Mubadalah.id – Publik masih terus membicarakan permasalahan perkawinan anak yang ramai muncul di media sosial. Selain kampanye stop perkawinan anak tidak memungkiri banyak juga fenomena perkawinan anak yang muncul melalui sebuah konten.
Menilik data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS), perkawinan anak di Indonesia masih menduduki posisi cukup tinggi, yaitu mencapai 1,2 juta kasus. Baik melalui dispensasi kawin pengadilan agama atau yang melakukan pernikahan siri.
Semua elemen perlu menyampaikan batas usia perkawinan anak secara tegas, terus-menerus. Mulai dari keluarga sampai ke pihak pemerintah. Melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, batas usia perkawinan anak baik laki-laki atau perempuan minimal usia 19 tahun. Pemerintah mengeluarkan peraturan ini sebab pernikahan perlu memperhatikan aspek biologis, psikologis, pendidikan, agama, sosial, dan ekonomi.
Kita seringkali mendengar, alasan perkawinan anak untuk menghindarkan mereka dari perbuatan zina. Padahal, solusi menghindari zina tidak hanya dengan perkawinan. Prof Quraish Shihab melalui channel acara Shihab dan Shihab menyampaikan, “Nikah muda untuk menghindari zina seperti orang mengobati penyakit dengan penyakit lain, padahal semestinya mengobati penyakit, ya, dengan sesuatu yang menyembuhkan penyakit itu.”
Menghindari zina tidak bisa dengan menikah muda di usia dini, tetapi bagaimana setiap orang termasuk anak-anak untuk mengontrol nafsunya dengan memperbanyak aktivitas positif atau mengembangkan diri secara maksimal. Misalnya dengan merampungkan proses pendidikan, memperbanyak keterampilan, dan memaksimalkan kesempatan usia muda.
Menurut Buku Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak? terbitan Rumah Kitab, menjelaskan bahwa kita perlu melarang perkawinan anak karena membawa banyak dampak buruk bagi anak perempuan daripada memberi manfaat.
Salah satu dampak buruknya, yaitu memungkinkan seorang perempuan mengalami kehamilan di usia anak-anak yang dapat mengganggu kesehatan ibu serta janinnya. Perkawinan anak juga memperkecil kemungkinan bagi perempuan untuk menyelesaikan pendidikan di sekolah, serta membuat perempuan rentan mengalami pemaksaan dan kekerasan seksual.
Hasil penelitian Yanti dkk. (2018) juga menjelaskan, dampak negatif yang ditimbulkan dari pernikahan usia dini (anak) antara lain, kematangan psikologis yang belum siap, mengurangi pengembangan diri, meningkatkan resiko kematian bayi dan anak, tingkat perceraian tinggi, dan taraf kehidupan rendah akibat ketidakmampuan memenuhi kebutuhan ekonomi.
Peran Keluarga Sangat Penting
Keluarga perlu memulai diskusi mengenai rencana masa depan anak. Keberadaan meja makan malam tidak sekadar untuk menyantap makanan lezat tetapi juga tempat berbincang antara orang tua dan anak. Anak mudah merekam apa yang menjadi konsumsi setiap harinya, termasuk perbincangan dengan orang tua. Sejak sebelum kelahiran anak, orang tua mempunyai kesempatan merencanakan pendidikan seperti apa yang akan anak dapatkan.
Menginjak remaja, anak mulai mengeksplorasi lebih luas tentang dunia luar. Tidak hanya pengetahuan, tetapi juga peluang untuk mengenal lebih banyak teman. Semakin banyak peluang perkenalan, maka ada kemungkinan anak mempunyai teman lawan jenis.
Tidak ada yang salah dalam pertemanan jika semua masih dalam batas kebaikan. Nah, di sini anak memerlukan alarm dari orang tua agar tidak memiliki pertemanan yang merugikan diri sendiri sekaligus orang lain.
Hubungan yang sehat adalah hubungan yang berada dalam kebaikan. Orang tua penting menegaskan anak untuk tidak memiliki hubungan yang cenderung pada pernikahan dini. Selain itu, memaparkan dampak negatif dari pernikahan dini dengan bahasa yang mudah dipahami akan menjadi bekal anak berhati-hati dalam menentukan keputusan di masa depan.
Anak Harus Memahami Kesiapan Sebelum Menikah
Bagaimana ketika anak meminta izin orang tua untuk menikah saat usia masih dini? Sebuah kemungkinan yang bisa saja terjadi, anak meminta izin orang tua untuk melangsungkan pernikahan. Ketika anak meminta izin untuk menikah dini, respons orang tua memiliki pengaruh besar terhadap keputusan anak. Di sini, peran orang tua untuk memberikan pemahaman tentang sesuatu di balik indahnya pernikahan menjadi sangat krusial.
Pernikahan ibarat bangunan yang membutuhkan dua tiang, yaitu kemampuan (istitha’ah) dan persiapan (isti’dad). Sebagaimana Ibu Nyai Badriyah Fayumi melalui NU Online menyampaikan, istitha’ah tidak hanya fisik dan finansial, tapi juga mental, emosional, sosial, serta spiritual. Sudah pasti istitha’ah yang demikian tidak bisa diemban oleh anak-anak dan mereka yang belum dewasa.
Memahami relasi pernikahan tidak cukup hanya dengan modal keinginan agar tidak melakukan zina. Usia dan kesiapan fisik anak harus sejalan dengan kesiapan segala aspek, seperti masalah kehamilan dan ekonomi keluarga. Harapannya dengan mendapatkan pendampingan dari orang tua, anak mampu meningkatkan value diri dan tidak tergiur untuk melakukan pernikahan dini. []