“Tahun kemarin aku pergi umroh bersama Ayah dan Ibu. Tapi di sana aku nggak bisa dengar apa-apa, aku baca doa sebisaku saja.” – kawan disabilitas ruwi –
Mubadalah.id – Mendengar pengakuan kawan disabilitas ruwi (rungu dan wicara) sontak membuat saya terhenyak. Keindahan suara azan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di tanah suci Makkah dan Madinah, tidak mampu ia dengar. Suara para imam salat jama’ah di kedua masjid, yang konon ketika kita salat di sana pahalanya beribu-ribu lebih banyak dibandingkan salat di masjid pada umumnya, pun tak mampu ia nikmati.
Ada perasaan yang tak mampu saya bahasakan. Lidahku kelu untuk mengutarakan tanya kembali ketika kami berbincang santai di selasar kantornya saat kami, saya dan Vevi melakukan kunjungan ke sana. Ada jeda panjang, sambil berusaha memahami tantangan yang dihadapi kawan-kawan disabilitas, bahkan dalam hal yang paling penting sekalipun dalam hidup mereka. Beribadah dan menyembah Tuhan.
Ya, pada medio akhir Februari 2024, saya dan Vevi berkesempatan untuk melakukan kunjungan ke Yogyakarta untuk bertemu muka dengan kawan-kawan disabilitas. Jauh sebelum bertemu mereka, saya sudah sering berinteraksi dengan kawan disabilitas, meski tidak terlalu dekat dan akrab juga. Hanya sekadar berteman dan saling sapa.
Setiap kali berjumpa, saya selalu merasa canggung. Sering ada jeda panjang yang tak bisa saya pahami, atau kawan disabilitas mampu mengerti. Bingung untuk memulai percakapan. Masing-masing teguh dengan sikap, khawatir menyinggung perasaan.
Padahal, sebagaimana yang Mas Butong sampaikan ketika bertemu di Kampung Matraman Yogyakarta, kita harus bisa membedakan rasa simpati dan empati terhadap kawan disabilitas.
Etika Berinteraksi dengan Penyandang Disabilitas
Alih-alih memberi perhatian dan kepedulian, kita hanya akan dianggap berbelas kasihan saja. Sedangkan bagi kawan disabilitas justru perlakuan seperti itu yang membuat mereka semakin insecure, menutup diri dan tidak leluasa bergaul dengan siapapun.
Secara regulasi, negara sendiri sudah mengubah konsep dari penyandang cacat menjadi penyandang disabilitas. Konsep ini bukan sekadar kata, tetapi memiliki makna lebih luas, yaitu bagaimana kita bersosialisasi dan berperilaku dengan disabilitas. Sebagaimana yang tertulis dalam materi pengenalan disabilitas, ini adalah sekian hal yang harus kita ingat ketika berinteraksi dengan penyandang disabilitas:
Pertama, bertanya sebelum membantu. Kedua, peka terhadap kontak fisik. Ketiga, pertimbangkanlah. Keempat, jangan berasumsi, karena asumsi dapat membangun stigma. Kelima, merespon dengan sopan permintaan mereka.
Etika Menawarkan Bantuan
Sementara itu jika ingin menawarkan bantuan, ada delapan hal yang harus kita perhatikan juga. Bagaimana cara kita memberikan pertolongan kepada penyandang disabilitas.
Pertama, sebagian besar penyandang disabilitas tidak membutuhkan pertolongan ekstra, alasan utama mereka membutuhkan bantuan adalah karena adanya hambatan lingkungan. Namun mereka bisa beradaptasi dengan lingkungannya.
Kedua, penyandang disabilitas juga manusia biasa sama seperti yang lain, ada yang dengan percaya diri meminta pertolongan dan ada pula yang tidak.
Ketiga, jangan pernah berasumsi bahwa pertolongan dibutuhkan dan menduga bagaimana melakukan pertolongan tersebut; mereka sudah bisa beradaptasi dengan alat bantunya.
Keempat, tawarkan pertolongan/bantuan jika Anda merasa mereka membutuhkannya, dengan bertanya “Anda tidak apa-apa?” atau “Apakah Anda perlu bantuan?”
Kelima, penyandang disabilitas juga punya hak untuk berkata “Tidak”.
Keenam, jadikan penyandang disabilitas sebagai orang pertama dalam percakapan. Terkadang kita tidak mengajak langsung bicara dengan penyandang disabilitas, ketika seorang disabiltas sedang bersama orang tua/pendamping karena dianggap tidak mampu.
Ketujuh, hindari penggunaan istilah seperti pengkhususan terhadap kecacatannya “si bisu, si buta, si tuli, atau mengolok bentuk fisik seseorang.
Kedelapan, dengan segala tipe disabilitas hindari istilah- istilah yang tidak bisa memberdayakan seperti “korban” atau “penderita.
Tak Kenal, Maka Tak Sayang
Pepatah yang mengatakan, tak kenal maka tak sayang, tepat kiranya kita sematkan pada kecanggungan ketika pertama kali berinteraksi, bergaul maupun berkomunikasi dengan kawan disabilitas. Tetapi dengan semakin memahami, dan membuka diri maka relasi yang ada akan bertambah harmonis serta romantis.
Di sini pentingnya membuka ruang perjumpaan, dengan membangun kesadaran terkait pengenalan disabilitas pada khalayak lebih luas. Harapannya kawan-kawan disabilitas dan kita semua mampu membangun kerjasama yang lebih intens untuk membangun peradaban kemanusiaan yang lebih berkeadilan.
Sebagaimana yang tertulis dalam Ikrar Bangsri Jepara dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II, bahwa, saat dunia, bumi dan kemanusiaan sedang genting dan rapuh, ulama perempuan Indonesia bertekad untuk membangun peradaban yang berkeadilan sebagai panggilan iman dan tuntutan zaman.
Di akar rumput bersama mereka yang terpinggirkan dan terluka, ulama perempuan bergerak untuk menjadi bagian dari solusi bagi umat, bangsa, dunia, dan semesta. Untuk itu, otoritas keulamaan perempuan wajib terus dirawat dan dikembangkan agar menjadi kekuatan transformatif di ruang khidmahnya masing-masing. []