Mubadalah.id – Di dalam Islam, praktik aborsi hanya dapat dibolehkan karena sejumlah alasan. Beberapa di antaranya adalah keringnya air susu ibu yang sedang hamil dan menyusui. Untuk menggantinya dengan air susu lain dia juga tidak mampu, karena miskin.
Alasan lain adalah ketidakmampuan ibu menanggung beban kehamilannya, karena tubuhnya yang kurus dan rapuh. Alasan-alasan ini memperlihatkan bahwa aborsi bisa dilakukan karena alasan kesehatan ibu (indikasi medis).
Dalam kedua kasus ini aborsi dapat dilakukan sepanjang menurut penelitian medis yang dapat dipercaya, kelahirannya dipastikan akan membahayakan jiwa/nyawa ibu.
Tegasnya aborsi hanya dibolehkan sejauh pembiaran janin di dalam perut ibu sampai dengan kelahirannya dipastikan akan membahayakan kehidupan ibu. Kepastian ini harus didasarkan atas pertimbangan medis oleh dokter spesialis.
Hal ini merupakan kondisi yang memang dilematis. Menggugurkan kandungan adalah sesuatu yang sesungguhnya secara moral bukanlah hal yang baik. Karena ia juga berarti merusak atau melenyapkan entitas yang hidup. Akan tetapi membiarkannya tetap hidup boleh jadi menjadi ancaman atau bahkan menimbulkan kematian bagi sang Ibu. Ini bisa menjadi dua pilihan yang sulit.
Dalam konteks di mana meneruskan kehamilan sampai melahirkannya dipastikan menimbulkan kematian si ibu, maka siapa yang harus dikorbankan?. Ini memang bagaikan buah simalakama. Dilema kematian antara ibu dan janin atau bayi dalam kandungan dalam pandangan para ahli fiqh dapat dipecahkan melalui pengorbanan janin/bayi.
Sebuah kaedah fiqh menyatakan : “Idza ta’aradh al mafsadatan ru’iya a’zhamuhuma dhararan bi irtikab akhaff al dhararain (Jika terjadi pertentangan antara dua hal yang sama-sama merugikan atau membahayakan). Maka yang harus kita pertahankan/menangkan adalah pihak yang paling berat resikonya dengan mengorbankan/mengalahkan pihak yang lebih ringan resikonya.”
Pandangan Para Ahli Fiqh
Dalam pandangan para ahli fiqh kematian bayi memiliki resiko yang lebih ringan daripada resiko kematian ibunya, karena ibu adalah induk dari mana bayi berasal. Eksistensinya telah pasti. Ia juga sudah mempunyai sejumlah resiko berupa kewajiban-kewajiban dan hak-hak. Karena itu, ia tidak boleh kita korbankan demi menyelamatkan bayi yang eksistensinya belum pasti dan belum memiliki kewajiban-kewajiban.
Demikianlah kesimpulan dari pandangan dari para ahli hukum Islam. Pada usia janin belum 120 hari terdapat ikhtilaf (berbeda pendapat). Mengenai hal ini para ulama mengatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan para Imam adalah rahmat (Ikhtilaf al Aimmah Rahmah al Ummah atau Ikhtilaf ummati Rahmah).
Hal ini tentu saja ketika pandangan-pandangan tersebut belum menjadi hukum positif, melainkan masih menjadi tataran fatwa individu.
Jika kasus tersebut telah kita rumuskan ke dalam hukum positif, maka kaedah fiqh menyatakan : Hukm al Qadhi Ilzam wa Yarfa’al Khilaf (keputusan hukum adalah memaksa dan menghilangkan perbedaan). Tetapi harus segera kita sampaikan bahwa pilihan hukum yang harus pemerintah dan DPR buat haruslah dalam kerangka kepentingan rakyat dalam arti yang luas.
Kaedah hukum Islam menyatakan Tasharrauf al Imam ‘ala al Rai’iyyah Manuthun bi al Mashlahah (tindakah pemerintah bagi rakyatnya terkait dengan pilihan bagi kepentingan yang baik bagi mereka).
Di sinilah, maka aborsi aman mungkin bisa menjadi pilihan. Jika bandingkan dengan aborsi yang dilakukan secara sporadis dan banyak mengakibatkan kematian ibu secara sia-sia. Ini memang bukan pilihan yang dikehendaki oleh nurani semua orang. []