Mubadalah.id – Dalam melakukan atau menyembunyikan aksinya, penjahat seksual tidak jarang menggunakan strategi manipulatif. Kasus Subchi (Bechi) di pesantren Jombang, misalnya, melecehkan lima santri sejak 2017. Ia menyudutkan korban dengan tuduhan merusak nama baiknya. Dari situ, banyak pendukung fanatik pelaku yang justru menyerang dan menyalahkan korban.
Semasih belum terungkap, pengurus Pesantren Shiddiqiyyah ini ketika menjalankan aksinya ia meyakinkan korban dengan dalih ilmu “metafakta”. Menurutnya aksi bejatnya itu tidak bisa dinalar dan harus kita terima tanpa sanggahan sama sekali. Sikap demikian hanyalah satu dari sekian variasi tindak manipulatif dari penjahat seksual.
Mengenal DARVO
Taktik manipulatif yang paling lazim dan sering dipakai adalah DARVO. Istilah ini akronim dari deny (menyangkal), attack (menyerang), dan reverse victim and offender (pembalikan posisi korban dan pelaku). Yang membikin pusing dari dampak taktik tersebut adalah karena publik kerap kali terperdaya, terkecoh, dan secara tidak sadar bahkan ikut menyudutkan korban. Mereka termakan (terbeli secara psikologis) oleh sikap pelaku yang ingin menutupi kejahatannya.
Term DARVO pertama kali Jennifer Freyd perkenalkan pada 1997 saat mempublikasikan risetnya seputar “betrayal trauma theory”. Di penelitian lanjutan, Vialle-Giancotti menyodorkan keprihatinannya:
“Minimnya kesadaran publik akan siasat pelaku yang destruktif itu tidak hanya berimbas pada pelaku, tetapi juga berkonsekuensi bagi korban dan masyarakat.”
Lebih repot lagi, riset kolaborasi Sarah Harsey, Zurbriggen & Freyd (2017) menunjukkan kalau korban yang menjadi sasaran DARVO justru putar balik menjadi menyalahkan diri mereka sendiri.
Pada gilirannya, mereka malah tidak berani bicara dan memilih bungkam. Mereka juga takut orang-orang akan merundung korban (victim-blaming) hingga mengancam kesehatan psikologis korban. Di titik ini, posisi rentan korban menjadi semakin terhimpit.
Penerimaan Audiens & Kekerasan Interpersonal
Lebih repot lagi, taktik DARVO dalam riset Sarah Harsey dan Jennifer Freyd (2020) bekerja sangat efektif dalam mendelegitimasi keterangan korban. Kredibilitas korban menjadi dipertanyakan. Riset itu menjajaki dua kali eksperimen pada lebih dari 300 mahasiswa.
Eksperimen pertama (316 mahasiswa) menunjukkan hasil kalau mereka yang terpapar taktik DARVO dari pelaku cenderung menilai korban sebagai pihak yang kurang dapat dipercaya, lebih bertanggung jawab terhadap kekerasan itu, dan lebih abusive.
Pada eksperimen kedua, 360 mahasiswa diberi bekal pengetahuan dulu terkait DARVO, lantas para peneliti menelaah pandangan mereka. Hasilnya, para informan yang lebih teredukasi tentang DARVO ini cenderung melihat korban sebagai pihak yang lebih dapat mereka percaya, kurang abusive, sedangkan informan kurang bisa percaya pada pelaku.
Dengan kata lain, sosialisasi taktik DARVO ke masyarakat berdampak serius terhadap pandangan dan sikap audiens terhadap korban maupun pelaku.
Di luar sektor kejahatan seksual, taktik DARVO ironisnya juga ampuh dipakai para pelaku kekerasan interpersonal (antar-individu). Taktik yang sama masih efektif dalam kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam relasi, sampai kekerasan simbolik dan varian sejenis.
Apa yang Bisa Diperbuat?
Dalam menangani atau mendampingi korban kekerasan, hal yang paling penting adalah melindungi hak korban. Keadilan baginya adalah hal yang esensial. Sosialisasi ke sebanyak mungkin audiens tentang kesadaran ini beserta taktik manipulatif DARVO juga merupakan unsur tak terpisah dari upaya pencegahan dan penanganan kekerasan (seksual ataupun interpersonal).
Apalagi, di masyarakat kita, stigmatisasi terhadap korban masih rutin mencuat. Bahkan tidak sedikit dari aparat hukum yang malah senewen bertanya, “apakah nyaman” ketika mendampingi korban. Suatu sikap yang semestinya perlu kita tampar dengan edukasi tegas.
Jika sudah tersosialisasi dan teredukasi dengan baik, alangkah baiknya kalau korban juga berani menyatakan kebenaran (speak the truth). Tentu saja yang terpenting sebelum itu adalah situasi dan ruang aman yang perlu terjamin.
Lebih lanjut, elemen masyarakat lainnya perlu mendapat edukasi terkait taktik manipulatif tersebut. Tujuannya agar publik bisa mendeteksi secara dini sekaligus menumpulkan efektivitas DARVO dalam kasus kekerasan seksual (KS). Apalagi yang sering terjadi, para pelaku KS justru banyak yang berasal dari orang terdekat korban dan tidak jarang menutupi tingkah busuknya dengan riasan pencitraan sosial yang kuat.
Kemudian para penegak hukum, sampai aneka lembaga/institusi dan media pun perlu meningkatkan wawasan mereka dan berfokus pada korban lebih dahulu. Sebab pekerjaan utama selain menghukum pelaku, adalah justru berpihak dan mendampingi pemulihan para penyintas. Ini mungkin tampak mudah kita tuliskan dan lisankan, tapi sulit untuk kita laksanakan. Meski begitu, tetap saja perlu kita upayakan terus menerus. Jangan sampai lengah.[]