Mubadalah.id – Dua Ikan dan Sepiring Nasi, film pendek berdurasi 26 menit yang diproduksi oleh Olen Saddha dan disutradarai oleh Bani Nasution. Dibintangi oleh Yusron Fadi, Eko Pecel, Dwi Windarty, dan penulis Fandi P.
Saya seperti menonton teater, karena kesunyiannya dalam film ini. Sangat sedikit dialog antar tokoh, namun pesan-pesan dalam setiap adegan bisa tersampaikan lewat pengambilan gambar dan ekspresi tokoh. Meski awalnya cukup membingungkan karena alurnya maju mundur, tapi tetap jelas ketika kita lihat secara keseluruhan.
Ulasan film pendek berdurasi 26 menit ini menarik perhatian kita pada permasalahan yang diangkat. Yaitu posisi, dan pertaruhan perempuan dalam institusi perkawinan yang serba mencekik.
Wagini, tokoh utama dalam film menjadi wajah utama dalam film. Pernikahan banyak menghadirkan berbagai tantangan dan pertaruhan. Ketika kita membahas peran perempuan dalam pernikahan, seringkali berhadapan dengan dinamika yang unik dan seringkali kompleks.
Sosok Wagini saya pikir cocok untuk mewakili perempuan dalam institusi pernikahan yang menghadapi kesulitan dan ketegangan. Perempuan yang seringkali ditugaskan untuk memainkan peran domestik, seperti merawat anak, mengelola rumah tangga, dan merawat orang tua yang sakit. Apa saja kira-kira yang Wagini alami?
Pertaruhan Perempuan dalam Institusi Pernikahan
Wagini menjadi seorang istri yang harus merawat orang tuanya (Ibu) yang sedang sakit setelah bapaknya meninggal. Konstruksi budaya membuat perempuan bertanggung jawab terhadap orang tuanya yang lanjut usia.
Situasi yang Wagini alami ini, mengharuskannya berpisah dari suaminya, Paimo. Dia harus hidup terpisah dari suaminya dalam waktu yang lama. Setelah dua tahun keresahan dalam keluarga, Wagini kembali mengunjungi Paimo, berharap dapat melanjutkan dan mempertahankan keluarga mereka.
Namun, begitu Paimo meninggalkan Wagini, dia rupanya menemukan orientasi seksual barunya pada seorang pria bernama Rothman. Wagini sempat kecewa dan tertekan saat menyadari bahwa Paimo (suaminya) dan Rothman memiliki hubungan istimewa. Namun akhirnya, Wagini menyetujui hubungan mereka, namun dengan mengorbankan pernikahannya.
Ternyata berat sekali. Perempuan mempertaruhkan banyak hal dalam diri dia ketika menikah dengan pasangan dan lingkungan yang tidak setara. Kesehatan mental dan emosional seringkali menjadi fokus penting seperti yang sedang Wagini hadapi.
Ia merasakan tekanan yang untuk memenuhi ekspektasi sosial dan keluarga, yang dapat berdampak pada kesehatan mentalnya. Pada beberapa masyarakat, ekspektasi terhadap perempuan masih sangat terikat dengan peran tradisional sebagai ibu dan istri.
Pertaruhan perempuan dalam pernikahan menciptakan narasi yang unik dan beragam. Sementara setiap pernikahan memiliki dinamika sendiri, penting untuk kita ingat bahwa membahas dan mengatasi tantangan bersama dapat membentuk dasar yang lebih kuat untuk hubungan yang sehat dan berkelanjutan.
Perempuan, seperti halnya pasangan lainnya, dapat tumbuh dan berkembang dalam perjalanan pernikahan mereka dengan kesadaran, pengertian, dan komitmen terhadap diri mereka sendiri serta pasangan mereka.
Tabunya Membahas Orientasi Seksual dengan Pasangan Sebelum Menikah
Wagini mengucapkan selamat kepada Paimo dan Rosman atas hubungan mereka dan secara pribadi. Ia menjadikan dua ikan dan sepiring nasi sebagai mas kawin karena makanan sudah ada di hadapan mereka.
Berdasarkan alur ceritanya, film ini menunjukkan betapa lemahnya posisi perempuan dalam institusi perkawinan. Dalam cerita Wagini, ia dihadapkan pada keputusan sulit untuk tetap melanjutkan pernikahan atau tidak.
Sementara itu, Paimo terpaksa bekerja di desanya sendiri karena alasan ekonomi, dan hubungannya dengan Wagini pun retak. Oleh karena itu berdampak pula pada hubungan suami istri yang terikat oleh lembaga perkawinan. Sebagai makhluk biologis, Paimo tentu saja membutuhkan hubungan seksual dengan istrinya. Namun, pengalaman seperti itu tidak ia alami saat berpisah dengan istrinya.
Oleh karena itu, dugaan saya Paimo menemukan arah baru sebagai seorang homoseksual di sana. Atau bisa jadi Paimo memang homoseksual, tapi dia sengaja tidak membeberkannya karena tidak pernah membicarakan hal tersebut kepada Wagini sebelum menikah. Tentunya ia juga khawatir dengan stigma masyarakat yang pasti akan sensitif untuknya.
Menjalani hubungan yang sehat dan bahagia memerlukan dasar yang kuat dalam komunikasi dan pemahaman antar pasangan. Salah satu yang penting untuk dibahas adalah orientasi seksual calon pasangan. Membuka wacana tentang orientasi seksual sebelum menikah dapat menjadi langkah positif untuk membangun kepercayaan dan kenyamanan di dalam hubungan.
Membangun Pemahaman Bersama
Membahas orientasi seksual sebelum menikah membantu pasangan untuk memahami lebih dalam satu sama lain. Setiap individu memiliki pengalaman dan pandangan yang unik terkait dengan orientasi seksualnya. Dengan membicarakannya secara terbuka, pasangan dapat membangun pemahaman bersama dan menghargai keberagaman dalam identitas masing-masing.
Pembicaraan tentang orientasi seksual juga memberikan kesempatan bagi pasangan untuk menjelajahi nilai-nilai bersama. Apakah itu berkaitan dengan keyakinan agama, pandangan keluarga, atau nilai-nilai moral, mengatasi perbedaan pandangan tentang orientasi seksual dapat membantu pasangan untuk menentukan nilai-nilai yang akan mereka junjung bersama.
Dalam persoalan orientasi seksual Paimo, lagi-lagi Wagini yang harus menerima kenyataan tersebut. Pada akhirnya, dia meninggalkan suaminya, meninggalkannya sebagai janda.
Kisah Wagini menunjukkan bagaimana dia, dan mungkin perempuan lainnya, sering kali terpengaruh oleh situasi yang tidak menguntungkan mereka. Dia hanya ingin mendapatkan apa yang dia impikan – hubungan pernikahan yang harmonis. []