Mubadalah.id – Jumat sore (08/11), Komunitas Serambi Kata mengadakan gelaran obrolan buku. Aulia Normalita, pengisi episode ini, bakal berkisah novel Hati Suhita (2019) gubahan Khilma Anis. Skema novel memuat kisah perjodohan, kompleksitas rumah tangga, hingga bayang-bayang asmara. Konflik dalam novel hadir kala Gus Birru, seorang putra tunggal pengasuh pesantren, dijodohkan dengan Alina Suhita, padahal ia telah memiliki kekasih, Ratna Rengganis.
“Konsep perjodohan membuat ketiganya tersakiti,” ucap Aulia. Alina mesti bergulat (berperang) melawan gejolak rumah tangganya bersama Gus Birru. Ia blak-blakan berucap bahwa tak sedikit pun menaruh benih cinta pada Alina. Semaian cintanya masih terikat pada Rengganis. Selama berbulan-bulan, Alina mesti bertarung menghadapi kehidupan demikian bersama Gus Birru.
Sedang Gus Birru mencecap rasa sakit akibat jalinan asmaranya dengan Rengganis, secara tersirat, tak mendapat rida abah dan uminya. Sementara Rengganis tak memiliki pilihan selain tabah menyaksikan bekas kekasihnya menikahi santriwati pilihan di pesantren milik orang tua kekasinya itu. Antara Alina, Gus Birru, dan Rengganis ketiganya terluka.
Pengisahan perjodohan di pusaran tradisi pesantren dalam Hati Suhita bukan semata tercap mentah sebagai karya sastra. Yang konon terambil dari imajinasi dan khayalan lalu mewujud novel. Bukan. Padahal tidak demikian tarikan kesimpulannya.
Rekaman Kerumitan
Dalam sebuah video, Bambang Sugiharto, Guru Besar Filsafat Universitas Parahyangan menerangkan, “Novel adalah rekaman jatuh bangunnya manusia. Rekaman kerumitan emosi dan imajinasi. Pentingnya novel adalah karena ia tulisan personal/individual karena hidup tidak sesederhana ilmu pengetahuan. Hidup itu rumit, setiap orang mempresepsinya melalui pengalaman pribadi.”
Intisari terdaraskan bahwa novel bukan semata menyoal hiburan, khayalan, dan imajinasi. Ia (bisa) mewujud hasil olah replika pengalaman nyata seseorang. Hal itu teralami oleh Nusaibah Azzahra pada novelnya berjudul Perjalanan Pembuktian Cinta (2017). Di sana terceritakan, Fathia (tokoh utama) di usia muda rela terjodohkan ayahnya, Syukron, dengan lelaki beristri (seusia ibunya, Laila) bernama Satya.
Konsep perjodohan tersebut terbangun secara politis, manakala Satya bisa menikahi Fathia ia bakal membangunkan pesantren untuk Syukron. Pengibaratan kisah inilah yang Nusaibah alami di kehidupan nyata. Menginjak usia 20 tahun, sang ayah tetiba menjodohkanmya dengan lelaki seperti Satya. Dengan motif perjodohan inilah, sang ayah terlihat culas dan picik sebab bakal mendapat imbalan dari menantunya.
Unsur Balas Budi
Tema perjodohan lain datang dari novel berbeda. Perjodohan Tari dan Bian didasar kuat atas balas budi orang tua Bian pada orang tua Tari. Kisah tertutang dalam novel Wedding Agreement (2020) gubahan Mia Chuz. Bian sudah memiliki kekasih tapi malah menikah dengan Tari.
Selain alasan “balas budi”, perjodohan Bian adalah “janji”. Janji umpama ibunya semangat kemoterapi lalu sembuh, segala kemauan bakal ia turuti. Ibunya pun sembuh. Dan, terjadi. Bian pun menikah dengan Tari.
