• Login
  • Register
Rabu, 16 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Perceraian Tidak Melepas Tanggung Jawab Pengasuhan Anak

Dasar tujuan co-parenting adalah meminimalisir gejolak emosi anak ketika orang tua berpisah

Firda Rodliyah Firda Rodliyah
16/05/2024
in Keluarga
0
Pengasuhan Anak

Pengasuhan Anak

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebagaimana yang terjadi pada beberapa orang di sekitar saya, mereka sebagai orang tua lebih memilih untuk menjauhkan anak dari ayah maupun ibu yang tidak memiliki hak kewalian atas pola asuh di pengadilan. Tentu mereka melakukan ini bukan tanpa dasar.

Barangkali karena masih adanya perasaan dendam di antara mantan pasangan, sehingga takut akan kalut jika harus tetap berhubungan atas dasar kepentingan anak. Atau bisa jadi ada kesedihan mendalam di antara salah satu pihak sehingga enggan melepaskan anak kepada mantan pasangan.

Lantas hal ini harusnya tidak bisa dibenarkan juga. Kepentingan pribadi antar mantan pasangan yang telah bercerai hanyalah urusan yang harusnya bisa dikompromikan berdua. Bukan malah menjadikan anak sebagai korban yang tidak tahu apa-apa, tapi mendapatkan imbasnya hingga dewasa.

Kecuali, andaikan kedua belah pihak, entah ibu maupun ayah, memang tidak bisa mengkomunikasikan dengan baik lagi. Misalnya salah satu pihak memang meninggalkan keluarga tanpa tanggung jawab, sehingga ia tidak mau lagi memikirkan urusan anaknya sama sekali.

Kedua adalah masalah keamanan. Misalnya karena salah satu pihak orang tua memiliki memiliki potensi untuk melakukan kekerasan, perbudakan, maupun pemaksaan yang berujung pada ancaman nyawa anak. Maka berlaku hukum درء المفاسد مقدم على جلب المصالح demi menjaga anak dari suatu hal yang membahayakan dan merugikan.

Baca Juga:

Yang Terjadi Jika Miskin, Tapi Ngotot Menikah

Hancurnya Keluarga Akibat Narkoba

Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga

Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

Anak Jadi Korban

Kebetulan saya memiliki seorang teman, sebut saja Agus (nama samaran). Ia merupakan korban perceraian kedua orang tuanya. Kala itu usianya masih tiga tahun saat orang tuanya memilih untuk berpisah. Karena pertimbangan usia yang masih balita, hak asuhnya pun diberikan kepada sang ibu.

Hal ini selaras dengan tuntunan di Kompilasi Hukum Islam yang mana pengasuhan anak yang belum mumayyiz atau berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Moh Soleh Shofier dalam tulisannya juga sempat menyinggung bahwa hak asuh berada pada orang tua perempuan ketika anak masih balita / kecil dengan mempertimbangkan kebutuhan fisik dan psikisnya.

Kendati demikian, kedua saudaranya yang lain harus berpisah dan ikut kepada sang ayah. Walaupun usia mereka saat itu belum melewati batas 12 tahun. Hal ini tidak lain mempertimbangkan kemampuan finansial orang tua untuk mengasuh anak yang lebih ayahnya miliki.

Harusnya, selaras dengan Kompilasi Hukum Islam, saat orang tua bercerai, ayah tetap memiliki kewajiban untuk biaya pemeliharaan anak. Nahasnya nafkah lahir ini tidak Agus dapatkan dari ayahnya selama bertahun-tahun. Ibunya lah yang berusaha jungkir balik untuk menghidupinya sejak kecil.

Kehilangan Ayah

Tak hanya itu, pada urusan kepengasuhan, ayahnya tidak pernah turun tangan sejak kedua orang tuanya bercerai. Bahkan ia mendapati dirinya memiliki ayah lain buah pernikahan baru ibunya dengan seorang lelaki. Ibunya sendiri tak pernah memperkenalkan sosok ayah kandung pada Agus. Sehingga bertahun-tahun lamanya Agus tidak paham, bahwa yang hidup bersamanya adalah ayah tiri.

Sayapun bertanya-tanya apa pertimbangan kedua orang tua Agus hingga membesarkan lelaki itu dengan kebohongan orang tua, dijauhkan dari ayahnya, dan mengapa ayahnya tidak memiliki usaha untuk menghadirkan diri sebagai sosok orang tua yang utuh kepada Agus? Sayangnya pertanyaan itu cukup sampai di sini, ia pun tak bisa menjawabnya.

