.Mubadalah.id – Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu dari empat bulan yang Allah muliakan. Pada bulan tersebut, umat muslim akan melakukan persiapan untuk melakukan ibadah haji di tanah suci. Ibadah haji memiliki posisi sebagai salah satu pilar yang membangun keislaman seorang muslim. Sebagaimana hadis Nabi yang berbunyi:
بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ, وَحَجِّ الْبَيْتِ, وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Artinya “Islam terbangun atas lima pondasi; Dua kalimat Syahadah, Melaksanakan sholat, membayar zakat, haji dan berpuasa Ramadhan.” (HR.Bukhori)
Haji sendiri berasal dari kata hajj yang berarti qashad, yaitu sengaja menuju sesuatu. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa ibadah haji haruslah terkerjakan benar-benar bukan main main karena hendak menuju Allah semata. Sedangkan dalam literatur kitab-kitab fikih, haji berarti pergi ke Baitil Haram untuk melaksanakan rangkaian ibadah berupa Ihram, Wukuf, Thawaf, Sa’i, Tahallul secara sistematis.
Dalam kitab Fath al-Mu’in, terjelaskan bahwa Nabi Adam melaksanakan haji hingga 40 kali selama hidupnya dengan berjalan kaki dari Hindia menuju Makkah. Jauh sebelum itu para malaikat telah melakukan thawaf hingga 7000 kali setiap tahunnya.
Perintah Haji dan Seruan Nabi Ibrahim
Salah satu ayat tentang perintah haji terdapat dalam surat al-Hajj ayat 27 sebagaimana berikut;
وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ ۙ
Artinya: (Wahai Ibrahim, serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (QS. Al-Hajj: 27)
Buya Hamka menjelaskan, bahwa setelah Nabi Ibrahim telah membangun rumah suci di atas sebidang tanah yang telah ditentukan dan telah dijelaskan pula akan kegunaan rumah suci sebagai tempat beribadah kepada Allah semata. Maka turunlah perintah untuk menyeru kepada manusia agar melaksanakan ibadah haji di tempat tersebut.
Berdasarkan salah satu riwayat yang dikutip ar-Rozi dalam tafsirnya, Nabi Ibrahim menyeru manusia dengan naik kebukit shofa serta melantangkan bacaan Talbiyah. Ayat ini memberikan isyarat bahwa Nabi Ibrahim adalah orang yang memulai syariat haji.
Kata وَاَذِّنْ yang berarti “serukanlah” menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim telah terperintahkan untuk memproklamirkan ibadah haji kepada manusia. Kemudian Nabi Muhammad melanjutkannya agar syariat yang telah termulai dari zaman Nabi Ibrahim kembali hidup serta membersihkannya dari praktik-praktik jahiliyyah.
Ibadah haji secara resmi menjadi syariat Nabi Muhammad pada tahun kesembilan dan pada tahun itulah kaum muslimin di Madinah dan di seluruh tanah Arab naik haji ke Makkah yang telah bersih dari berhala dengan Abu Bakar sebagai kepala rombongan pada saat itu.
Hikmah di Balik Perintah Haji
Abu Bakar bin Ustman di dalam kitab I’anah al-Thalibin menjelaskan akan hikmah di balik ritual-haji, di antaranya;
Pertama Ihram, Ihram mengajarkan manusia agar hidup sederhana dan jangan terlena dengan duniawi. Dengan berpakaian berapa lembar kain ihram, mengingatkan bahwa manusia tidak memiliki apa-apa sebagaimana saat keluar dari perut ibunya.
Kedua Wukuf, wukuf di Arafah mengandung pengingat dan peringatan di dalamnya. Saat seseorang melaksanakan wukuf maka ia sedang menghadap dengan tuhannya. Sebagaimana gambaran saat para makhluk menghadap Allah dengan keadaan telanjang pada hari kiamat dan tanpa penutup kepala dengan penuh tangisan dan ratapan. Dengan keadaan demikian seseorang akan berdoa kepada tuhannya dengan penuh kehinaan dan melepas segala bentuk kesombongan.
Ketiga Tahallul, barang siapa yang telah melakukan wukuf, berdzikir di Masy’aril Haram hingga pagi di Mina, bertahallul, dan membersihkan diri dari segala kotoran dan dosa maka Allah akan mencatatnya sebagai amal kebaikan dan melipatgandakannya serta menjaganya dari api neraka dan menjadikan setiap rambut nya cahaya pada hari kiamat serta memberikannya rasa aman.
Keempat Thawaf, Thawaf memiliki berbagai makna di dalamnya, saat seseorang melaksanakan thawaf seolah ia berkata kepada tuhannya: “wahai tuhanku, engkau adalah tujuanku dan engkaulah tuhan yang layak disembah. Aku datang kepadamu bersama orang yang ingin berjumpa denganmu. Aku thawaf dan berdiri depan pintu rumahmu dengan mengharap kedermawanan dan kemuliaanmu”.
Kelima melempar batu, saat melempar batu seakan-akan seseorang berkata kepada tuhannya “Ya tuhanku, aku datang kepadamu dengan membawa batu-batu dosa dan kesalahan, sekarang kulempar segala batu-batu dosa dan kesalahan dengan menyatakan bertakwa kepadamu”
Buya Hamka dan Tafsirnya
Selain itu, Ibadah haji juga memiliki hikmah lain sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
Artinya: “(Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah maklum. Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafaṡ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala kebaikan yang kamu kerjakan (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat. (QS. Al-Baqarah:197)
Buya Hamka menjelaskan hikmah ibadah haji adalah mengajarkan agar manusia mampu menahan segala bentuk perbuatan buruk. Seorang yang melaksanakan haji dilarang melakukan perbuatan yang dapat memancing hawa nafsu maupun perbuatan buruk lainnya yang keluar dari batas-batas akhlak yang ditentukan agama.
Contoh, misalnya menghina, menggunjing, berkelahi maupun membunuh. Oleh sebab itu di ujung ayat ada penjelasan bahwa maksud utama ibadah haji adalah membangun rasa takwa dalam jiwa. Wallahu a’lam bi Shawab