Padahal Bian sempat bertunangan dengan Sarah, kekasih sejak kuliah. Bian tak ubahnya Gus Birru dalam Hati Suhita. Ia tak menaruh cinta pada Tari. Selepas menikah, ia malah masih berhubungan (baca: selayaknya pacarana) dengan Sarah. Berbulan-bulan Tari bergeming. Bertahan atas goresan-sayatan luka yang suaminya benamkan di hatinya. Bian menganggap pernikahannya sebatas main-main, sementara Tari tidak.
Tiga pengisahan perjodohan di tiga novel di atas bermuara pada benang merah pemunculan konflik batin dan psikis. Baik perempuan ataupun lelaki, semuanya menderita akibat perjodohan. Sementara, terlepas perjodohan tersetujui atau tidak, teranggap baik atau tidak, faktanya malah melukai tiap-tiap orang terlibat di dalamnya. Bukankah kaidah usul fikih mengatakan, “Menolak mafsadah (keburukan) lebih utama daripada meraih (mengambil) manfaat.”
Dalam pada itu, antitesis muncul: apakah menolak perjodohan lantas membuat anak durhaka pada orang tua? Konteks membawa pada esensi perjodohan bermuara pada kerelaan. Pendek kata, kedua calon bakal terjodohkan berasas rela tanpa unsur paksaan. Ungkapan basi seperti “Ini demi kebahagiaanmu” kerap terucapkan orang tua dan wali sepantasnya ditolak. Tak ada jaminan sepenuhnya secara empiris ihwal ungkapan tadi.
Konsep Wali Perjodohan
Walhasil, jika meniliki hukum perkawinan Islam, konsep wali dalam penentuan perjodohan terbagi menjadi dua; mujbirdan ghoiru mujbir. Wali mujbir yakni seorang ayah dan kakek bagi anak/cucunya yang masih gadis. Mereka boleh dan sah menikahkan tanpa seizin anak/cucu mereka dengan lelaki sederajat ukuran perspektif syariat.
Maksudnya “sederajat”—atau dalam bahasa kitab kuning disebut satu kufu—ialah setara dan mencakup ukuran pantas secara agama, kecapakan, dsb. Sementara wali ghoiru mujbir yakni selain ayah dan kakek/keduanya melain untuk anak yang sudah tak gadis (janda). Dalam hal ini, mereka tidak boleh menikahkan kecuali atas izinnya.
Berlanjut, Imam Subki dan Imam Adz-Dzuru’I mendedahkan pertimbangan lain dalam kitab Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar Al-Haitama. Penjelasan keduanya mendapat bentangan garis merah untuk pada menghargai-depankan keputusan anak perempuan dalam mencari pasangan, yang tentu pilihannya sama-sama sekufu dengan pilihan walinya.
Maka menurut Imam Subki pilihan anaklah yang harus terutamakan. Sejalan, sementara menurut Imam Adz-Dzuru’i pilihan anak jauh bernilai lebih ketimbang walinya. Ini menjaga untuk terhindar dari perkara tak diinginkan.
Menyemai Ibrah
Barangkali perjodohan terangkat sebagai konflik dalam ketiga novel di atas adalah bagian dari kritik sosial atau wujud pengalaman penulisnya. Atau rupa konflik yang memuat unsur problematik, paradoks, hingga politis bertujuan menguatkan klimaks penulis membangun konstruksi kisahnya.
Lain hal, bila itu terjadi dalam kehidupan nyata. Memilih calon pasangan hidup dengan merdeka mesti terutamakan alih-alih terkungkung dogma/tradisi agama atau unsur politis orang tua/wali pada kacamata perjodohan.
Boleh jadi, gejolak-gejolak politis perjodohan dalam Hati Suhita, Perjalanan Pembuktian Cinta, dan Wedding Agreement merupakan desain penulis agar pembaca menyadur sebaris-dua baris ibrah. Tentu kita tak lagi hidup di zaman Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai (1922), novel masyhur menyoal perjodohan garapan Marah Rusli.
Ihwal pemaksaan perjodohan—terlepas bagian dari tradisi dan dogma agama—adalah perbuatan mesti terhindari dalam kehidupan nyata. Jangan karena hal politis orang tua/wali atau melanggengkan tradisi, perjodohan terambil kemudian menebas perasaan dan jiwa seseorang. Egois!