Maimun yang bergelar Sultan Mahmud Syah Alam yang berasal dari Iran dan ibunya bernama Siti Aminah yang berasal dari Aceh. Ia lahir di negeri Kedah, Malaka pada 1064 M. Ia memiliki nama lain yaitu Dewi Retno Suwari.
Maimun adalah sepupu dari Sunan Gresik atau Syekh Maulana Malik Ibrahim. Maka, Siti Fatimah adalah keponakan dari Sunan Gresik. Pangeran ke tiga dari keraton Cirebon yang bernama Wangsakerta pun membenarkan hal tersebut.
Kisah Berdakwah Siti Fatimah binti Maimun
Konon katanya, Siti Fatimah datang ke Jawa atas perintah dari Sunan Gresik untuk menyebarkan agama Islam. Namun, Sunan Gresik mengalami kesulitan karena masyarakat masih kuat akan pengaruh Hindu Budha, lalu Sunan Gresik berniat untuk menikahkan Siti Fatimah dengan Raja Budha.
Siti Fatimah menginjakkan kaki di Leran pada usia remaja, yaitu 17 tahun. Ia memiliki kepandaian dalam berdagang mengikuti jejak keluarga besarnya. Ia bersama ayah dan ibunya melakukan perniagaan di pulau Jawa.
Ia melakukan aktivitas dagangnya hingga ke wilayah kerajaan Majapahit yang ketika itu Raja Budha (Brawijaya) masih menguasai wilayah tersebut. Dagangannya selalu ramai pengunjung. Sebab ia menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari dengan harga yang murah.
Sembari berdagang, ia juga menyebarkan ajaran agama Islam. Ia dan duabelas pengikutnya yang membantu berdagang dan menyebarkan ajaran Islam dengan sangat elegan melalui pembawaannya yang sejuk dan tutur kata yang santun. Ia mencari barang dagangan di daerah Tandhes yang mana banyak pedagang Muslim dari mancanegara pula.
Wafatnya Siti Fatimah binti Maimun
Selama kurang lebih satu tahun, Siti Fatimah yang berdagang di Pusat Kerajaan Majapahit itu kembali pulang ke Leran tepat pada saat Leran mengalami wabah Pagebluk. Banyak warga yang meninggal lantaran penyakit tersebut termasuk Siti Fatimah dan dua belas pengikutnya.
Siti Fatimah wafat di usia yang masih cukup muda yaitu seskitar 18 tahun dan belum menikah. Raja Budha yang berniat meminang Siti Fatimah mendengar kabar tersebut langsung membangun bangunan cangkup yang berbentuk menyerupai candi yang mana cangkup tersebut memuat makam Siti Fatimah dan empat buah makam pengikutnya yang berjenis kelamin perempuan.
Nisan Siti Fatimah bertuliskan bahasa Arab dengan khat Kufi memuat nama Fatimah binti Maimun bin Hibatallah yang wafat pada 495 H atau 1102 M. Pada batu nisan Fatimah juga terdapat petikan surat Ar-Rahman ayat 55. Keberdaan makam Fatimah inilah yang menjadi landasan hingga sekarang bahwa di abad ke 11 M telah ada masyarakat Muslim di daerah Pantai Utara Jawa.
Ditemukannya makam tersebut setelah 400 tahun peristiwa wafat. Seorang antropolog bernama CP Mokoet pada tahun 1911 yang menemukan keberadaan makam tersebut. Dengan demikian, setiap 15 Syawal masyarakat Leran memperingatinya sebagai Khaul Siti Fatimah binti Maimun Hibatallah. Tanggal tersebut bukanlah tanggal wafatnya melainkan tanggal penemuan makam tesebut.
Teladan Siti Fatimah binti Maimun Hibatallah
Melihat kiprah dari Siti Fatimah kita bisa menyimpulkan bahwa beliau bukanlah perempuan biasa. Syiar agama Islam pada masa Fatimah tergolong masih sulit. Sehingga membutuhkan pengorbanannya untuk memutuskan singgah di desa Leran dan menikah dengan Raja Budha.
Ia menyajikan Islam dengan sangat santun dalam jalan dakwahnya.Mayrakat pun mengaguminya. Bahkan sejak zaman Hindu-Budha masyarakat sudah mengistimewakan makamnya.
Makam Siti Fatimah ditemukan empat abad setelah kematiannya. Kendati demikian, sosok Fatimah sebagai mubalighah atau pedagang Muslim jarang sekali ada yang menyebutkan dalam babad dan sumber sejarah layaknya para walisongo. Padahal, Fatimah binti Maimun merupkan tokoh kunci dalam penyebaran agama Islam di Jawa. Tepatnya sebelum era walisongo dapat menembus kekokohan Hindu-Budha di kerajaan Majapahit.
Dari kisah Fatimah binti Maimun, dapat kita petik bahwa perempuan sejak zaman dahulu memiliki hak dan kesempatan untuk berperan di bidang apapun. Bahkan menjadi bagian terpenting dalam suatu zaman. Jenis kelamin tidak membatasi seseorang untuk menjadi pelaku sejarah.
Kita harus mengangkat kisah-kisah penting yang perempuan lakukan. agar literatur pengetahuan tidak timpang gender. Dengan demikian, kesetaraan gender dan perjuangan perempuan dapat di ungkap sejak zaman dahulu dan terwujud di zaman sekarang. []