Mubadalah.id – ‘Selamat Hari Ibu.” Kalimat yang selalu kita temui di timeline dan feed platform media sosial di setiap tanggal 22 Desember. Dari ucapan-ucapan yang menggemaskan dan mengharukan, hingga hadiah-hadiah manis untuk para ibu. Orang-orang mengunggahnya sebagai simbol kasih sayang makna keluarga di hari tersebut.
Di sisi lain, tak sedikit juga yang menegaskan bahwa hari ibu 22 Desember sejatinya merupakan hari pergerakan perempuan. Apapun perbedaan istilah dan esensinya, kita harus menyadari bahwa setiap perempuan adalah ibu. Ada maupun tidak ada anak, menikah maupun tidak. Dan setiap hari kita pun bergerak dan berjuang untuk bertahan hidup.
Alih-alih mempersoalkan perbedaan pandangan tentang hari ibu atau pergerakan perempuan, sebenarnya ada hal penting yang harus kita gelisahkan terkait romantisasi peran ibu.
Memahami bahwa ibu sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya tidak salah, tetapi lebih baik jika kalimat tersebut kita sematkan pada makna keluarga, yang terdiri ayah, ibu, atau nenek kakek dan sebagainya. Artinya keluarga lah yang menjadi madrasah pertama bagi setiap anak yang lahir dan tumbuh di dalamnya.
Menilik Problematika Perempuan Pekerja Migran
Problem kontruksi pemahaman bahwa peran ibu sebagai pendidik dan pengasuh ini akan semakin terasa dilematis jika sang ibu memilih atau orang lain dan keadaan yang memaksanya untuk bekerja. Akan semakin kompleks lagi terjadi pada para perempuan pekerja migran.
Sepanjang bergelut mengikuti kegiatan Migrant Care dalam pendampingannya pada komunitas Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi), saya mengamati betul berbagai problematika para pekerja migran yang kita sebut juga dengan istilah PMI.
Meskipun persoalan pekerja migran (PMI) selangkah lebih maju dari persoalan pekerja rumah tangga (PRT) karena telah memiliki payung hukum. Yakni Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan turunannya yaitu Peraturan Daerah yang telah ada di beberapa wilayah.
Namun sejatinya tak sedikit persoalan pekerja migran ini terus terjadi. Terutama pada pekerjaan di sektor informal yang mayoritas pekerjanya adalah perempuan, sebagaimana konteks persoalan perempuan pekerja rumah tangga.
Tak cukup di situ saja, problematika perempuan pekerja migran akan semakin terasa terutama jika yang bersangkutan sudah memiliki keluarga, dan meninggalkan pasangan dan anak di rumah.
Problem Konstruksi Makna Keluarga bagi Perempuan Pekerja
Bukan hanya perempuan pekerja migran, bahkan perempuan pekerja pada umumnya akan selalu berhadapan pada dilema pilihan antara bekerja dan fokus pada keluarga. Sebenarnya tak jadi persoalan jika memang perempuan memilih dengar sadar peran apa yang ia ambil setelah menikah dan berkeluarga.
Tetapi apakah pilihan tersebut benar-benar menyelesaikan masalah? Saya pikir tidak, karena bukan menyelesaikan akar masalahnya.
Saya tidak pernah lupa bagaimana Dr. Nur Rofiah Bil Uzm, founder Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI) selalu menyatakan berkali-kali bahwa perempuan harus benar-benar mandiri dan berdiri di kakinya sendiri. Baik sebelum maupun setelah menikah.
Beliau menegaskan bahwa perempuan harus mandiri karena tidak semua pasangan itu akan setia. Sehingga perempuan perlu memitigasi diri jika terjadi hal-hal di luar kendalinya. Juga tidak semua laki-laki yang setia itu bisa bekerja, dan memang benar adanya.
