Beberapa metode yang pernah digunakan kaum muslimin awal sudah waktunya untuk digali dan diaktualisasikan kembali. Tetapi ada beberapa hal yang perlu dikemukakan terlebih dahului. Pertama, adalah cara pandangan dikotomistik antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum sudah harus diakhiri, dengan menyatakan bahwa kedua jenis ilmu ini memiliki signifikansi yang sama dan keutamaan yang setara, sepanjang semuanya digunakan bagi kepentingan kemanusian.
Kedua, pandangan-pandangan yang selama ini berkembang bahwa “ijtihad” telah tertutup dan tidak mungkin ada lagi orang yang mampu menandingi kualifikasi intelektual generasi awal, juga perlu ditinjau kembali. Untuk hal ini tentu saja dituntut kesediaan dan keberanian kaum muslimin untuk melakukan kerja-kerja intelektual yang mampu menerobos kebuntuan-kebuntuan dinamika kaum muslimin.
Imam Al Suyuti, seorang ensiklopedis, sesungguhnya telah melancarkan kritik cukup pedas terhadap konservatisme intelektual ketika ia menulis judul bukunya : “al Radd ‘ala man akhlada ila al ardh wa jahila anna al Ijtihad fi kulli ‘ashrin fardhun”, (kritik atas konservatisme dan mereka yang menolak ijtihad sebagai keharusan agama sepanjang masa).
Ketiga bahwa produk-produk penemuan ilmiyah berikut metodologinya pada dasarnya bukanlah sesuatu yang eksklusif. Penemuan ilmu pengetahuan pada dasarnya berlaku bagi siapa saja dan di mana saja. Setiap penemuan ilmiah oleh siapapun, terlepas dari latarbelakangnya, sepanjang dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia, harus dapat diapresisasi oleh kaum muslimin dan dipandang sebagai produk-produk yang Islami.
Selanjutnya, sejumlah metode yang pernah ditemukan dan dikembangkan oleh kaum muslimin untuk kajian-kajian keilmuan Islam dewasa ini perlu digali kembali. Kaum muslimin perlu melakukan rekonstruksi keilmuan mereka. Jika kita mengingat kembali tradisi keilmuan kaum muslimin generasi pertama, maka jelas bahwa pendekatan rasionalitas atas teks-teks keagamaan terkait isu-isu sosial, kebudayaan dan politik (non ritual) menjadi sesuatu yang tidak bisa diingkari, bahkan sebaliknya, sangat menentukan. Dalam arti lain teks-teks otoritas keagamaan, baik al Qur-an, Al Sunnah (hadits) dan produk pemikiran intelektual muslim harus dibaca dan dipahami dengan semangat rasionalitas.
Pendekatan rasionalitas ini menjadi cara untuk menjawab problem perkembangan kebudayaan yang tak bisa dihentikan. Sebaliknya pendekatan tekstualitas selalu terbatas dan akan menghadapi kebingungan-kebingungan melihat dinamika sosial yang terus bergerak dan bergolak setiap detik.
Di pesantren, dalam ruang bahtsul masail, acap mengalami situasi “deadlock”, mauquf, karena tidak ditemukan “ibarah nash” untuk menjawab kasus aktual modernitas. Dan meskipun ada ibarah, tetapi ia tak selalu relevan, kecuali dipaksakan menjadi rekevan.
Fakhr al Din al Razi, seorang pemikir muslim terkemuka dan bermazhab Syafi’i, dalam bukunya al Mahshul min Ilm al Ushul dan al Mathalib al ‘Aliyah fi al-Ilm al-Ilahi :
والقول بترجيح النقل على العقل محال لان العقل اصل النقل فلو كذبنا العقل لكنا كذبنا اصل النقل ومتى كذبنا اصل النقل فقد كذبنا النقل. فتصحيح النقل بتكذيب العقل يستلزم تكذيب النقل. فعلمنا انه لا بد من ترجيح دليل العقل.
“Pandangan yang mengunggulkan ‘naql’ (teks) atas akal adalah mustahil, karena akal adalah dasar untuk memahami ‘naql. Kalau kita mendustakan dasar “naql”, maka sama artinya dengan mendustakan “naql”.
Pembenaran naql melalui cara mendustakan akal tentu meniscayakan pendustaan naql itu sendiri. Karena itu adalah keharusan kita untuk mendahulukan dalil-dalil rasional. Ini berarti bahwa teks-teks harus dipahami dari sisi-sisi yang substantif atau logis. (bersambung)