Mubadalah.id – DI luar konsep pemisahan ruang antara laki-laki dan perempuan, dalam ilmu faraid (ilmu tentang pembagian warisan), derivasi kata hijab, yakni kata mahjub (yang tertutup).
Hal ini digunakan untuk menyebut ahli waris yang tidak mendapat bagian warisan karena tertutup/terhalang oleh ahli waris lain yang posisinya lebih dekat dengan almarhum/ah.
Misalnya, cucu menjadi mahjub karena masih ada orang tuanya (anak almarhum/ah). Dalam dunia tasawuf, kata hijab, berguna sebagai penutup/pengahalang dalam menemukan hakikat dan makrifat (mengenal Allah secara dalam). Semakin dekat manusia dengan Allah, makin terbuka hijab-hijab penutupnya.
Dalam dunia tasawuf, hijab malah diharapkan hilang. Untuk itu, berbagai cara dan proses pun ia lakukan, agar manusia tak terhalang bertemu dengan Allah.
Demikianlah, hijab tak hanya kita gunakan sebagai pemisah ruang, tapi juga sebagai istilah dalam ilmu-ilmu Islam. Meski demikian, penggunaan kata hijab tidak bergeser dari makna bahasanya yakni penutup, tirai, penghalang, sekat, dan sejenisnya.
Hijab sebagai Pakaian Muslimah
Penggunaan istilah hijab sebagai pakaian muslimah mulai terjadi pada abad keempat hijriah. Pakaian muslimah yang kita sebut hijab karena menutup aurat perempuan dari pandangan laki-laki.
Dengan berhijab perempuan membatasi hidupnya dari interaksi yang tidak patut dengan lawan jenis dan memagari hidupnya dari perbuatan maksiat dan dosa. Pemaknaan hijab yang demikian pada dasarnya tetap merujuk kepada makna bahasanya.
Yang penting, janganlah hijab kita maknai secara sempit. Memaknai hijab hanya sebagai pakaian muslimah, apalagi sebatas kerudung/jilbab, adalah penyempitan makna dari hijab itu sendiri yang sejatinya sangat luas.
Kita berharap pemakaian istilah hijab menjadi sarana mencapai tujuan ayat hijab, yakni mencapai takwa, melindungi diri dari pelecehan seksual, dan menjadikan muslimah sebagai makhluk terhormat yang pandai menjaga diri. Semoga. []