Mubadalah.id– Keterwakilan perempuan dalam posisi kepemimpinan yang minim, bukan berarti perempuan tidak memiliki posisi sentral dalam demokrasi kita hari ini. Justru, perempuan dapat menjadi controller group bagi proses pemilu dan proses kepemimpinan ke depan.
Seperti yang dilakukan oleh jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 20 November 2023 kemarin. KUPI mengeluarkan 5 maklumat pemilu damai di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Maklumat politik KUPI bertajuk “Pemilu Bersih dan Bermartabat untuk Peradaban Berkeadilan”. Maklumat ini dihadiri oleh jaringan ulama perempuan di Indonesia baik dari jaringan pesantren, perguruan tinggi, komunitas, pemuda, akademisi, dan mahasiswa. Dalam maklumat politiknya, KUPI menekankan pada sistem demokrasi yang ma’ruf, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, menjunjung tinggi akal sehat, dan memberi ketenangan rakyat.
Di sisi lain, maklumat KUPI juga menekankan bahwa dalam demokrasi kita, perempuan juga merupakan subjek penuh dalam membangun kehidupan bangsa dan negara. Perempuan selalu turut hadir dalam merawat tanah air, warga, dan negara.
KUPI juga mengingatkan kebebasan masyarakat sipil sebagai pilar penyangga bangsa dalam melakukan pembelaan terhadap masyarakat yang mengalami peminggiran dan kaum rentan. KUPI menyatakan komitmennya dalam mengawal proses demokrasi dalam hal ini juga pemilu yang sedang berlangsung.
Perempuan, Islam, dan Politik
Maklumat KUPI kemarin telah membuktikan bagaimana sebenarnya posisi perempuan muslim secara umum dan ulama perempuan secara khusus dalam proses demokrasi kita. KUPI telah mengembalikan dan membuka ruang posisi sentral untuk perempuan muslim dalam menjaga bangsa dan negara sebagaimana yang telah dilakukan oleh perempuan-perempuan muslim sebelumnya.
Sebagai kontroler dalam mengawal demokrasi, perempuan memiliki kekuatan yang besar karena berangkat dari pengalaman peminggiran yang sama. “Demokrasi bukan panggung elitis” seperti yang dikatakan oleh Nyai Badriyah Fayumi dalam sambutannya pada kegiatan maklumat tersebut patut kita amini. Menggelorakan suara-suara ketidakadilan dan ketertindasan yang terjadi selama ini akan mengisi ruang demokrasi kita pada kepentingan masyarakat akar rumput dan kelompok rentan.
Perempuan muslim telah diberi ruang seluas-luasnya untuk terlibat dalam dunia politik, baik sebagai pengambil kebijakan, kontroler, dan lainnya. Islam, sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin menciptakan perempuan sebagai rahmat bagi semesta yang juga bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan. Telah banyak wacana keagamaan dengan hadis-hadis yang melegetimasi keistimewaan dan hak-hak perempuan dalam politik serta tugas-tugas sosial politiknya.
Dalam konteks sejarah pun, perempuan muslim sudah banyak terlibat dan berperan dalam dunia politik. Fatima Mernissi dalam Forgotten Queens of Islam juga banyak menceritakan bagaimana sultanah (pemimpin perempuan) telah berhasil memimpin dan menyuarakan hak-hak perempuan. Seperti Kamalat Shah dari Aceh dan Banazir Bhutto, perdana Menteri perempuan pertama di Pakistan yang visioner merancang kebijakan-kebijakan untuk perempuan meski memperoleh kecaman dari berbagai arah.
KUPI dan Posisi Perempuan dalam Politik
Sebagai organisasi ulama perempuan dan organisasi perempuan yang terbilang besar dan cukup berpengaruh, KUPI perlu secara konsisten memosisikan diri. Di tengah politik dan keterwakilan perempuan dalam pemilu 2024 yang minim, mengartikan bahwa posisi perempuan sebagai pengambil kebijakan masih belum strategis. Minimnya keterwakilan perempuan membuat suara perempuan juga sulit didengar.
Tidak bisa kita pungkiri, bahwa perempuan mengalami banyak opresi yang membuatnya tereksklusi dari ranah politik. Mulai dari dalam keluarga, perempuan memiliki beban ganda bahkan beban kerja berlebih. Kerja-kerja perawatan, ekonomi, dan sosial yang perlahan memiskinkan perempuan juga perlu kita lihat sebagai kesatuan sistem politik kita yang masih patriarkis.
Belum lagi, sikap partai yang setengah hati melibatkan perempuan dalam proses pemilihan. Setengah hati dalam pelibatan perempuan dilihat dari upaya kaderisasi yang minim terhadap perempuan. Partai juga masih terlihat setengah hati dalam membuka dialog-dialog yang beragam dan perbedaan kepentingan.
Hal ini membuat sistem politik yang bias gender. Hari ini, dukungan terhadap perempuan untuk terlibat dalam pencalonan pada pemilu 2024 sudah tak bisa dilakukan. Proses pendaftaran sudah selesai. Maka, keterlibatan perempuan dalam politik perlu melihat posisi lain.
Tentu, dengan kondisi ini, perempuan bukan berarti tidak memiliki posisi. Justru, ini menjadi momentum bagi perempuan untuk menjadi kelompok kritis yang berani mengevaluasi kerja-kerja politik ke depan khususnya dalam pemilu 2024.
Di tengah kekuasaan politik yang semakin absurd dan tak mampu memadai kehidupan yang semakin mendesak ini, kesetaraan perempuan tidak boleh hanya kita ukur dari keterwakilan perempuan dalam pemilu saja. Tetapi, perempuan sebagai faktor politik, juga memiliki banyak ruang yang mampu membawa keuntungan terhadap kehidupannya sendiri dan umat manusia.
Membangun Kekuatan yang Setara
Syaratnya adalah, perempuan perlu membangun kekuatan yang setara sebagai sebuah kelompok marginal. Kekuatan setara perempuan bisa sebagai kelompok di luar pemerintah dalam membangun gerakan yang melakukan evaluasi-evaluasi kebijakan.
KUPI, sebagai gerakan perempuan juga masih perlu membuktikan kesetaraan kekuatannya dalam hal politik. Untuk memengaruhi kebijakan, mengevaluasi, dan mengkritik kebijakan-kebijakan yang tak menguntungkan kelompok rentan dan umat manusia secara umum. Jika bahasa Emma Goldman adalah upaya pemurnian politik, maka perempuan mampu mengupayakan pemurnian politik dari berbagai cara.
Karena pada dasarnya, visi keterwakilan perempuan dalam politik ini adalah visi rahmatan lil ‘alamin yang tak boleh kita lupakan. Hasrat keterwakilan perempuan adalah hasrat kemanusiaan.
Posisi keterwakilan perempuan yang hingga hari ini belum sampai pada target, bukan berarti kita kehabisan ruang untuk terlibat. Perempuan dapat memanfaatkan banyak hal dalam menjaga stabilitas, kehormatan, dan keadilan politik sebagaimana yang sudah KUPI lakukan.
Hal ini juga sangat boleh perempuan-perempuan lainnya lakukan meski tidak bersama KUPI. Membangun kekuatan yang setara dalam demokrasi kita hari perlu kita lakukan sebagai perempuan. Agar perempuan dapat menyampaikan kebutuhannya dan menolak kebijakan yang tidak ramah lingkungan, perempuan, dan anak. Wallahu a’lam. []