Mubadalah.id – Dalam melacak ayat tentang pasangan dalam Al-Qur’an, tak akan lepas dari pemilihan kata zauj atau ba’l sebagai kata kunci pencarian. Kedua kata tersebut pernah Saya uraikan secara singkat pada tulisan berjudul “Pasangan Sefrekuensi dalam Al-Qur’an: Zauj dan Ba’l”. Kata lain untuk mendefiniskan makna pasangan adalah imra’ah dan shahibah sebagai padanan dari kata zauj.
Jika kita telisik lebih jauh, masing-masing kata tersebut memiliki makna dan fungsi yang berbeda. Demikian pula, ‘Aisyah bintu Syathi’ (mufasir perempuan dari Mesir) dalam karyanya, al-I’jāz al-Bayāni li al-Qur’an membedakan makna kedua kata tersebut.
Imra’ah (امرأة)
Kata imra’ah muncul sebanyak 37 kali dalam Al-Qur’an. Secara umum, kata ini bermakna perempuan baligh yang tak disebutkan identitasnya. Kemunculannya berfungsi menyebut perempuan yang memiliki ketidakselarasan dengan pasangannya. Menurut Bintu Syathi’, kata ini juga menandakan kondisi terhalangi atau tidak tercapainya visi pernikahan.
Misalnya pada pada Surah At-Tahrim ayat 10-11 tentang istri Nabi Nuh dan Nabi Luth yang tak beriman. Sebaliknya, istri Fir’aun justru sangat taat dan beriman pada Allah. Ketiga perempuan tersebut tak sepaham dalam hal akidah (keimanan) dengan suaminya.
Demikian juga pada Surah Yusuf ayat 30 dan 51 tentang istri Raja Qithfir (dalam Al-Qur’an terkenal dengan nama Al-Aziz), yakni Zulaikha yang berkhianat padanya. Oleh karenanya, visi sakinah, mawaddah dan rahmah pada relasi pernikahan keempat figur tersebut tidaklah tergapai.
Kata ini juga berfungsi menjelaskan kondisi di mana tujuan pernikahan terhalangi sebab kemandulan atau menjanda. Hal ini seperti dialami istri Ibrahim (Siti Sarah, ibu dari Nabi Ishaq), istri ‘Imran (Hannah, ibu dari Maryam). Keduanya sempat berstatus mandul hingga akhirnya Allah memberi mereka keturunan.
Sama halnya terjadi pada istri Nabi Zakariya sebagaimana pada Surah Ali Imran ayat 40:
قَالَ رَبِّ اَنّٰى يَكُوْنُ لِيْ غُلٰمٌ وَّقَدْ بَلَغَنِيَ الْكِبَرُ وَامْرَاَتِيْ عَاقِرٌ ۗ قَالَ كَذٰلِكَ اللّٰهُ يَفْعَلُ مَا يَشَاۤءُ
“Dia (Zakaria) berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak, sedangkan aku sudah sangat tua dan istriku pun mandul?” (Allah) berfirman, “Demikianlah, Allah melakukan apa yang Dia kehendaki.”
Shahibah (صاحبة)
Adapun kata shahibah memiliki makna asal teman, sahabat atau pendamping. Menurut Ibnu ‘Asyur, kata ini bisa juga bermakna istri karena dialah yang menemani suami sepanjang hidupnya. Dalam Al-Qur’an, kata ini hanya muncul sebanyak 4 kali dan menggambarkan dua makna.
Pertama, jika disandarkan pada Dzat Allah bermakna pasangan yang mustahil atau tak patut keberadaanya. Sebab, bagaimana mungkin Allah memiliki pasangan, sedang Dia Maha Tunggal, seperti pada Surah Al-Jinn ayat 3:
وَّاَنَّهٗ تَعٰلٰى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَّلَا وَلَدًاۖ
“Sesungguhnya Maha Tinggi keagungan Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak.”
Kedua, bermakna perempuan yang tak lagi sejalan dengan suami serta keluarganya secara lahir dan batin pada Hari Kiamat kelak. Pada hari itu, semua manusia sibuk memikirkan diri sendiri hingga melupakan istri, anak serta keluarga lainnya. Hal ini seperti pada Surah Al-Ma’arij ayat 11-12:
يُبَصَّرُوْنَهُمْۗ يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِىِٕذٍۢ بِبَنِيْهِۙ وَصَاحِبَتِه وَاَخِيْهِۙ
“(padahal) mereka saling melihat. Orang yang berbuat durhaka itu menginginkan sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari azab hari itu dengan anak-anaknya, istrinya, saudaranya,”
Hikmah
Al-Qur’an telah menghadirkan beragam figur suami-istri dengan berbagai macam kondisi yang dapat kita lacak melalui kata kunci zauj, ba’l, imra’ah dan shahibah. Bukan tanpa alasan, penyebutan kisah-kisah hubungan rumah tangga di masa lalu tersebut memuat ibrah untuk kita renungi di masa kini dan nanti.
Pernikahan sebagai ibadah terlanggeng tak dapat tercapai jika visi pernikahan yang sakinah, mawaddah dan rahmah tak tergapai. Upaya mewujudkannya tentu perlu kesepahaman kedua belah pihak (laki-laki maupun perempuan) dalam hal ma’ruf (kebaikan universal). Dalam hal ini, kesepahaman dari sisi akidah (keyakinan) dan akhlak (budi pekerti) menjadi kunci. []