Di beberapa kesempatan diskusi seputar gender, saya temukan beberapa pandangan seperti, “kenapa sih perempuan harus menyuarakan kesetaraan gender, ini kan udah bukan jaman penjajahan seperti dulu, perempuan udah bisa sekolah kok (katanya), mau jadi apa aja juga boleh (katanya lagi), semuanya udah di samakan kok antara laki-laki dan perempuan (lagi-lagi katanya).”
Padahal kenyataan yang saya temui tidak semudah itu. Mungkin saya termasuk orang yang beruntung ketika saya bisa menikmati akses pendidikan, dan tidak dibatasi untuk melakukan banyak hal hanya karena saya seorang perempuan. seperti berorganisasi, menjadi seorang pemimpin, atau seorang perempuan yang bisa bersuara di ranah publik.
Tetapi kemudahan itupun saya dapatkan ketika telah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) saat saya sudah memiliki kesadaran kritis dengan berpikir dan bersuara. Dan saya beruntung karena lingkungan saya tidak sesusah itu untuk diberi pemahaman tentang bagaimana perempuan bisa berperan sehingga saya mendapatkan support penuh hingga hari ini.
Tetapi ketika saya memiliki lingkaran lain yang lebih luas seperti lingkaran pertemanan, kemudian saya melihat dan mendengar kehidupan lain di sosial media, curhatan dari sesama mahasiswa, terus saya mulai bertemu dengan banyak orang dan mendengar cerita mereka, kemudian saya mulai melihat adanya stereotype terhadap perempuan yang sebenarnya membatasi ruang gerak perempuan itu sendiri.
Kemudian saya mendengar adanya stereotype bahwa perempuan itu harus kalem, dia harus manut-manut saja, dan dalam masyarakat saya temui bahwa perempuan itu hanya sebatas perkara domestik saja, perempuan itu fitrahnya hanya sebagai seorang istri dan ibu, sehingga mereka belum bisa menjadi perempuan seutuhnya jika tidak menjalani dua peran tersebut.
Apalagi jika ditambah sebagai seorang perempuan muslim, kita akan memiliki tantangan yang lebih rumit lagi dan akan membuat kita seakan terhimpit diantara dua narasi ekstrem. (1) Narasi muslim kaku, yang menganggap bahwa perempuan itu adalah parameter moral, dan (2) Narasi Barat yang menganggap bahwa perempuan muslim itu tertekan dan terisolasi.
Setelah saya mewawancarai beberapa teman yang berasal dari beberapa daerah yang kebetulan kuliah di kampus yang sama dengan saya, mereka menceritakan bahwa anak perempuan atau siswa perempuan di daerah mereka banyak yang putus sekolah, alasannya karena orang tuanya merasa bahwa menyekolahkan anak perempuan bukanlah suatu prioritas, dan menganggap bahwa lebih baik anak perempuan itu dinikahkan saja setelah menstruasi.
Akhirnya anak-anak yang notabene usianya sama dengan saya atau bahkan dibawah saya sekalipun ada yang sudah memiliki anak atau bahkan telah menjanda karena beberapa faktor, termasuk soal kesiapan mental dan ekonomi yang mengantarkan mereka pada perceraian. Semakin kita melihat ke luar, maka semakin banyak kita akan melihat bahwa banyak perempuan di luar sana yang terhimpit budaya patriarki.
Jika kita bicara soal konteks pendidikan, banyak yang beranggapan bahwa perempuan itu tidak perlu berpendidikan tinggi-tinggi, yang nantinya akan menjadi pemimpin juga laki-laki, terlebih ada juga anggapan bahwa perempuan juga tidak perlu memiliki karir yang bagus, toh tugas mencari nafkah adalah laki-laki.
Bahkan menurut penelitian kesuksesan akan berkorelasi positif untuk laki-laki, dan akan berkorelasi negatif bagi perempuan. maka kita sering mendengar ketika perempuan berpendidikan tinggi atau sukses ada anggapan dari masyarakat seperti, “Duh kamu jangan sekolah ketinggian, nanti gak ada yang berani dan mau deketin kamu.” Ini menunjukkan bahwa banyak sekali selama ini di masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai makhluk inferior.
Padahal berdasarkan Universal Declaration Of Human Rights yang diproklamirkan PBB pada tahun 1948, Pendidikan adalah Hak Asasi Manusia, bukan privilege. Setiap orang siapapun itu, apapun gendernya, berhak mendapatkan pendidikan. Tetapi pada kenyataannya, jangankan sekolah, di dunia saja dari 758 juta orang yang tidak bisa baca-tulis 2/3nya adalah perempuan.
Hal ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor selain yang sudah kita singgung di atas tentang stereotype dan patriarki, di antara yang lainnya adalah ; kemiskinan dan kekerasan terhadap perempuan bisa menjadi faktor penyebab persoalan ini.
Padahal pendidikan sangat bisa menaikkan derajat perempuan, mengentas kemiskinan, membantu perempuan untuk membuat keputusan-keputusan dalam hidupnya dengan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dialaminya, bisa mengedukasi perempuan tentang kesehatan reproduksi dan seksual.
Dalam tatanan rumah tangga partisipasi perempuan juga dapat meningkatkan ekonomi. Berdasarkan dari data Education for All Global Monitoring Report tahun 2013 dan 2014, perempuan di Pakistan yang educated dan memiliki softskill yang bagus di dalam dunia kerja mendapatkan gaji 95% lebih besar daripada yang tidak educated, dan income tersebut akan membantu meningkatkan kesejahteraan rumah tangga mereka. Selain itu partisipasi perempuan juga bisa meningkatkan ekonomi global. Jadi sebenarnya pendidikan adalah solusi dari kompleksnya persoalan yang kita hadapi, terlebih pendidikan untuk perempuan.
Jadi setelah saya bertemu dengan banyak orang dan kebetulan notabene kampus saya adalah kampus yang terdapat mahasiswa dari berbagai daerah, mulai dari sabang sampai merauke dan ada beberapa Negara asing yang kuliah di sini.
Mereka berangkat dari latar belakang dan kultur yang berbeda-beda, dan dari situ saya mendengar bagaimana perempuan dinomor duakan, suaranya dianggap tidak penting, dipersulit jalannya menuju kesuksesan, tidak semua bisa mendapatkan pendidikan tinggi kecuali orang yang berprivilage, dan perempuan tidak berhak untuk memiliki karier di masa depan.
Padahal seharusnya mereka berhak mendapatkan itu semua. Maka di hari Kemerdekaan Indonesia yang ke 75 ini, saatnya kita memerdekaan perempuan, salah satunya melalui pendidikan dan menjadikan mereka berdaya dengan memberikan hak-hak kepada mereka sebagai manusia seutuhnya. []