Tak jarang seorang perempuan memiliki karir dan pekerjaan yang lebih mapan dari pasangannya. Terkadang tak sedikit juga bahwa perempuan mampu mendatangkan rezeki yang lebih banyak bagi keluarganya.
Dan pesan selanjutnya dari Ibu Nur Rofiah adalah, ‘Tidak semua pasangan yang setia dan mampu bekerja itu panjang umurnya.’ Tak sedikit beberapa persoalan yang saya temui di masyarakat, perempuan menjadi tak berdaya sepeninggal pasangannya karena ia tidak terbiasa untuk mendapatkan penghasilannya sendiri.
Stigma dan Beban Ganda
Hal ini pun terjadi di perempuan pekerja migran, tak sedikit dari mereka berada pasa kondisi keadaan yang memaksanya untuk mengadu nasib di negara lain, karena pasangannya tak bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Tawaran pekerjaan informal itu lebih banyak, dan jenis ini masih melekat kepada pekerja perempuan.
Sehingga yang terjadi adalah perempuan akan lebih mudah menjadi pekerja migran. Bahkan tak jarang para sponsop akan mengiming-imingi fee kepadanya. Sedangkan para lelaki butuh banyak biaya dan persiapan lebih panjang jika bekerja di luar negeri, karena mereka akan bekerja di pabrik dan sektor publik lainnya.
Dalam pilihan dilematis ini, maka tak sedikit perempuan yang memutuskan untuk bekerja dan bermigrasi ke luar negeri. Namun kontruksi keluarga yang masih memaknai perempuan sebagai pengasuh dan penanggungjawab tunggal untuk urusan domestik, semakin memberikan stigma dan beban ganda bagi perempuan.
‘Wah anaknya nakal ya, pantesan ibunya ke luar negeri’ atau ‘Istrinya ke luar negeri ya, pantas nggak ada yang ngurusin’. Dua kalimat tersebut atau kalimat-kalimat serupa sering menyudutkan para perempuan pekerja migran, yang tak jarang membebani mereka.
Stigma dan beban ganda ini tak akan pernah selesai mana kala bangunan konstruksi keluarga mengkotak-kotakan peran mereka tanpa adanya fleksibilitas, dan rasa saling memahami, menghormati, dan bekerja sama antar pihak.
Membangun Konstruksi Tafsir ‘Makna Keluarga’ bagi Perempuan Pekerja Migran
Dalam kondisi di mana ibu atau perempuan bekerja dan bermigrasi di luar negeri dan tinggal jauh dari anak-anak dan keluarganya di rumah, perlu sekali adanya pemahaman kontruksi baru dalam memahami keluarga.
Keluarga pekerja migran harus mendefinisikan makna keluarga lebih fleksibel dari yang telah Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 sebutkan. Dalam kondisi perempuan atau ibu yang bekerja, peran-peran pengasuhan tidak boleh kosong. Bapak atau orang-orang di sekitarnya harus siap membersamai anak-anaknya.
Bukan hanya sebagai pengganti, tetapi penting membangun pemahaman yang menyatakan bahwa pengasuhan itu harus menjadi tanggung jawab bersama.
Begitu pun terkait pemahaman bahwa membersamai pengasuhan anak tidak melulu soal harus berada di samping anak sepanjang waktu. Karena hakikatnya kunci pengasuhan adalah komunikasi.
Agar anak tidak benar-benar terputus dari orang tuanya karena jarak, penting sekali memastikan siapa pun orang tuanya yang berjarak dengannya. Di mana yang bersangkutan tidak boleh lupa untuk menanyakan kabar dan perkembangan anak-anak setiap hari. Sehingga jarak bukan lagi menjadi persoalan.
Sebagaimana salah satu landasan dalam membangun keluarga maslahah adalah prinsip Islam untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil ‘alamin. Oleh karenanya sudah menjadi keharusan untuk memastikan pondasi dan bangunan keluarga tersebut menjadi anugerah bagi seluruh anggotanya, tanpa ada salah satu yang terbebani. []