Mubadalah.id – Sebagai seorang santriwati difabel saya kadang berdiri di persimpangan antara dunia pesantren dan realitas hidup penyandang disabilitas. Belakangan saya menemukan diri saya merenungkan kitab “Fathul Izar Fi Kasyf al-Asrar li Awqat al-harts wa Khilqat al-Akbar”, karya dari KH. Abdullah Fauzi asal Pasuruan. Yakni sebuah kitab yang diajarkan bagi santri tingkat ‘ulya di pesantren yang berisi petunjuk pernikahan dan hubungan suami istri .
Dalam mengaji kitab tersebut, saya tidak dapat mengabaikan bagaimana stigma dan diskriminasi berpotongan dengan interpretasi dan aplikasi ajaran-ajaran kitab ini dalam kehidupan. Kitab Fathul Izar merupakan kitab yang memberikan panduan tentang etika dan adab rumah tangga khususnya berkaitan dengan fikih pernikahan dan hubungan intim suami-istri.
Hal ini memang sesuai dengan ajaran Islam yang tidak hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan material dan fisik, tapi juga kebutuhan spiritual dan emosional. Kitab tersebut berisikan kajian mengenai pendidikan seks, tata aturan, adab berhubungan intim, anjuran dan larangan, serta hari atau malam yang diperbolehkan dalam berhubungan oleh ulama.
Dalam kitab Fathul Izar terdapat bab tentang waktu khusus untuk melakukan hubungan intim (jima’). Jima’ anggapannya tidak hanya sebagai aktifitas fisik antara suami istri. Tetapi juga sarana spiritual yang menghubungkan keduanya dengan Tuhan. Hal ini mencerminkan keyakinan bahwa tindakan manusia, bahkan yang paling intim sekalipun, berada dalam pengawasan ilahi.
Kritik terhadap Narasi Kitab
Salah satu bahasan kitab ini, menyebutkan bahwa melakukan jima’ pada waktu tertentu dapat mempengaruhi sifat anak bahkan fisiknya. Konsep seperti ini memerlukan kritik karena mengimplikasikan bahwa kondisi anak —baik itu sifat, kemampuan, atau bahkan jenis kelamin—dapat kita atur melalui tindakan seksual dan suami dianjurkan memerintahkan istrinya untuk melakukan posisi tidur tertentu.
وَأمَّا الثَلَاثَةُ الَّتِي بَعْدَهُ فَأَوَّلُهَا أَمْرُ الزَّوْجَةِ بِالنَّوْمِ عَلَى يَمِينِهِ لِيَكُونَ الوَلَدُ ذَكَرًا إِنْ شَاءَ الله
“Adapun tiga etika setelah berhubungan maka yang pertama adalah suami menyuruh isteri tidur miring ke kanan agar anak menjadi laki-laki, insya Allah”
Hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertama, tentang otonomi tubuh wanita dan haknya untuk berpartisipasi secara aktif dan setara dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam konteks reproduksi dan seksualitas.
Feminisme menuntut pengakuan terhadap otonomi dan hak perempuan atas tubuhnya sendiri, termasuk dalam konteks hubungan intim. Tidur miring jika kita lakukan dalam waktu lama juga dapat menyebabkan nyeri pada bahu, punggung, dan pinggul.
Kritik terhadap narasi yang mengatur waktu dan posisi khusus untuk jima’ di sini bukanlah penolakan terhadap nilai-nilai spiritual atau keagamaan. Melainkan penekanan pada pentingnya keseimbangan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap kedua belah pihak dalam suatu hubungan.
Perspektif Inklusif dan Egaliter
Dalam konteks ini, penting bagi interpretasi keagamaan untuk berkembang dan mempertimbangkan perspektif yang lebih inklusif dan egaliter. Yaitu mengakui dan menghormati peran aktif perempuan dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan intim.
Kritik berikutnya, petunjuk dalam kitab tersebut seperti :
وَمَنْ جَامَعَ زَوْجَتِهِ مَعَ التَّكَلُّمِ يَكُونُ الوَلَدُ أَبْكَم
“Barangsiapa yang menyetubuhi istrinya sembari bercakap-cakap, maka anak akan bisu.”
Ada juga “barang siapa yang sering berhubungan seks di malam hari raya niscaya akan menghasilkan anak yang memiliki enam jari di setiap tangan dan kakinya.”
