• Login
  • Register
Jumat, 25 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Benarkah Stoikisme Obat di Abad ke-21?

Sebagai pembuka, saya menegaskan bahwa yang menjadi bahasan bukanlah Stoikisme an sich, melainkan bagaimana sekarang ia populer di Indonesia

Dimas Candra Dimas Candra
04/12/2023
in Personal
0
Stoikisme

Stoikisme

748
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Stoikisme model ini juga mengaburkan siapa-siapa saja yang bertanggung jawab atas semua ini. Maka, Stoikisme adalah doktrin yang keliru.

Mubadalah.id – Stoikisme adalah barang lama yang kini laris kembali ke permukaan. Ia ada, sebagai sebuah sistem pemikiran, pada era Helenis di abad ke-300 SM. Kita mungkin tidak bisa membayangkan setua apa tokoh-tokoh Stoikisme apabila masih hidup sampai sekarang.

Saat ini, hampir semua generasi Z tahu apa itu Stoikisme. Entah itu dari video Youtube-nya Ferry Irwandi, Filosofi Teras gubahan Henry Manampiring, atau mungkin dari Cara Menjadi Stoik-nya Massimo Pigliucci.

Sebagai pembuka yang baik, saya menegaskan bahwa yang akan menjadi bahasan pada tulisan ini bukanlah Stoikisme an sich sebagaimana ada di dalam entri-entri ensiklopedia filsafat, melainkan bagaimana Stoikisme populer di Indonesia saat ini.

Perkembangan di Abad ke-21

Apabila kita berbicara tentang Stoikisme di era sekarang, secara spesifik di Indonesia, apa yang akan kita temui adalah Stoikisme sebagai sebuah gaya hidup. Ia ada dan hadir untuk kita sebagai tuntunan dan wejangan hidup dari risalah kuno yang coba direartikulasikan ulang oleh orang-orang seperti Henry Manampiring, Ferry Irwandi, dkk. sebagai obat yang selama ini terpendam.

Tentu, analogi obat erat kaitannya dengan penyakit, lantas, penyakit apakah itu? Tak lain adalah penyakit tentang bagaimana realita seringkali tak sesuai ekspektasi. Tentu hal ini kontroversial, tetapi tepat dari situlah segala penyakit spesifik lainnya hadir, seperti cemas, depresi, dll.

Baca Juga:

Tubuh, Cinta, dan Kebebasan: Membaca Simone de Beauvoir Bersama Rumi dan al-Hallaj

Perjalanan Penerimaan dari Film Sore: Istri Masa Depan

Love Bombing: Bentuk Nyata Ketimpangan dalam Sebuah Hubungan

Kegagalan dalam Perspektif Islam: Antara Harapan Orang Tua dan Takdir Allah

Stoikisme mereka bawa mencoba mengkodifikasi prinsip pengendalian pikiran untuk menjadi pedoman tiap-tiap insan untuk menghadapi realitas yang seringkali kejam ini. Salah satunya adalah prinsip dikotomi kendali.

Sederhananya, prinsip ini mengatakan bahwa apa yang kita sebut sebagai dunia ini terbagi menjadi dua: internal dan eksternal. Internal adalah apa-apa yang ada di dalam kendali kita dan eksternal adalah yang tidak. Solilokui, pemikiran, rencana adalah beberapa hal yang dikategorikan sebagai anggota dari himpunan relitas internal. Realitas objektif, di sisi lain, adalah realitas eksternal.

Ciri dari realitas internal adalah realitas yang direngkuh utuh oleh manusia dan berlaku sebaliknya untuk kasus realitas eksternal. Ketidakbahagiaan muncul dari ketidakcocokan antara ekspektasi di realitas eksternal dengan apa yang terjadi sesungguhnya. Karena watak realitas eksternal yang serba-mungkin, akan menjadi absurd apabila kita meletakkan harapan kita di hamparan realitas eksternal.

Peluang ketidakbahagiaan akan menjadi semakin besar. Konsekuensinya adalah Stoikisme sangat menekankan tentang ke-“diri”-an. Apabila kamu ingin bahagia, fokuslah pada apa yang dapat kamu ubah. Begitupun juga dengan penolakan Stoikisme terhadap konsep ketidakbahagiaan itu sendiri.

Stoikisme berujar bahwa yang menyebabkan ketidakbahagiaan itu adalah justru pikiran kita sendiri. Kitalah yang memiliki kendali penuh atas ketidakbahagiaan itu. Dengan kata lain, Stoikisme adalah mindset engineering sekaligus perwujudan nyata dari jargon “semuanya tergantung mindset”.

Sebuah Catatan Pembacaan

Tentu, semua insan mendambakan kebahagiaan. Tak ayal, manusia akan melakukan apa pun untuk mencapai kebahagiaannya—meski dengan cara yang bermasalah. Namun, ada beberapa hal yang hendak saya komentari terkait merebaknya aliran Stoikisme sebagai “katalis kebahagiaan” insan abad ke-21 ini.