Saat Agus beranjak dewasa dan mulai memahami kenyataan yang terjadi dalam hidupnya, ia pun mencoba untuk melakukan pendekatan kepada sang ayah. Sayangnya belasan tahun bukanlah waktu yang sebentar. Selama itu mereka telah jauh dan hampir tidak pernah berkomunikasi aktif.

Melakukan pendekatan selayaknya anak dan ayah kepada orang asing tidaklah mudah bagi Agus. Baginya yang tidak benar-benar mendapatkan peran ayah dalam hidupnya. Sedangkan ayahnya juga tidak pernah menunjukkan diri bahwa ia bersalah atau ingin mendekat diri, membuat Agus semakin canggung dan kebingungan.

Belajar dari Co-Parenting Gading Marten

Melihat kisah Agus yang memprihatinkan karena keputusan orang tuanya yang tidak mempertimbangkan dengan baik keberlanjutan pengasuhan anak, saya jadi beralih pada kisah Gading Marten dan Gisel.

Meskipun mereka sudah menempuh kehidupan masing-masing, namun antara keduanya sepakat untuk tetap mengasuh Gempi bersama-sama. Mereka melakukan co-parenting yang berfokus pada kepentingan, kebahagiaan, dan kesejahteraan anak.

Dasar tujuan co-parenting adalah meminimalisir gejolak emosi anak ketika orang tua berpisah. Anak yang mengalami stres dan cemas karena keadaan keluarga bisa merasa lebih tenang karena kedua orang tua masih hadir di sampingnya. Mereka masih utuh untuk membesarkan anak dengan baik.

Hubungan pasangan, selayaknya Gading dan Gisel, boleh jadi gagal. Mereka bisa saja memilih untuk menjalani kehidupan masing-masing. Tapi mereka sadar, bahwa anak adalah milik keduanya, bukan salah satu saja. Mereka paham, bahwa keduanya penting memberikan peran secara seimbang untuk kebaikan sang anak.

Tentu hal ini perlu kompromi yang begitu berat, karena harus melepaskan masalah perasaan pribadi yang barangkali masih terluka atau sedih karena berpisah dengan mantan pasangan.

Perlu proses panjang, bahkan keduanya sama-sama tetap belajar untuk memecahkan masalah bersama, berkomunikasi dengan baik, saling berbagi tugas, dan saling mendukung atas berbagai hal yang menyangkut dengan anak. Sehingga, bagaimanapun hubungan sebagai pasangan telah gagal, setidaknya masih bisa berhasil untuk menjadi orang tua yang baik dan tidak melepas tanggung jawab pengasuhan pada anak. []

Tags: Gading MartenGiselkeluargaparentingPengasuhan Anakperceraian
Firda Rodliyah

Firda Rodliyah

Anggota Puan Menulis

Terkait Posts

Menikah

Yang Terjadi Jika Miskin, Tapi Ngotot Menikah

15 Juli 2025
Praktik Kesalingan

Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga

12 Juli 2025
Relasi Imam-Makmum

Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

9 Juli 2025
Jiwa Inklusif

Menanamkan Jiwa Inklusif Pada Anak-anak

8 Juli 2025
Pemimpin Keluarga

Siapa Pemimpin dalam Keluarga?

4 Juli 2025
Marital Rape

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

2 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Representasi Difabel

    Dari Layar Kaca ke Layar Sentuh: Representasi Difabel dalam Pergeseran Teknologi Media

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sound Horeg: Antara Fatwa Haram Ulama’ dan Hiburan Masyarakat Kelas Bawah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Love Bombing: Bentuk Nyata Ketimpangan dalam Sebuah Hubungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Zakat Profesi Dipotong Otomatis, Apakah Ini Sudah Adil?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Siapa Sebenarnya Sumber Fitnah: Perempuan atau Laki-laki?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Merendahkan Perempuan adalah Tanda Pikiran yang Sempit
  • Ketika Zakat Profesi Dipotong Otomatis, Apakah Ini Sudah Adil?
  • Siapa Sebenarnya Sumber Fitnah: Perempuan atau Laki-laki?
  • Love Bombing: Bentuk Nyata Ketimpangan dalam Sebuah Hubungan
  • Trafficking adalah Wajah Baru dari Perbudakan

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID