Mubadalah.id – Seorang perempuan membaca ucapan-ucapan di kolom komentar kasus kekerasan anak dengan pandangan menunduk dan mata berlinang.
“Salah siapa, anak dititipkan suster.”
“Harusnya dijaga ibunya sendiri.”
Dua sampel kalimat di atas, kiranya membuat aku merasa prihatin. Komentar semacam itu mengaburkan fokus permasalahan yang seharusnya mendapatkan penguatan. Sebut saja komentar toksik.
Kita semakin sering melihat komentar toksik yang berlindung di bawah kalimat, “kan, sekedar mengingatkan,” atau “aku hanya berbagi, kok,” terlihatnya sederhana. Tetapi, sekadar mengingatkan ternyata bisa menghancurkan mental seseorang.
Bahaya Komentar di Postingan Orang Lain
Berkembangnya media sosial tidak memungkiri hampir seluruh pengguna bisa melihat akun pribadi milik orang lain. Tidak sedikit, netizen lihai dalam mengontrol kehidupan orang lain yang semestinya tidak perlu kita lakukan. Lagi-lagi, kejahatan terlihat jelas melalui kolom komentar.
Kebiasaan komentar toksik masih terus berlanjut sampai menimbulkan kegaduhan dan menghancurkan mental orang lain. Bagaimana tidak? Netizen memaksa orang lain harus sesuai dengan ekspektasinya. Sedangkan, setiap orang menerapkan praktek kehidupan yang berbeda-beda.
Dari ketikan kita juga bisa membaca bagaimana komentar tersebut jadi merasa paling baik. “kalau aku sih, anak diasuh sendiri. Jadi, nggak ada drama sama baby sitter,” seakan-akan praktik orang lain itu salah. Sayangnya, komentar tersebut keluar dari sama-sama seorang ibu. Yang seharusnya menguatkan justru mengabaikan.
Netizen bebas mengirim segala macam kalimat di kolom komentar. Sehingga, ada kemungkinan mengirim komentar negatif. Salahnya bukan di media sosial, tetapi ucapan seseorang yang belum terkendalikan dengan batas empati.
Fenomena komentar toksik terus menjadi alarm pengguna media sosial. Sebagai manusia, selain peduli sama diri, kita harus memiliki karakter empati kepada orang lain. Empati dalam merespons kasus yang muncul di media sosial. Tidak mencari-cari kesalahan orang lain tetapi fokus membantu atau menguatkan apa yang dialami orang lain.
Membaca Nasehat Gus Mus dalam Bermedia Sosial
Reminder untuk mengontrol diri dalam menggunakan media sosial penting kita upgrade terus-menerus. Sebab, jika kita terlena pada keinginan untuk mengirim komentar buruk ada kemungkinan komentar buruk selanjutnya.
Melansir akun Facebook pribadi, KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) menyampaikan sejumlah pengalaman rutinnya setiap Jumat. Diceritakan pula tentang tamu-tamu muda yang datang ke kediamannya Jumat kemarin untuk meminta maaf atas tulisan mereka di Twitter dan Facebook. Tulisan tersebut bernada kasar dan merendahkan Gus Mus.
Melalui status yang ia beri judul “Jum’at dan Silaturahmi”, Mustasyar PBNU ini juga tak lupa memberikan nasehat positif kepada para pengguna media sosial, antara lain;
Pertama, menata kembali niat kita dalam menggunakan dan memanfaatkan media sosial
Kalau aku membayangkan, nasehat Gus Mus ini mengingatkan kita untuk mengenal kembali tujuan membuka media sosial. Semestinya diniatkan untuk sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri atau orang lain.
Kedua, berhati-hati dan waspada beraktivitas di dunia maya yang penuh tipuan
Dalam menggunakan media sosial, kita harus berhati-berhati dalam menyerap segala informasi. Jangan sampai mengikuti hoax atau mengikuti pendapat orang lain yang belum tentu benar tanpa menyaring informasinya terlebih dahulu.
Ketiga, jangan mudah tergiur dengan tampilan-tampilan menarik, biasakan tabayyun dan meneliti rekam-jejak
Pentingnya cari tahu sebelum menjudge adalah agar tidak menjadi pribadi yang apa-apa dibicarakan padahal belum melakukan tabayyun.
Keempat, jangan tergesa-gesa membaca dan membagikan bacaan
Pastikan membaca informasi sampai selesai dari media yang terpercaya. Tidak mudah terprovokasi, nanti sudah terlanjur ikut-ikutan share ternyata salah. Kan, repot.
Kelima, usahakan sekali-kali berkumpul, agar bisa melihat manusia dalam penampilan nyatanya
Kalau aku melihat, ini seperti halnya gerakan komunitas. Salah satu upaya menekan kebiasaan mengurusi hidup orang lain, kita juga perlu sering kumpul dengan orang-orang untuk berdialog atau mengenal secara langsung.
Jadi, kalau sudah tahu kehidupan nyatanya, kita bisa mengontrol apa yang kemudian akan kita ketik di kolom komentar.
Nasehat Gus Mus di atas, masih relevan bagi kita yang aktif menggunakan media sosia. Adab dalam menggunakan media sosial adalah kunci agar tidak menjadi netizen yang meresahkan. Tidak semaunya sendiri dan tidak jadi hakim bagi kehidupan orang lain.
Kita bisa memaksimalkan kemampuan berpikir kita untuk berhati-hati dalam menulis sesuatu di kolom komentar di media sosial, apakah berpotensi menyakiti orang lain atau tidak.
Semestinya menasehati bisa menggunakan kalimat yang nyaman terdengar, bukan menyalahkan yang kita nggak tahu bagaimana proses hidupnya. []