Atau kalimat “Melihat aurat istri saat berhubungan akan membuat anak lahir buta mata atau hatinya”, dan lain sebagainya mencerminkan kepercayaan lama yang tidak berdasarkan sains dan menciptakan stigma.
Fakta ilmiah dan psikologis telah lama menolak mitos bahwa perilaku seksual orang tua dapat menentukan kondisi fisik atau mental anak.
Tantangan Memajukan Hak Penyandang Disabilitas
Menurut UNICEF, tantangan utama dalam memajukan hak penyandang disabilitas di Indonesia termasuk hambatan sosial budaya hambatan fisik dan geografis dalam pemberian pelayanan. Selain itu ketidaktersediaan data tunggal yang komprehensif dan terpilah tentang penyandang disabilitas.
Stigma terhadap penyandang disabilitas telah berumur panjang dan memiliki sejarah yang kelam. Di mana dalam banyak hal masih jauh dari setara dengan masyarakat non- disabilitas. Oleh karena itu perlu penerapan disiplin dalam perundang-undangan yang tertuju untuk melindungi hak-hak penyandang disabilitas, seperti penetapan dalam UU No. 8 tahun 2016 serta, terus-menerus kita upayakan untuk menghapus stigma yang telah berurat-berakar di masyarakat.
Dalam pandangan saya sebagai difabel, pernyataan-pernyataan Fathul Izar tersebut tidak hanya keliru secara ilmiah, tetapi juga merendahkan dan mendiskriminasi penyandang disabilitas. Fathul Izar mengisyaratkan bahwa disabilitas adalah akibat dari kesalahan moral atau perilaku orang tua. Bukan bagian alami dari keragaman manusia.
Isu Disabilitas dalam Islam
Dalam Islam, disabilitas kita lihat sebagai bagian dari keragaman ciptaan Allah SWT dan setiap individu. Tidak peduli kondisinya, dihargai sebagai makhluk Allah.
Sebagai muslim, perspektif ini sangat penting untuk kita jelaskan kepada umat, karena mengakui dan menghormati setiap individu merupakan salah satu inti dari ajaran Islam. Dalil yang mendukung pandangan ini dapat kita temukan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
لقد خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ٤
Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
“Dan Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan Dia menjadikannya dengan ukuran yang tepat.” (Al-Qur’an, 25:2)
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang Allah ciptakan, termasuk kondisi manusia seperti disabilitas, yang Allah ciptakan adalah bentuk terbaik sempurna dalam sifat karakter, intelegensi, panca indera dan proporsi tubuhnya, termasuk keragaman dalam kemampuan manusia.
Selanjutnya, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Tidak ada penyakit yang Allah turunkan kecuali Dia juga menurunkan obatnya.” (HR Bukhari no 5246)
Memerangi Stigma terhadap Disabilitas
Meskipun hadis ini sering dikutip dalam konteks ikhtiar kesehatan fisik, prinsip yang lebih luas dapat kita terapkan pada disabilitas. Hadis ini menunjukkan bahwa setiap kondisi di dunia ini, termasuk disabilitas, memiliki tempat dan tujuannya dalam rencana ilahi. Rasulullah mengajarkan untuk tidak hanya mencari obat jasmani tapi juga mencari pemahaman, solusi, dan cara pandang yang lebih baik dalam setiap situasi.
Obat rohani ini penting karena tidak semua kondisi disabilitas bisa tertangani dan kita koreksi. Dalam konteks obat rohani inilah menjadi penting untuk memerangi stigma dan menekankan bahwa disabilitas bukanlah sebuah hukuman atau hasil dari perilaku seksual yang tidak sesuai ajaran agama.
Kitab Fathul Izar memang membantu menjembatani kesenjangan dalam pendidikan seksual di pesantren, serta memfasilitasi pemahaman yang lebih dalam tentang esensi pernikahan dan keluarga dalam Islam. Sebagai santri yang juga memahami pentingnya pendidikan seksual, saya juga ingin menekankan pentingnya menyampaikan informasi yang akurat dan bebas prasangka.
Penyebaran informasi yang keliru tentang hubungan seksual dan disabilitas hanya akan menciptakan ketakutan, kesalahpahaman, dan perilaku yang tidak sehat. Wallahu a’lam. []