Menurut Nur Rofiah, dalam mewujudkan kemaslahatan bersama, seseorang harus selalu mempertimbangkan akal budinya, memastikan bahwa tindakannya memberikan dampak positif bagi dirinya sendiri dan pihak lain.
Mubadalah.id – Perempuan dalam rangkaian catatan sejarah menduduki posisi yang marginal dalam lapisan masyarakat. Perempuan secara kolektif memiliki sejarah kekerasan yang sama seperti dijual-belikan, dikoleksi, bahkan sampai dikubur hidup-hidup hanya karena statusnya sebagai perempuan.
Bahkan beragam stigmatisasi perempuan sebagai makhluk kedua setelah laki-laki memposisikan perempuan untuk selalu berada dalam subordinasi. Sehingga kehadirannya tidak dipandang sebagai manusia seutuhnya.
Pada sistem pengetahuan yang berlaku posisi perempuan berada dalam ketimpangan karena masih ditempatkan bukan sebagai subjek tapi sebagai objek.
Selain itu, perempuan seringkali dianggap tidak lebih mulia dari laki-laki, dianggap sebagai mahkluk sekunder, dan partisipasinya dalam pengambilan keputusan dilemahkan.
Dalam lensa keadilan hakiki, sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Nur Rofiah dalam Ngaji Subuh, hal-hal tersebut tentu bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan. Prinsip keadilan hakiki meniscayakan perempuan sebagai manusia utuh dan setara dengan laki-laki. Sehingga keduanya patut untuk ditempatkan secara adil dan setara.
Laki-laki dan Perempuan: Subjek Penuh
“Posisi laki-laki dan perempuan adalah sebagai subjek penuh dan mulia bukan karena jenis kelamin, warna kulit atau bentuk tubuhnya,” kata Nur Rofiah.
Selain itu, dalam posisinya sebagai hamba, baik laki-laki maupun perempuan memiliki status yang sama dan setara. Sehingga satu dengan yang lainnya tidak boleh saling memandang rendah satu sama lain.
“Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai makhluk primer karena sama-sama sebagai khalifah fil ard. Dan sama-sama sebagai makhluk sekunder karena berstatus sebagai hamba Allah,” tambah Nur Rofiah.
Adapun penilaian tentang baik dan buruk serta mulia atau tidaknya manusia tidak bergantung kepada jenis kelamin dan bentuk fisiknya. Tetapi, bergantung pada perilaku yang berdasarkan pada pertimbangan akal yang ia miliki lewat perbuatan dan tingkah lakunya.
“Sebagai manusia utuh, laki-laki dan perempuan itu bukan hanya sebagai makhluk fisik tapi sebagai makhluk intelektual karena memiliki akal dan makhluk spiritual karena punya hati nurani,” tegasnya.
Di samping itu, menurut Nur Rofiah, dalam mewujudkan kemaslahatan bersama, seseorang harus selalu mempertimbangkan akal budinya, memastikan bahwa tindakannya memberikan dampak positif bagi dirinya sendiri dan pihak lain.
“Seorang yang mempertimbangkan selalu akal budinya akan memastikan tindakannya berdampak maslahat bagi diri sendiri sekaligus pihak lain baik itu laki-laki maupun perempuan,” tuturnya.
Mengintegrasikan Pengalaman Khas Perempuan dalam Metodologi Fatwa KUPI
Melihat ketimpangan pada sistem pengetahuan yang ada, perlu perubahan paradigma untuk ditransformasikan ulang menjadi satu gagasan utuh yang adil dan maslahat. Oleh sebab itu, kita butuh cara pandang yang meniscayakan bahwa perempuan sama-sama sebagai manusia dan sama-sama sebagai hamba Swt.
Perspektif keadilan hakiki hadir untuk melihat sejauh mana perempuan dan laki-laki, kita posisikan sebagai satu subjek yang utuh. Dan sejauh mana pula pengalaman khas perempuan kita hadirkan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Pengalaman khas perempuan harus dipertimbangkan. Jangan dianggap tidak ada. Oleh karena itu penting untuk kita membentuk sistem pengetahuan baru yang mengintegrasikan pengalaman khas perempuan ke dalamnya.
Secara hakiki, laki-laki dan perempuan ditugaskan sama oleh Allah Swt. sebagai khalifah fil ard. Sehingga tugas mengatur segala segi kehidupan baik sumur, dapur, maupun kasur merupakan tugas bersama. Adapun bagaimana pembagian perannya merupakan hal lain.
Secara perspektif, pendekatan keadilan hakiki mengintegrasikan pertimbangan kondisi khas yang perempuan alami, seperti kondisi biologis dan sosial. Dalam setiap pengambilan keputusan, keterlibatan perempuan dengan pengalaman khasnya seperti haid, mengandung, melahirkan, dan menyusui, patut untuk dipertimbangkan.
KUPI
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dalam merumuskan musyawarah keagamaan menempatkan keadilan hakiki sebagai metodologi fatwa. Sebuah tindakan tidak bisa kita sebut adil jika membuat pengalaman khas perempuan makin sakit. Jika sebuah tindakan harus ada demi kemaslahatan laki-laki dan perempuan. Maka saat itu juga tindakan tersebut dapat kita hukumi sebagai satu keharusan (wajib).
Perspektif ini pada prinsipnya tetap menerapkan keadilan bagi laki-laki dan perempuan secara umum. Akan tetapi, secara khusus, keadilan yang saya maksud adalah keadilan yang tidak mengabaikan pertimbangan kondisi khusus perempuan secara biologis dan sosial.
Dengan mengahadirkan pengalaman perempuan sebagai pendekatan fatwa, KUPI dengan metodologi ini dapat merumuskan sikap dan pandangan keagamaan yang ramah perempuan dan mampu memberikan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia dan semesta. []