Mubadalah.id – Topik tradwife (kependekan dari traditional wife) menjadi konten yang cukup ramai di media sosial. Jika mengacu pada data Google Tren, kata kunci ini mulai naik sekitar tahun 2016, dan semakin ramai hingga sekarang.
Salah dua influencer yang mengidentifikasi diri sebagai tradwife, misalnya, adalah pemilik akun instagram esteecwilliams (Estee William) dan mrsarialewis (Aria). Ini nampak dari bio dan konten-konten mereka. Konten tradwife yang mereka buat, terutama Estee William, terbilang sangat ramai di media sosial.
Agenda di Balik Konten Tradwife
“Empowering women to take back their roles (Pemberdayaan perempuan untuk mengambil kembali peran-peran mereka).” Demikian pernyataan yang tertulis di bio instagram Aria. Agaknya tidak berlibahan untuk mengatakan kutipan tersebut sebagai suatu agenda konten tradwife. Ya, setidaknya, itu berdasarkan pandangan seorang yang mengidentifikasi diri sebagai tradwife.
“…mengambil kembali peran perempuan.” Ini menarik untuk kita mempertanyakan, seperti apa peran perempuan yang dimaksud?
Jika kita melihat konten-konten Aria dan Estee William, agaknya maksud peran perempuan itu adalah dalam kerja-kerja rumah tangga. Produksi konten tradwife yang menyuguhkan keestetikan dan keromantisan peran perempuan sebagai istri di rumah; rutinitas memasak, bermesra bersama suami, dan sebagainya, itu cukup menjelaskan asumsi ini.
Tradwife yang secara bahasa merupakan kependekan dari traditional wife, memang mengacu pada pendekatan tradisional dalam relasi rumah tangga. Dan, dalam hal ini, relasi tradisional itu berlangsung dengan pola suami bekerja mencari nafkah, dan istri mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Perihal Peran Perempuan
Jadi perempuan berdaya menurut ukuran konten tradwife, adalah dengan menjalankan pekerjaan rumah tangga. Jika yang lain melihat pemberdayaan perempuan dalam peran produksi di ruang publik, maka dalam konteks ini peran perempuan justru dalam kerja reproduksi di rumah sebagai istri.
Lantas, bagaimana dengan kerja-kerja produksi di ruang publik? Tidak adakah bagian peran perempuan di ruang ini? Melihat dari konten-konten tradwife yang menampilkan keestetikan perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga, agaknya iya. Namun, sebenarnya tidak juga. Bahkan, sekalipun dalam ukuran relasi rumah tangga yang kita sebut tradisional, baik dalam ruang domestik maupun publik sama-sama membuka keterlibatan peran perempuan di dalamnya. Pandangan ini bukan tanpa dasar.
Dalam sejarah Barat sendiri, pernah ada masa di mana perempuan harus meninggalkan kerja-kerja produksi di ruang publik. Hal itu untuk memberikan pekerjaan kepada para laki-laki yang baru kembali dari medan Perang Dunia II.
Polanya hampir sama dengan konten-konten tradwife, namun dengan semangat yang beda, yaitu dengan romantisasi peran perempuan sebagai istri di rumah. Kala itu, perempuan terpaksa undur ke garis domestik. Dalam konteks ini, “…mengambil kembali peran perempuan,” justru soal berdaya dalam kerja produksi di ruang publik.
Dalam konteks masyarakat Nusantara, bahkan pada level yang kita sebut tradisional sekalipun, malah tidak mengenal pembagian kerja domestik-publik. Kedua ruang terpandang paralel. Perlu berjalan dengan pembagian kerja yang alami. Peran perempuan tidak terbatasi di rumah. Oleh karena itu, di level akar rumput, kita dapat dengan mudah menemukan perempuan yang melakukan kerja-kerja produksi di luar rumah.
Jadi, sekalipun dalam pendekatan tradisional, peran perempuan tidak sebatas pada kerja-kerja reproduksi di ruang domestik. Namun, juga termasuk dalam kerja-kerja produksi di ruang publik. Ini sebenarnya soal pilihan saja.
Ada perempuan yang memilih sepenuhnya berdaya di ruang domestiknya. Ada yang memilih berkarir di ruang publik. Dan, ada juga yang memilih semampunya menjalankan peran di kedua ruang. Pilihan yang manapun itu sebenarnya tidak masalah.
Kontrol dan Bahagia Perempuan dalam Perannya
Lalu bagaimana dengan konten-konten tradwife yang seakan mengampanyekan perempuan untuk menjadi ibu rumah tangga? Bagaimana feminisme memandang hal ini?
Kita kadang keliru memahami tujuan feminisme. Itu seakan mengharuskan perempuan untuk mengambil kerja produksi di ruang publik, dan meninggalkan kerja reproduksi di ruang domestik.
Padahal tidak demikian. Feminisme itu tentang bagaimana perempuan merdeka atas dirinya. Jika mengacu pada ukuran Harvard Analytical Framework (tool 2), sebagaimana Candida March, dkk., dalam A Guide to Gender-Analysis Frameworks. Maka, kemerdekaan perempuan yang dimaksud, terkait akses akan sumber daya, dan punya kontrol terhadap benefit (keuntungan) terhadap penggunaan akses itu.
Jadi, apakah menjadi istri yang fokus pada pekerjaan rumah tangga merupakan pilihan sadar perempuan (akses sumber daya)? Dan, apakah pilihan itu membuatnya bahagia (kontrol atas benefit)? Inilah pertanyaan kuncinya. Sepanjang bekerja di rumah, itu berangkat atas pilihan sadar perempuan sebagai istri, dan dia bahagia akan hal itu, maka rasanya tidak ada masalah, kan?
Setiap kita memang punya ideal bahagianya masing-masing. Dan, dalam realitas hidup, ada perempuan yang memilih jalan bahagianya dengan menjadi istri yang fokus pada pekerjaan rumah tangganya. []