Pertama, apabila pembaca adalah seseorang yang cukup sabar sedikit untuk mengulik lebih jauh tentang Stoikisme ini, pembaca akan menjumpai panorama yang sama sekali lain mengenai Stoikisme ini.

Stoikisme merupakan tradisi filsafat yang kaya. Di dalamnya terdapat banyak sekali cabang-cabang pemikiran seperti logika Stoik (yang menjadi cikal bakal logika klasik), ontologi Stoik, dan masih banyak lagi.  Sungguh sayang apabila kosakata “Stoikisme” terdistorsi maknanya menjadi sekadar racikan obat kuat mental semata.

Tentu, bagi sebagian kalangan, ini hanya persoalan bahasa saja. Semuanya akan selesai apabila tercapai mufakat mengenai penggunaan kosakata “Stoikisme” itu.  Akan tetapi, izinkan saya untuk menuliskan risalah curiga terhadapnya sekali lagi. Kali ini bukan tentang kosakata, melainkan secara doktriner.

Stoikisme Adalah Candu

Fitur utama dari doktrin Stoikisme adalah bagaimana realitas terpisah menjadi dua: internal vs. eksternal atau, dengan kata lain, realitas subjek vs. realitas objek. Dan, pada pokok terakhir, adalah bagaimana memperoleh kebahagiaan dengan berfokus pada pembenahan realitas subjektif dan pengurangan ekspektasi terhadap realitas objektif. Asumsi implisitnya adalah bahwa subjek tak berdaya di hadapan realitas objektif yang serba-mungkin (contingent).

Pada tahap ini, Stoikisme tak ubahnya “candu” masyarakat yang menghalang-halangi kebobrokan struktur realitas yang merusak bagi individunya. Dengan menggunakan analogi kesehatan, menganut Stoikisme artinya mengonsumsi obat pereda nyeri kepala terus-menerus, tetapi lupa dengan apa penyebab utama dari nyeri kepala tersebut.

Stoikisme juga mengecilkan kemampuan individu, di hadapan realitas objektif yang menekan itu, untuk memberontak dan menata ulang realitas yang tujuannya adalah kebahagiaan absolut. Stoikisme model ini juga mengaburkan siapa-siapa saja yang bertanggung jawab atas semua ini. Maka, Stoikisme adalah doktrin yang keliru.

Meskipun begitu, upaya pencarian kebahagiaan absolut masih dilanjutkan. Akan tetapi, kini kita sudah memiliki standar mengenai ajaran apa yang mampu mengemansipasi kita menuju kebahagiaan yang absolut itu. Ajaran yang memberi kita rasa percaya diri untuk melawan dan menata ulang realitas ini. Karenanya, upaya merengkuh kebahagiaan sejati seharusnya diletakkan pada upaya-upaya peretasan atas realitas objektif tersebut. []

Tags: bahagiacatatanfilsafatKesehatan Mentalkritikstoikstoikisme
Dimas Candra

Dimas Candra

Mahasiswa matematika di Universitas Brawijaya. Lahir dan besar di Semarang. Bosan dengan bahasa yang ndakik-ndakik. Suka nulis apa aja, tapi juga sering  malas menyelesaikan tulisan. Sementara sedang berselancar untuk mendalami isu gender, pendidikan, sosial, dan lingkungan.

Terkait Posts

Menemukan Arah Hidup

Rewire Otakmu dengan Secarik Kertas: Cara Sederhana untuk Menemukan Arah Hidup yang Hilang

25 Juli 2025
Simone de Beauvoir

Tubuh, Cinta, dan Kebebasan: Membaca Simone de Beauvoir Bersama Rumi dan al-Hallaj

25 Juli 2025
Zina

Mengapa Zina dilarang Agama?

23 Juli 2025
low maintenance friendship

Low Maintenance Friendship: Seni Bersahabat dengan Sehat, Bahagia, dan Setara

21 Juli 2025
Nikah atau Mapan Dulu

Nikah atau Mapan Dulu? Menimbang Realita, Harapan, dan Tekanan Sosial

20 Juli 2025
Kepemimpinan Perempuan

Dilema Kepemimpinan Perempuan di Tengah Budaya Patriarki, Masihkah Keniscayaan?

19 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pengelolaan Sampah

    Ulama Perempuan Serukan Pelestarian Alam dan Pengelolaan Sampah Berkelanjutan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Anak Bukan Milik Orang Tua

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sah Tapi Nggak Terdaftar, Nikah Sirri dan Drama Legalitasnya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tangan Kuat Perempuan dalam Dunia Kerja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tubuh, Cinta, dan Kebebasan: Membaca Simone de Beauvoir Bersama Rumi dan al-Hallaj

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • PRT Bukan Pekerja yang Rendah dan Lemah
  • Rewire Otakmu dengan Secarik Kertas: Cara Sederhana untuk Menemukan Arah Hidup yang Hilang
  • Islam Mengharamkan Kekerasan terhadap PRT
  • Tubuh, Cinta, dan Kebebasan: Membaca Simone de Beauvoir Bersama Rumi dan al-Hallaj
  • Ulama Perempuan Serukan Pelestarian Alam dan Pengelolaan Sampah Berkelanjutan

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID